A. PENDAHULUAN
Teologi
adalah refleksi sistematis dan teoretis atas pengalaman iman (E. Gerrit
Singgih).[1] Pengalaman
akan hubungan dengan “yang transenden” ini cukup unik. Pertama, kita dengan
segala pikir dan berbagai cara sulit untuk menjangkau sosok konkret Allah.
Sementara itu, kita sebagai orang yang beriman kepada-Nya dituntut untuk selalu
beriman dalam apapun keadaan kita dan apa yang kita perbuat. Sebagai orang
beriman, khususnya kita sebagai teolog, harus mewujudnyatakan refleksi
sistematis dan teoretis atas pengalaman iman tersebut ke dalam pelayanan
terhadap Allah dan sesama di dunia tempat kita hidup. Dengan adanya hal ini,
maka Allah bisa hadir di dunia ini melalui orang-orang yang melayani-Nya dan
Gereja-Nya.
Bicara
tentang pelayanan kristiani, kita tidak bisa lepas dari pembahasan seputar
Teologi Pastoral. Sebagai salah satu disiplin teologis, teologi ini memfokuskan
perhatiannya pada hal-hal yang “pastoral”. Jika berbicara tentang pastoral,
maka – yang mungkin – muncul dalam benak kita adalah “pelayan umat”, “gereja”,
“pelayanan gereja”. Teologi Pastoral terkait erat/tidak bisa dilepaskan dari
Ekklesiologi (ekklesia). Dengan kata
lain, pastoral selalu berada di dalam ekklesiologi. Ekklesia yang dimaksud di
sini adalah ekklesio faktual, atau biasa disebut dengan konteks. Teologi
Pastoral (modern) selalu berhadapan dengan konteks di dalam kehidupan bersama
tersebut. Jadi, secara singkat Teologi Pastoral adalah refleksi secara
sistematis dan metodis tentang relasi manusia dengan Tuhan dan Tuhan dengan
manusia.
Terkait
dengan arah gerak Teologi Pastoral itu sendiri, yaitu selalu bergerak menuju
pembaharuan yang terus-menerus dengan tetap memperhatikan konteks (spiral).
Maka, suatu bentuk pelayanan pun dituntut untuk bisa mengajak orang lain menuju
ke kehidupan yang baru di dalam imannya. Kehidupan baru yang bebas dari
“perbudakan”, seperti kematian, penderitaan, kesakitan, dll. Bebas dalam hal
ini bukan berarti lepas. Kita tidak bisa lepas dari semua hal tersebut, karena
hidup ini adalah suatu realitas di mana ada suka maupun duka. Bebas dalam hal
ini berarti bahwa kita bisa memaknai ulang atau memahami suatu realita sebagai
bagian dalam kehidupan kita, sehingga kita bisa bertemu dengan Allah di
dalamnya.
Pelayanan
sangat erat berhubungan dengan soal hidup rohani pelayan itu sendiri. Mengapa?
Terkait dengan iman pada Allah, seseorang tidak dapat disebut pelayan kristiani
jika di dalam dirinya tidak ada jiwa untuk melayani Allah dan sesamanya.
Menurut Nouwen, pelayanan dan spiritualitas tidak pernah dapat dipisahkan.
Pelayanan bukanlah pekerjaan dengan jam kerja, akan tetapi pertama-tama adalah
jalan hidup supaya dilihat dan dimengerti oleh orang lain sehingga pembebasan
dapat menjadi satu kemungkinan.[2] Benih-benih
spiritualitas ini – seharusnya – tampak dalam pelayanan kristiani itu sendiri,
sehingga menjadi jelas bahwa setiap orang kristiani adalah pelayan. Terkait
dengan hal tersebut, spiritualitas pelayanan seperti apakah yang dimiliki oleh
pelayan kristiani pada konteks saat ini? Dalam setiap langkah kehidupannya,
apakah seorang pelayan kristiani mampu untuk tetap menampakan spiritualitas
pelayanannya atau akan ikut arus dunia sehingga pelayanannya bukan lagi
termotivasi oleh kasih melainkan materi, terikat dengan institusi atau
mementingkan manusia-nya?
B. LIMA BIDANG POKOK
PELAYANAN[3]
1.
Mengajar: Lebih dari Sekedar
Meneruskan Pengetahuan
Pertanyaan
yang mendasar mengenai pengetahuan adalah: apakah kita tahu arah hidup yang
akan kita tuju dengan pengetahuan tersebut? Ataukah malah hidup kita yang diarahkan oleh pengetahuan tersebut?
