Rabu, 26 Desember 2012

Perjamuan Kudus dan Pamerdi



Perjamuan Kudus dan Pamerdi
(Suatu Tinjauan Teologis dan Psikologi terhadap Pokok-Pokok Ajaran GKJ 2005; p-j 137)

Pendahuluan
Kehidupan gereja tidak pernah bisa lepas dari dogma dan tradisi iman.[1] Keduanya berjalan dan berkembang seiring dengan perkembangan diri gereja itu sendiri. Dogma dan tradisi iman merupakan dua hal yang selalu mewarai dinamika kehidupan bergereja. Di satu sisi, dogma dan tradisi iman gereja mampu membuat gereja itu sendiri tumbuh berkembang di dalam iman terhadap Kristus, di dalam menghadapi tantangan zaman. Namun, di sisi lain, dogma ataupun tradisi iman seringkali menimbulkan konflik dan permasalahan dilematis, yang seringkali menimbulkan perpecahan dalam diri gereja. Dalam hal inilah, gereja dituntut akan kedewasaan iman serta berteologinya di dalam menyikapi tantangan zaman, dengan tetap berpegang pada dogma dan tradisi imannya – dengan tidak menutup kemungkinan untuk mengembangkannya sehingga tetap relevan dengan konteks.
Salah satu tradisi kekristenan yang sampai saat ini masih dipelihara dan dilaksanakan oleh GKJ adalah Perjamuan Kudus. Perjamuan Kudus merupakan salah satu dari dua macam sakramen yang diakui dan diberlakukan oleh GKJ.[2] Terkait dengan hal tersebut, GKJ hanya memberilakukan dua sakramen, yakni sakramen baptisan dan perjamuan kudus, adalah karena dua hal tersebut yang secara langsung dan jelas diperintahkan oleh Tuhan Yesus melalui Alkitab (Mat 28; 19; 1 Kor 11: 25b, 26).[3] Perjamuan Kudus dihayati oleh GKJ sebagai sakramen, karena perjamuan kudus merupakan alat pelayanan yang dikhususkan di dalam pekerjaan penyelamatan Allah, yaitu sebagai penyataan dan pemeliharaan iman.[4] Dalam prakteknya, perjamuan kudus dengan penghayatannya demikian ternyata juga bisa menimbulkan konflik dalam diri gereja. Hal ini terkait dengan keanggotaan atau jemaat yang diperbolehkan mengikuti sakramen perjamuan kudus. Dalam PPA GKJ p-j 137, tersirat bahwa orang yang sedang dalam penggembalaan khusus (pamerdi) tidak diperkenankan mengikuti sakramen perjamuan kudus.
Terkait dengan “pamerdi”, mengapa jemaat yang sedang dalam pamerdi tidak boleh mengikuti perjamuan kudus? Tata Laksana 2005 psl 46 (2) juga berkata demikian.[5] Apakah perjamuan kudus hanya diperuntukkan untuk mereka yang ‘suci’? Jika sakramen perjamuan kudus bertujuan untuk pemeliharaan iman, maka bukankah orang yang sedang dalam pamerdi seyogyanya dianjurkan untuk tetap mengikuti, karena dengan demikian ia akan semakin diingatkan dan sakramen perjamuan kudus dapat mendorong proses pertobatan orang tersebut? Atau, apakah GKJ mengenal istilah dosa kecil dan dosa besar, sehingga orang yang berdosa kecil bisa tetap mengikuti perjamuan (karena tidak ada manusia yang tidak berdosa) sementara orang yang berdosa besar kena pamerdi dan tidak boleh menerima perjamuan? Jika Tuhan Yesus sendiri saja berfirman bahwa Ia datang untuk orang berdosa, mengapa gereja tidak memperbolehkan orang yang sedang dalam pamerdi ikut menerima perjamuan? Bukankah dengan demikian pemahaman GKJ  mengenai peserta perjamuan bertentangan dengan konsep kedatangan Tuhan Yesus dan kasih yang Ia ajarkan, karena Ia tidak menolak orang berdosa yang datang kepada-Nya?
Permasalahan demikianlah yang melatarbelakangi penulisan paper ini. Terkait dengan hal tersebut, maka penulis memaparkan sejarah perjamuan kudus itu sendiri dan juga perkembangan maknanya. Penulis juga memaparkan arti dan konsep pamerdi. Di samping itu, penulis juga memaparkan tinjauan teologis dan psikologi, terkait dengan permasalahan mengenai boleh tidaknya orang yang sedang berada dalam pamerdi menerima dan mengikuti sakramen perjamuan kudus.