Pengajaran merupakan salah satu tugas utama seorang pelayan, karena pemahaman
diri manusia dan dunianya yang semakin mendalam merupakan jalan menuju
kebebasan yang baru dan cara hidup yang baru pula. Keterkaitan manusia dengan
dunianya membuat pelayanan dalam pengajaran tidak dibatasi hanya pada
pengajaran agama saja, melainkan juga pengetahuan akan hal-hal dunia. Hal ini
memungkinkan orang akan siap untuk menghadapi dunia dengan iman sebagai bekal
pengetahuan yang utama. Kecenderungan yang terjadi pada pelayanan dalam hal
pengajaran adalah pementingan terhadap isi pengajaran tanpa menyadari bahwa
hubungan dalam pengajaran merupakan unsur yang paling terpenting dalam
pelayanan di bidang pengajaran.[4]
Inti
dari sebuah pelayanan di bidang pengajaran adalah bagaimana seorang pelayan
membuat suatu hubungan dalam suatu proses pengajaran yang tidak diwarnai dengan
persaingan, proses satu arah, dan sikap hidup yang mengasingkan, melainkan
proses pengajaran yang membebaskan. Proses pengajaran yang membebaskan dalam
hal ini berarti bahwa ada keterbukaan dan sikap saling menerima antara kedua
belah pihak. Proses ini pun mengandaikan adanya kesejajaran status, sehingga
arah pembelajaran yang terjadi adalah dua arah. Selain itu, adanya pengakuan
terhadap eksistensi pihak lain dan kesadaran akan diri sendiri membuat “hidup
saat ini juga adalah bagian dari kehidupan seluruhnya”. Artinya, hidup saat ini
bukanlah suatu bekal untuk kehidupan nyata mendatang, melainkan juga adalah
bagian atau awal dari kehidupan mendatang tersebut. Pada akhirnya, guru dan
murid pun akan dapat saling belajar dari satu sama lain, saling membangkitkan
kemampuan, dan saling mengaktualisasikan diri dalam kehidupannya, sehingga terciptalah
sebuah proses pengajaran yang membebaskan.
2.
Berkhotbah: Lebih dari Sekedar
Menceritakan Kembali Kisah
Khotbah
termasuk dalam salah satu inti pelayanan kristiani. Maksud khotbah yang
sebenarnya tidak lain adalah membantu orang untuk sampai pada pemahaman akan
keadaan mereka sendiri dan keadaan akan dunia mereka yang sedemikian rupa,
sehingga mereka dapat bebas untuk mengikuti Kristus: yaitu menghayati hidupnya
secara otentik seperti halnya Dia menghayati hidup-Nya. Pemahaman seperti
inilah yang mampu menghantarkan manusia kepada Sabda Allah, sehingga hidupnya
pun dapat diterangi oleh Sabda yang didengarnya.
Berkhotbah
adalah lebih daripada sekedar menceritakan kembali kisah-kisah Alkitab. Lebih
daripada membawa iman pada masa lalu ke masa sekarang. Bagaimana pun juga,
pesan inti Injil tetap mengandung kebenaran yang belum seutuhnya dinyatakan
pada setiap orang. Sabda Allah selalu datang ke dunia , meskipun seringkali
ditanggapi dengan ketidakacuhan dan kejengkelan. Orang yang berkhotbah
diharapkan untuk dapat menyingkirkan halangan-halangan ini dan membawa
orang/jemaat kepada pemahaman yang benar yang dapat membebaskan mereka. Dalam
hal ini, seorang pengkhotbah dituntut adanya keterbukaan dirinya untuk setiap
dialog yang terjadi, meskipun tak jarang pula keterbukaan tersebut menyakitkan
bagi diri pengkhotbah. Namun, keterbukaan inilah yang menjadi inti
spiritualitas pengkhotbah.[5] Pengkhotbah
adalah orang yang bersedia memberikan hidupnya bagi umatnya. Melalui diri si
pengkhotbah, orang/jemaat diharapkan dapat mengenali dan memahami karya Allah
dalam hidupnya sendiri.
3.
Pelayanan Pastoral Pribadi: Lebih
dari Sekedar Ketrampilan Memberi Jawaban
Pelayanan
pastoral pribadi tidak hanya sekedar menjaga keseimbangan antara memberi dan
menerima, namun juga menuntut kesediaan dari si pelayan untuk mengambil resiko
atas hidupnya sendiri dan tetap setia kepada kawannya yang menderita. Seperti
halnya mengajar dan berkhotbah, maka pelayanan pastoral pribadi pun juga
terkait erat dengan spiritualitas pelayan kristiani. Berdasarkan hal ini, maka
identitas pastoral, hubungan pastoral, dan pendekatan pastoral dari si pelayan
perlu untuk ditinjau lebih dalam lagi guna pelayanannya sendiri.
Kecenderungan
yang terjadi pada diri pelayan kristiani adalah seringkali merasa rendah diri,
karena merasa tidak mempunyai sesuatu yang bisa diberikan untuk sesamanya yang
sedang menderita. Namun, jika pelayan tersebut mampu menyingkirkan perasaan
rendah dirinya dan menemukan bahwa dengan meneguhkan kehidupan sesamanya,
dengan memberikan hidupnya sendiri, sesungguhnya ia meneguhkan identitas
pelayanannya sendiri. Dengan memberikan diri/hidupnya pada sesamanya, maka si
pelayan sebenarnya sudah memusatkan hidupnya bagi orang lain. Tak seorang pun
dapat melayani sesamanya apabila ia tidak mau menyangkal dirinya agar dapat
menciptakan ruang di mana Allah melaksanakan karya-Nya.[6]
Kita tidak dapat sungguh-sungguh menolong orang lain, apabila kita tetap
memusatkan perhatian pada diri sendiri.
Hubungan
pastoral tidak dapat sepenuhnya dimengerti dalam rangka kontrak professional.
Hubungan pastoral lebih didasarkan pada kepedulian, di mana si pelayan ikut
terlibat – tanpa syarat – ke dalam kehidupan/pergumulan sesamanya. Berdasarkan
hal ini, maka seorang pelayan kristiani seharusnya tidak memakai keberhasilan
manusiawi sebagai ukuran cinta mereka kepada sesama.
Banyak
pelayanan pastoral pribadi yang tidak berjalan dengan lancar, karena si pelayan
salah dalam menggunakan pendekatan pastoral. Pada saat ini, pelayan-pelayan
kristiani dibekali latihan-latihan khusus ataupun teori-teori pastoral agar
dapat menggunakan pendekatan yang pas
demi kelancaran pelayanannya. Teori sebenarnya penting, namun yang terpenting
adalah pengalaman hidup dar pelayan kristiani itu sendiri. Dengan belajar dari
pengalaman-pengalaman pastoral pribadinya, maka pelayan kristiani dapat
menjernihkan pengalaman-pengalamannya sendiri. Dari proses pembelajaran
tersebut, ia akan dapat mempunyai suatu cara konkret untuk mengenali secara
persis apa yang terjadi dalam karya pastoralnya dan suatu kesempatan istimewa
untuk berpikir realistis mengenai cara-cara tindakan pastoral lain.
Pelayanan
adalah kontemplasi, karena pelayanan merupakan penyingkapan realitas yang
terus-menerus terjadi, pe-wahyu-an cahaya Allah dan sekaligus kegelapan
manusia. Dalam perspektif ini, pelayanan pastoral pribadi tidak pernah dapat
dibatasi pada penerapan ketrampilan atau teknik apa pun, karena pada akhirnya
pelayanan adalah pencarian Allah yang terus-menerus yang berlangsung dalam
kehidupan orang yang kita layani.[7]
Seorang “klien” pastoral pribadi adalah sebuah dokumen hidup, sehingga
pelayanan pastoral berarti suatu kontemplasi yang teliti dan kritis mengenai
keadaan manusia.
4.
Berorganisasi: Lebih dari Sekedar
Manipulasi Struktur
Terkait
dengan permasalahan berorganisasi, seorang pelayan kristian diharapkan dapat
menjadi pembawa perubahan sosial. Seringkali seorang pelayan kristiani
mengalami frustasi atau tekanan di dalam kehidupan organisasi di gereja. Hal
ini dikarenakan mereka tidak dapat menyentuh struktur-struktur kehidupan yang
paling mendasar, seperti kemanusiaan, kasih, pelayanan, dll. Seorang pelayan
kristiani seringkali cenderung fokus pada struktur berorganisasi yang ada dalam
gereja, bukan struktur kehidupan jemaat itu sendiri.
Hal-hal
yang seringkali membuat seorang pelayan “jatuh” adalah seperti keinginan akan
hasil yang konkret, kekuasaan, dan kesombongan. Orientasi terhadap hasil yang
konkret telah membuat hambatan – entah disadari atau tidak – dalam pelayanan
itu sendiri. Misalnya, gereja membantu orang-orang miskin dengan memberikan
mereka sejumlah uang atau tempat tinggal sementara. Padahal, hal yang lebih
mereka (orang-orang miskin tersebut) butuhkan adalah sebuah kasih dan
penghargaan sebagai seorang manusia, sehingga mereka bisa merasakan bahwa
mereka sendiri diterima dalam masyarakat tersebut. Orang yang berkecimpung
dalam sebuah organisasi seringkali berorientasi pada kekuasaan, apalagi bagi
seorang pelayan kristiani di mana dia juga mempunyai tanggung jawab sebagai
pemimpin jemaat. Akhirnya, ada godaan yang lebih besar, yaitu kesombongan.
Seseorang yang dikatakan “lebih” daripada masyarakat di sekitarnya atau jemaat
seringkali menganggap bahwa orang-orang di luar dirinyalah yang perlu berubah
dan bukan dirinya sendiri. Misalnya, seorang pelayan kristiani berulangkali
berusaha agar orang lain bertobat dan berpikir bahwa dia sendiri tidak perlu
bertobat.
Setiap
orang yang telah sadar akan penyakit-penyakit masyarakat di mana dia hidup dan
merasakan kebutuhan yang makin mendesak untuk mengadakan perubahan sosial
dihadapkan pada godaan konkretisme, kekuasaan, dan kesombongan. Banyak pelayan
kristiani telah begitu terpengaruh oleh godaan-godaan tersebut, sehingga tidak
tahu bagaimana menghindarinya. Pada dasarnya, untuk mengubah dunia yang hancur
ini ialah dimulai dengan mengubah hati sendiri, yaitu dengan memusatkan
perhatian pada pertobatan batin dan pencabutan kejahatan dari akar hati
manusia, dengan menekankan cinta pribadi dan kehidupan doa. Sebuah harapan
melebihi apa yang dinamakan hasil konkret, kesediaan menerima merupakan sikap
tidak menguasai, dan berbagi tanggung jawab merupakan jalan untuk mengalahkan
kesombongan. Akhirnya, aksi dan kontemplasi adalah dua segi dari satu kenyataan
yang menjadikan seorang pelayan kristiani pembawa perubahan. Organisasi menjadi
pelayanan kalau orang yang mengorganisasi melangkah lebih jauh daripada sekedar
menginginkan hasil-hasil yang nyata dan memandang dunianya dengan harapan yang
tak pernah padam untuk diperbaharui seutuhnya.
5.
Merayakan: Lebih dari Sekedar
Upacara yang Memberikan Rasa Aman
Merayakan
hidup adalah berarti meninggalkan sikap fatalistis dan putus asa dan membuat
penemuan kita bahwa kita hanya mempunyai satu hidup yang harus dihidupi,
menjadi pengakuan yang terus-menerus akan karya Allah dengan manusia. Hal ini
berarti adalah perayaan itu sendiri merupakan suatu kenyataan manusiawi.