Perjamuan kudus
Perjamuan kudus yang kini menjadi salah satu tradisi kekristenan, pada umumya pelaksanaannya didasarkan pada peristiwa perjamuan malam terakhir sebelum Yesus disalibkan. Namun, jika mencermati masalah tradisi perjamuan itu sendiri, maka tampak bahwa tradisi perjamuan tersebut tidaklah “dibuat” atau pertama kali dicetuskan oleh Yesus. Menurut Den Heyer, perjamuan kudus kristiani berakar pada perjamuan Paskah tradisional menurut versi Yahudi.[6] Tradisi Yahudi yang kemudian juga dilakukan oleh Yesus tersebut pada akhirnya, baik makna maupun prakteknya, ditegaskan kembali oleh Rasul Paulus. Dengan demikian, tampak bahwa perjamuan kudus pada mulanya adalah perjamuan makan bersama, di mana ketika makna religious kekristenan masuk akhirnya menjadi perjamuan “kudus”.

-         Tradisi Perjamuan
Pada awalnya, perjamuan kudus hanyalah berawal dari perjamuan/makan bersama biasa. Berdasarkan observasi data Perjanjian Lama, baik melalui sumber tertulis maupun arkeologi, ternyata tidak banyak data yang dapat ditemukan terkait dengan seputar perjamuan makan. Pada masa Israel kuno, kebiasaan perjamuan makan hanyalah dilakukan oleh para bangsawan atau raja. Hal tersebut dilakukan tatkala ada perayaan istimewa ataupun juga di dalam menyambut tamu. Dengan kata lain, perjamuan adalah suatu peristiwa makan bersama. Keadaan tersebut berbeda dengan rakyat biasa, yang sebagian besar berkerja sebagai petani sederhana dan nelayan. Kepustakaan Yahudi-muda dan para nabi memberiikan kesan bahwa masyarakat demikian sepanjang minggu menghabiskan waktunya dengan bekerja dan cukup makan dua kali sehari. Dengan kata lain, kebiasaan makan bersama (perjamuan) tidak terlalu familiar dalam kehidupan masyarakat awam Israel kuno. Tidak terlalu jelas juga apa makanan pokok mereka. Namun, berbagai bukti membawa pada kesimpulan bahwa makanan sehari-hari (utama) masyarakat Israel kuno adalah roti. Selain roti, makanan yang tampaknya cukup popular juga adalah ikan, karena sebagian besar juga berprofesi sebagai nelayan. Terkait dengan minuman, tampaknya memang anggur adalah minuman yang me-masyarakat, baik dalam kalangan raja dan bangsawan maupun rakyat biasa, khususnya ketika event makan bersama/perjamuan.[7] Dengan demikian, tampak bahwa pada mulanya kebiasaan perjamuan tersebut masih sering dilakukan hanya dalam kalangan raja dan bangsawan kerajaan, khususnya dalam event-event khusus (misalnya jamuan terhadap tamu kerajaan atau perayaan kemenangan perang). Sifat daripada perjamuan tersebut juga tidaklah mengindikasikan adanya religiusitas, melainkan hanyalah sebagai perayaan dan makan bersama.
Perjamuan, yang pada awalnya hanya sebagai makan bersama, lambat laun menjadi kebiasaan makan atau perjamuan religious. Hal ini dikarenakan adanya hukum Taurat yang mengatur setiap aspek kehidupan masyarakat Yahudi, bahkan sampai pada masalah dapur. Orang-orang yang duduk di sekeliling meja makan menghadapi hidangan terkena oleh macam-macam persyaratan ketat berkenaan dengan “kesucian” hidup mereka. Bandingkan dengan kisah Yesus ketika makan bersama dengan para pemungut cukai dan orang-orang yang dianggap berdosa (Mrk 2: 13-17; Mat 9: 9-13, Luk 5: 27-32), di mana juga diceritakan bahwa orang-orang Farisi heran melihatnya. Berdasarkan hal tersebut, tampak bahwa “peserta” perjamuan atau makan bersama pun juga dipermasalahkan. Seakan-akan orang berdosa dan para pemungut cukai tidak diperkenankan mengadakan makan bersama. Tidak hanya “peserta” perjamuan, namun makanan yang terhidang di meja pun juga “diikat” (diatur) oleh hukum Taurat. Hukum Taurat terkait dengan kehidupan masyarakat Yahudi tanpa membedakan secara prinsipiil antara perkara rohani dan kebendaan.[8]