Perayaan adalah penerimaan kehidupan dengan kesadaran yang terus berkembang
bahwa hidup itu bernilai. Hidup adalah bernilai bukan hanya karena hidup itu
dapat dilihat, disentuh, dan dirasakan, akan tetapi juga karena hidup itu pada
suatu hari akan hilang. Orang yang mampu merayakan kehidupan dapat
menghindarkan diri dari godaan untuk mencari hanya kegembiraan saja atau hanya
kesusahan saja.
Merayakan
adalah pertama-tama mengakui sepenuhnya keadaan kita. Dengan kesadaran penuh
kita mampu berkata: inilah saya. Merayakan juga terkait dengan mengenang masa
lampau, karena masa lampau turut berperan dalam menjadikan kita yang masa kini.
Orang yang merayakan hidupnya tidak akan menjadikan masa lampaunya sebuah
penjara atau sumber kesombongan, akan tetapi menghadapi kenyataan-kenyataan
sejarah dan sepenuhnya menerima sebagai unsur-unsur yang memungkinkan dia
menyatakan bahwa pengalamannya adalah pengalaman pribadinya sendiri. Di samping
mengakui dan mengenang kehidupan, perayaan juga dipenuhi oleh harapan-harapan
untu masa depan. Dengan demikian perayaan berarti pengakuan atas masa kini, yang
hanya menjadi mungkin sepenuhnya dengan mengenang masa lampau dan mengharapkan
lebih lagi pada yang akan terjadi di masa mendatang.[8]
Di
dalam spiritualitas perayaan terkandung ketaatan manusia pada Allah, alam, dan
sesamanya sendiri. Intinya, ketaatan manusia kepada Allah dan ciptaan merupakan
syarat dasar untuk menjadi orang yang merayakan hidup. Kita dapat merayakan
hidup jika kita sudah dimerdekakan oleh kerendahan hati. Dengan kerendahan
hati, kita tahu bahwa seluruh hidup kita adalah anugerah, anugerah untuk
dirayakan.
C. SPIRITUALITAS PELAYANAN
Menurut
saya, gambaran seorang pelayan kristian seperti yang digambarkan Henry Nouwen
dalam bukunya “Pelayanan yang Kreatif” adalah suatu gambaran yang ideal
mengenai diri seorang pelayan kristiani. Pada dasarnya, saya setuju dengan
penggambaran tersebut. Bahwa seorang pelayan kristiani memang sudah seharusnya
menyerahkan hidupnya untuk jemaat, dalam artian seorang pelayan kristiani
memang benar-benar mengabdikan hidupnya untuk pelayanan kepada Tuhan dan
sesama. Namun, saya menjadi ragu jika kita diperhadapkan pada pertanyaan:
apakah konsep pelayan kristiani, yang ideal tersebut, dapat menjadi nyata dalam
segala aspek kehidupan pelayan kristiani pada konteks saat ini?
1.
Hal pengajaran
Terkait
dengan permasalahan mengenai pengajaran, seorang pelayan kristiani diharapkan
mampu berbagi hidup dan pengetahuan serta berusaha membangun hubungan yang baik
dan membangun. Akan tetapi, realitanya banyak para pelayan yang tidak seperti
gambaran yang ideal ini. Bagi banyak pendeta atau pastor yang juga bergerak
dalam bidang pengajaran, misalnya menjadi dosen atau pun guru, mungkin sudah
terbiasa bergaul dan berdebat dengan para murid atau mahasiswa. Hal ini membuat
mereka sedikit banyak mengalami keterbukaan – walau pun ada juga yang masih
kurang terbuka. Akan tetapi, bagaimana dengan mereka yang kehidupan
sehari-harinya hanya menjadi pendeta atau seorang pastor? Realita yang saya
lihat, kebanyakan dari para pelayan kristiani ini sulit mengalami keterbukaan.
Mereka cenderung menganggap dirinya sendiri mempunyai pengetahuan – dalam hal
ini pengetahuan teologi – lebih daripada jemaat. Anggapan bahwa teologi jemaat
adalah teologi awam membuat para pelayan kristiani tersebut cenderung
menyalahkan teologi jemaat dan membenarkan teologinya sendiri. Tidak jarang
para pendeta dan pastor yang menjadi marah, kesal, atau bahkan membenci salah
seorang jemaat, hanya gara-gara mendebat argumen teologis atau lebih tahu
tentang Alkitab daripada pelayan kristiani itu sendiri.
Saya
merasa bahwa kesulitan yang dihadapi oleh para pelayan kristiani dalam hal ini
adalah adanya tuntutan jemaat pada diri seorang pendeta atau pastor, yaitu
bahwa mereka seharusnya mempunyai pengetahuan lebih luas daripada jemaat.
Gengsi atau harga diri seringkali muncul ketika mereka merasa “dikalahkan”,
sehingga mereka khawatir pamor dan kharismanya sebagai pemimpin jemaat
berkurang bahkan dianggap bodoh. Sikap mempertahankan diri yang negatif seperti
inilah yang cenderung membuat seorang pelayan kristiani tidak mampu menciptakan
pengajaran sebagai suatu kehidupan. Proses pengajaran yang terjadi pun juga
tidak membebaskan. Isi pengajaran memang penting, namun yang lebih penting adalah
bagaimana hubungan yang terjalin antara pelayan kristiani dengan nara didiknya
atau jemaatnya. Hubungan yang diwarnai dengan keterbukaan dari kedua belah
pihak, adanya sikap saling menerima, dan mengakui eksistensi masing-masing
pihak akan dapat membuat pengajaran sebagai suatu proses yang membebaskan.
Tidak ada lagi “diarahkan oleh”, melainkan “dapat mengarahkan diri”.
2.
Hal berkhotbah
Terkait
dengan berkhotbah, gambaran seorang pelayan kristiani menurut Nouwen adalah
seorang pelayan yang mampu menyediakan hidupnya bagi jemaat. Melalui diri si
pengkhotbah, orang/jemaat diharapkan dapat mengenali dan memahami karya Allah
dalam hidupnya sendiri. Namun, apakah realita yang terjadi juga seperti ini?
Saya tidak terlalu tahu dengan kehidupan pastor dalam hal ini, namun yang saya
ketahui adalah bahwa banyak pendeta yang menganggap pekerjaannya hanyalah
berkhotbah. Seringkali dalam berkhotbah ini pun, mereka ibarat orang yang
sedang merayu dengan “rayuan gombalnya”. Saya berkata seperti ini, karena
banyak saya jumpai seorang pendeta yang khotbahnya bagus dan dasar teologisnya
kuat namun banyak omongan yang miring mengenai diri pendeta tersebut.
Kebanyakan dari mereka membela diri dengan mengatakan bahwa seorang pendeta
juga adalah manusia, jadi wajar jika mempunyai salah atau kekurangan. Akan
tetapi, hal ini berbeda ketika dia berkhotbah mengenai suatu hal yang benar dan
dia sendiri tidak melakukannya. Misalnya, seorang pendeta berkhotbah mengenai
“menjaga mulut” akan tetapi dia sendiri sering menggosipkan orang lain. Dalam
hal ini, sikap atau perilaku sehari-hari dari diri seorang pelayan kristiani
turut mempengaruhi penerimaan jemaat terhadap Firman Tuhan yang dikhotbahkan.
Sebenarnya
yang menjadi permasalahan dalam hal ini adalah apakah konsep atau pandangan jemaat
mengenai diri seorang pendeta atau pastor? Jika seorang pendeta atau pastor
hanya dianggap sebagai “tukang khotbah”, maka perilaku sehari-hari dari pendeta
atau pastor tersebut tidak terlalu dipermasalahkan. Namun, bukan konsep seperti
inilah yang ada dalam diri jemaat pada umumnya. Misalnya saja di GKJ.[9] Di
GKJ-GKJ, pada umumnya seorang pendeta dianggap sebagai representasi Allah atau
wakil Allah di dunia. Jadi, apapun yang pendeta lakukan bisa saja diketahui oleh
jemaatnya. Ibaratnya, pendeta adalah “aquarium” sehingga selalu kelihatan apa
yang diperbuatnya. Tampaknya, hal inilah yang seringkali menjadi hambatan
sampainya khotbah pada diri dan kehidupan jemaat itu sendiri. Berdasarkan hal
tersebut, maka perilaku sehari-hari seorang pelayan kristiani diharapkan dapat
sesuai dengan berita Alkitab.
Menyediakan
hidup bagi jemaat adalah berarti kehidupan si pelayan menjadi “jendela” bagi
jemaat untuk memahami dan mengenali karya Allah dalam hidupnya. Seringkali
seorang pengkhotbah menghindari permasalahan seperti di atas dengan memberikan
khotbah tentang sesuatu di luar dirinya. Padahal, khotbah seharusnya terlebih
dahulu mengenai pada diri si pengkhotbah itu sendiri agar mengena juga pada
diri jemaat.
3.
Pelayan kristiani; memberikan hidup
atau menyediakan hidup?
Menurut
Nouwen, dengan memberikan diri/hidupnya pada sesamanya, maka si pelayan
sebenarnya sudah memusatkan hidupnya bagi orang lain. Tak seorang pun dapat
melayani sesamanya apabila ia tidak mau menyangkal dirinya agar dapat
menciptakan ruang di mana Allah melaksanakan karya-Nya.[10]
Menurut saya, memberikan hidup berarti mengabdikan seluruh hidup untuk
pelayanan – tanpa merasa khawatir terhadap kebutuhan sehari-harinya, sementara
menyediakan hidup adalah berarti menjadikan hidupnya sebagai “jendela” bagi
jemaat untuk mengenali dan memahami karya Allah dalam hidupnya. Mengenai hal
ini, saya mau sedikit membedakan kehidupan seorang pastor dengan seorang
pendeta karena pola kehidupan mereka mempengaruhi konsep mengenai seorang
pelayan yang memberikan dan menyediakan hidup atau hanya salah satunya saja.
a. Terkait dengan materi (uang)
Jika
melihat kehidupan para pastor, maka saya mengatakan bahwa mereka memberikan
sekaligus menyediakan hidup bagi jemaat. Karena memang kebutuhan sehari-hari
dari para pastor ditanggung penuh oleh jemaat, sehingga mereka setidaknya
merasa tidak kekurangan dari segi kebutuhan.[11] Akan
tetapi, bagaimana dengan pendeta, yang mempunyai tanggungan keluarga dengan
gaji yang pas-pasan? Mungkin seorang
pendeta merasa kecukupan dengan gajinya yang rata-rata pas, namun bagaimana
dengan masalah uang pendidikan anak-anaknya, uang makan keluarganya, dan
kebutuhan lainnya? Apakah dengan adanya hal ini kita bisa dikatakan bahwa
pendeta hanyalah seorang pelayan yang hanya mampu menyediakan hidup dan tidak
mampu untuk memberikan hidup?
Pertanyaan
di atas sebenarnya terkait dengan konsep spiritualitas pelayan yang anawim, di
mana seorang pelayan dipahami sebagai orang yang terpanggil untuk melayani dan
hidup miskin. Tentunya dengan mengingat konteks dari seorang pendeta itu
sendiri, kita tidak bisa langusng mengatakan bahwa seorang pendeta hanya mampu
untuk menyediakan hidup saja. Konteks saat ini adalah harga akan kebutuhan
sehari-hari cenderung melonjak, entah kebutuhan akan makanan sehari-hari,
kebutuhan akan pendidikan, dll. Hal ini tentunya menyebabkan seorang pendeta
“terpaksa” tidak mampu mengabdikan seluruh hidupnya – baik pikiran, tenaga, dan
waktu hanya bagi jemaat, karena ia juga mempunyai tanggung jawab di dalam
keluarganya di samping bertanggung jawab atas penggembalaan jemaat. Menurut
Bons-Storm, seorang pendeta adalah “gembala khusus penuh waktu” di mana hasil
pembelajarannya (ilmu teologi) dan karunia-karunia khusus yang dimilikinya
digunakan dalam penggembalaan jemaat.[12]
Oleh karena itu, seorang pendeta pun juga adalah seorang pelayan kristiani yang
memberikan hidup sekaligus menyediakan hidup bagi jemaat. Hal yang membedakan
pelayanan seorang pastor dan seorang pendeta hanyalah terletak pada pola pelayanan mereka.
b. Terkait dengan waktu
Jika
kita berbicara mengenai pelayanan yang terkait dengan waktu, maka pertanyaan
bagi kita adalah: sejauh mana seorang pelayan mampu memaksimalkan waktu yang
dimilikinya dalam kehidupan sehari-harinya untuk pelayanan? Dalam hal ini, pikiran
kita secara tidak langsung akan terfokus pada ke-efektifitas-an waktu
pelayanan. Namun, saya tidak akan terlalu membahas panjang lebar mengenai
tingkat ke-efektifitas-an waktu pelayanan karena memang baik bagi seorang
pastor maupun seorang pendeta tidak akan selalu bisa menggunakan seluruh waktu dalam hidupnya untuk
pelayanan. Mengapa saya berkata demikian? Katakanlah ada seorang jemaat yang
membutuhkan pelayanan konseling, sehingga dia menghubungi pastor atau pendeta
untuk melayani dia. Pembicaraan awal mungkin tidak terlalu menyelesaikan
masalah yang dihadapi jemaat tersebut. Pertanyaan selanjutnya: apakah si
pelayan tersebut dapat atau bisa mendampingi setiap saat? Karena jika
permasalahan belum selesai, maka jemaat tersebut pasti akan terus/masih
bergumul dengan permasalahan yang dihadapinya. Secara teori mungkin kita bisa
berkata “ya/dapat”, namun bagaimana realitanya? Seorang pastor atau pendeta
juga adalah seorang manusia yang mempunyai keterbatasan, baik keterbatasan
tenaga maupun pikiran. Oleh karena itu, pasti ada saat di mana si pelayan tidak
dapat berada di samping jemaat yang bermasalah tersebut atau memperhatikannya
dengan segenap pikiran maupun tenaga, walau pun “saat” tersebut mungkin hanya
beberapa menit/jam saja. Hal ini baru satu jemaat, belum lagi ada jemaat lain
yang juga membutuhkan pelayanan dari pastornya atau pendetanya. Selain itu,
pelayanan dari seorang pastor atau pendeta ‘kan
tidak hanya konseling saja, melainkan juga ada hal-hal lain seperti khotbah,
pengorganisasian gereja, visitasi, dan lain-lain.
Kita
kembali pada pertanyaan awal: sejauh mana seorang pelayan mampu memaksimalkan
waktu yang dimilikinya dalam kehidupan sehari-harinya untuk pelayanan? Menurut
saya, dalam hal ini kita perlu – setidaknya – membedakan seorang pastor dengan
seorang pendeta. Mengenai hal ini, seorang pastor mungkin bisa dikatakan
mempunyai banyak waktu pelayanan dibandingkan dengan seorang pendeta. Mengapa
saya bisa berpendapat demikian? Satu kata kunci bagi kita: keluarga. Keluarga
dalam hal ini adalah istri/suami dan juga anak-anak dari si pelayan kristiani.
Seperti yang kita ketahui bahwa seorang pastor memang diwajibkan hidup selibat,
sehingga ia tidak mempunyai tanggungan/beban keluarga – dalam artian seperti di
atas. Namun, bagaimana dengan seorang pendeta? Pada umumnya, seorang pendeta
mempunyai keluarga. Hal ini bisa saja menjadi “hambatan” dalam pelayanan dari
si pendeta. Selain menggembalakan dan memperhatikan jemaatnya, seorang pendeta
yang berkeluarga juga harus memperhatikan pula keluarganya. Memperhatikan
keluarga memang dapat juga disebut sebagai pelayanan, namun yang saya maksudkan
pelayanan di sini adalah pelayanan untuk jemaat gereja. Faktor keluarga inilah
yang menjadikan seorang pendeta tidak mempunyai waktu pelayanan sebanyak yang
dimiliki oleh seorang pastor. Namun, apakah dengan demikian seorang pendeta
tidak mampu memberikan hidupnya? Saya rasa tidak! Hanya yang menjadi pertanyaan
bagi kita adalah: sejauh mana seorang pendeta dapat memaksimalkan waktunya yang
sedikit tersebut untuk pelayanan. Oleh karena itu, seorang pendeta atau pun
pastor akan dapat dikatakan memberikan hidupnya untuk pelayanan jika di dalam
waktu-waktunya maupun kesibukkannya ia tetap mengupayakan sebuah pelayanan.
4.
Kepemimpinan dalam Pelayanan
Seorang
pelayan yang juga adalah gembala mengandung makna bahwa ada pola kepemimpinan
di dalam sebuah pelayanan. Lalu, bagaimana dengan pola kepemimpinan seorang
pendeta/pastor di dalam sebuah gereja? Tentu saja seorang pemimpin yang
kedudukannya sudah disahkan, sekaligus akan menggunakan “kekuasaanya”, agar ia
dapat menjalankannya. Pola kepemimpinan seperti ini dipandang sebagai formal-leadership, kepemimpinan yang
bersifat resmi, yang tersimpul dalam suatu jabatan. Pemimpin yang bersifat
resmi ini selalu menjalankan tugasnya berdasarkan landasan-landasan atau
peraturan resmi.[13]
Akan tetapi, pola kepemimpinan dalam sebuah gereja bukanlah kepemimpinan yang formal-leadership. Kepemimpinan seorang
pendeta/pastor bukanlah berdasarkan jabatan, melainkan lebih bersifat fungsional. Seorang pelayan dalam hal
ini bertanggung jawab bukan pada institusi di atasnya, melainkan pada
gereja/jemaat dan Tuhan selaku Kepala Gereja. Berdasarkan hal tersebut, maka
fungsi seorang pemimpin dalam hal ini adalah lebih kepada fungsi relasional dan
pembangunan jemaat. Gereja adalah sebuah kesatuan organis, sehingga perlu
adanya hubungan yang harmonis dan membangun di antara jemaat gereja itu
sendiri. Dalam hal inilah fungsi seorang pemimpin dibutuhkan, yaitu memberdayakan
jemaat dan memelihara iman jemaat kepada Kristus.
Di
dalam sebuah gereja memang ada sebuah “institusi”, namun bukanlah sebuah
institusi seperti lembaga-lembaga pemerintahan pada umumnya. Institusi di dalam
gereja bertujuan juga untuk pembangunan jemaat dan gereja itu sendiri.
Institusi untuk pelayanan jemaat, bukan sebaliknya. Dalam hal inilah, profesionalisme
pelayanan diperhadapkan pada konsep institusi pada umumnya. Oleh karena itu,
kita perlu mengetahui bagaimanakah konsep institusionalisme dan profesinalisme
di dalam sebuah gereja. Jika institusi cenderung memperlakukan filosofi
(visi/misi), tradisi dan peraturan sebagai tujuan pada dirinya, maka profesionalisme
setia terhadap sesuatu yang lebih besar (teologi: pengenalan akan kehendak dan
karakter Allah) dan terbuka terhadap pembaharuan filosofi, tradisi dan
peraturan sejalan dengan perkembangan. Institusionalisme mementingkan
kewibawaan lembaga dan demi itu menuntut pengorbanan manusia. Sementara itu, profesionalisme
lebih mementingkan manusia dan demi itu mengupayakan keluwesan (fleksibilitas)
lembaga. Institusionalisme menumbuhkan kebanggaan berlebihan (hingga taraf
fanatisme) terhadap institusi (denominasi), sedangkan profesionalisme
menumbuhkan karakter yang menembus batas-batas institusi. Institusionalisme
cenderung menertibkan, menyeragamkan, menggeneralisasi, membatasi perkembangan
dan menuntut ketaatan. Profesionalisme membebaskan, menghargai perbedaan,
mempertimbangkan keunikan-keunikan, mendorong perubahan, dan menumbuhkan
kesadaran akan tanggungjawab. Institusionalisme memutlakkan peraturan (deontologist),
sedangkan profesionalisme menolak legalisme tanpa menjadi anti-nomian. Institusionalisme
membedakan orang berdasarkan hirarki, sedangkan profesionalisme membedakan
orang berdasarkan kebutuhan dan potensinya. Dalam hal ini, profesionalisme
dalam pelayanan juga diperhadapkan dengan konsep mengenai manajerialisme,
mengingat bahwa gereja juga mempunyai sifat sebagai institusi. Manajerialisme
berfokus pada program: bagaimana agar tujuan program tercapai, orang-orang
dengan keahlian apa saja yang diperlukan, bagaimana struktur organisasinya,
strategi apa yang tepat, berapa anggaran dibutuhkan. Dalam hal ini tidak ada
tempat bagi layanan di luar program. Manajerialisme menerjemahkan misi ke dalam
indikasi-indikasi kuantitatif (jumlah pengunjung, banyak-sedikitnya
persembahan, volume pekerjaan, banyak-sedikitnya keluhan/pujian, dsb). Manajerialisme
cenderung mengutamakan spesialisasi di atas persekutuan (keterhubungan) dan
efisiensi di atas pengorbanan (utilitarian). Dalam manajerialisme, pendeta/pastor
berperan sebagai pelatih, direktur (dengan simbol-simbol perkantorannya), supervisor atau problem solver. Akan tetapi, profesionalisme menempatkan program
sebagai sarana untuk mewujudkan fungsi dan misi gereja. Oleh karena itu, pendeta/pastor
profesional perlu senantiasa menghadirkan dimensi ekklesiologis dan spiritual
dalam perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi program, untuk menghindari
pendekatan manajerialisme di dalam pelayanannya yang juga mempunyai dimensi
kepemimpinan. Pada intinya, pola kepemimpinan di dalam pelayanan tidak lain dan
tidak bukan adalah pola penggembalaan komunitas di dalam gereja.
D. PENUTUP
Sejauh
ini kita sudah tahu sedikit banyak mengenai spiritualitas pelayanan, namun yang
menjadi pertanyaan bagi kita adalah: apakah seorang pelayan kristiani mempunyai
spiritualitas pelayanan – seperti yang sudah kita bahas sebelumnya – di dalam
konteks zaman saat ini? Tampaknya spiritualitas pelayanan seperti yang sudah
kita bahas sebelumnya hanyalah suatu idealisme
saja di dalam konteks zaman saat ini. Konteks zaman saat ini memang menuntut
orang, bahkan seorang pelayan kristiani sekali pun, untuk mempunyai “materi”
agar bisa bertahan hidup. Akan tetapi, salah jika kita membuat pelayanan yang
kita lakukan termotivasi oleh materi. Orang hidup memerlukan materi, akan
tetapi hidup bukanlah untuk materi. Apalagi seorang pelayan, maka sudah
seharusnya ia lebih memperhatikan pelayanannya dan jemaat/gereja bahkan
masyarakat yang dilayaninya. Seorang pelayan kristiani, selain mempunyai fungsi
sebagai pelayan juga mempunyai fungsi sebagai pemimpin/gembala. Seorang
pemimpin pada umumnya akan cenderung menggunakan kekuasaannya untuk menguasai
atau menekan pihak yang dikuasainya, apalagi jika jabatan kepemimpinan tersebut
sudah disahkan berdasarkan paham tertentu. Akan tetapi, bukan pola kepemimpinan
seperti ini yang seharusnya ada di dalam gereja. Pendeta/pastor adalah pemimpin
bukanlah dalam artian pemimpin kekuasaan, melainkan dalam artian relasional
(organisme). Berdasarkan hal tersebut, maka seorang pemimpin adalah penghubung
bagi semua jemaatnya. Sementara itu, kekuasaan yang dimiliki oleh seorang
pendeta/pastor bukanlah untuk menguasai, melainkan untuk menjalin relasi.
Walau
pun spiritualitas pelayanan “hanya” sebuah idealisme, namun bukan berarti kita,
sebagai calon-calon pelayan gereja, tidak dapat mempunyai sebuah spiritualitas
dalam pelayanan. Sebagai seorang manusia yang kurang sempurna, maka kita
diharapkan untuk dapat selalu berproses. Hal inilah yang menjadi “PR” bagi
kita. Apakah kita mau menjadi “robot pelayan” bagi gereja? Ataukah kita mau
untuk selalu berproses menjadi seorang pelayan yang mempunyai spiritualitas di
dalam pelayanannya? Walau pun spiritualitas pelayanan sulit untuk dirumuskan,
namun jika kita melihat kembali apa yang sudah kita bahas sebelumnya, maka saya
merumuskan spiritualitas pelayanan adalah sebagai berikut: Pelayanan yang memberikan dan
menyediakan hidup, yang lebih melihat manusianya daripada institusi, yang
menjadikan hidupnya sebagai “jendela” bagi jemaat untuk memahami karya Allah,
yang menjadikan kepemimpinannya sebagai pelayanan, dan yang menyadari bahwa
pelayanannya adalah suatu anugerah dari Tuhan dalam hidupnya.
“…pelayanan
adalah inti kehidupan kristiani, tidak seorang pun dapat disebut kristiani
kalau dia bukan seorang pelayan…” (Henri J.M. Nouwen).
DAFTAR
PUSTAKA
1.
Bons-Storm,
M., Apakah
Penggembalaan Itu? (Jakarta: BPK Gunung Mulia. 2000).
2.
Materi
perkuliahan Teologi Pastoral; Dosen pengampu: Rm. Gito
3.
Nouwen,
H.J.M., Pelayanan yang Kreatif (Yogyakarta: Kanisius. 1986).
4.
Sitompul,
A.A., Di Pintu Gerbang Pembinaan Gereja seri 2; Penggembalaan: Pelayanan
dan Kepemimpinan (Jakarta: BPK Gunung Mulia. 1979).
5.
Singgih,
E.G. dan Tjaard G. Hommes (ed.), Teologi dan Praksis Pastoral
(Yogyakarta: Kanisius. 1992).
[1]
Singgih, E.G. dan Tjaard G. Hommes (ed.), Teologi
dan Praksis Pastoral (Yogyakarta: Kanisius. 1992). Hlm. 9
[2]
H.J.M. Nouwen, Pelayanan yang Kreatif
(Yogyakarta: Kanisius. 1986). Hlm. 21
[3] Pembahasan ini merupakan resume dari buku “Pelayanan
yang Kreatif” (H.J.M. Nouwen).
[9]
Saya mengambil contoh dari GKJ karena saya berasal
dari denominasi GKJ, sehingga saya sedikit banyak tahu apa pandangan jemaat
mengenai diri seorang pendeta.
[10]
H.J.M. Nouwen, Pelayanan yang Kreatif
(Yogyakarta: Kanisius. 1986). Hlm. 72.
[11]
Berdasarkan wawancara singkat, sewaktu
perkuliahan, dengan Rm. Gito, selaku dosen pengampu mata kuliah Teologi Pastoral.
[12]
M. Bons-Storm, Apakah Penggembalaan Itu?
(Jakarta: BPK Gunung Mulia. 2000). Hlm. 25
[13]
A. A. Sitompul, Di Pintu Gerbang Pembinaan Gereja
seri 2; Penggembalaan: Pelayanan dan Kepemimpinan (Jakarta: BPK Gunung
Mulia. 1979). Hlm. 11
Tidak ada komentar:
Posting Komentar