Seiring dengan perkembangan waktu, perjamuan tampaknya berkembang semakin umum dalam kehidupan masyarakat Yahudi. Sekalipun nilai-nilai religious sudah merasuk ke dalam tatanan makan bersama tersebut, namun hal itu tidaklah menyurutkan perkembangan perjamuan dalam masyarakat. Makan merupakan sudah merupakan kebutuhan utama manusia. Kebutuhan pribadi tersebut kemudian berkembang menjadi kebutuhan social, tatkala perjamuan memainkan peranan penting dalam kehidupan bermasyarakat (fungsi sosial). Perjamuan dapat mempererat relasi dengan tamu, saudara/kerabat, dan juga masyarakat lain ketika dalam acara kebersamaan ataupun juga perayaan. Dalam era ini pula tampak bahwa masyarakat Yahudi lebih cenderung suka mengadakan acara makan bersama, daripada makan secara individual. Berdasarkan hal tersebut, maka perjamuan dapat dipahami mengandung unsur sukacita di dalamnya. Namun, tampaknya perjamuan tidak hanya menggambarkan sukacita saja, melainkan juga dapat menggambarkan dukacita/perkabungan (misal Ul 26: 1-4; 1 Sam 1: 7-18). Pada meja makan orang tertawa, tetapi juga menangis; ada waktu untuk tertawa dan sukacita, tetapi juga untuk kesungguhan hidup. Orang sehidangan terjalin satu kepada yang lain oleh ikatan yang kuat. Perjamuan mengikat persaudaraan antarmanusia dan hal tersebut sudah menjadi kebiasaan yang sulit dihilangkan dalam sejarah umat Yahudi. Bahkan, masyarakat Yahudi pun sampai meyakini bahwa di dalam perjamuan tersebut juga terjadi suatu persekutuan.[9] Pemahaman yang demikian semakin terdukung dengan adanya system kekerabatan yang kental dalam masyarakat Yahudi, sehingga tradisi perjamuan/makan bersama tetap terpelihara bahkan lambat laun menjadi suatu hal yang sudah umum.
Salah satu hal yang menarik dari penelitian/studi mengenai perjamuan, yakni adalah ketika perjamuan – yang notabenenya sifatnya adalah umum/social – menjadi bagian dalam suatu perayaan religious, yakni Paskah. Hal ini ternyata tidak lepas dari era Raja Yosia, yang pada waktu itu menemukan kumpulan naskah atau kitab-kitab kuno Israel. Pembaharuan pemerintahan yang dilakukan oleh Raja Yosia, ternyata juga membawa dampak dalam kehidupan religious bangsa Israel, khususnya pembaharuan kultus. Hal inilah yang membuat perjamuan kemudian menjadi salah satu bagian dari perayaan Paskah bangsa Israel, demi memperingati peristiwa keluarnya mereka dari tanah Mesir.[10]

-         Penetapan Perjamuan (amanat penetapan)
Berdasarkan pemaparan di atas, maka tampak bahwa perjamuan itu sendiri sudah merupakan hal yang umum dalam sebuah kebersamaan bagi masyarakat Yahudi. Selain itu, perjamuan juga telah menjadi suatu acara/pesta Paskah – dalam arti peristiwa keluaranya bangsa Israel dari Mesir.[11] Berdasarkan hal tersebut, perjamuan malam yang dilakukan oleh Yesus bersama para murid-muridNya tampaknya bisa diasumsikan sebagai suatu perayaan menjelang Paskah (perjamuan Paskah tradisional).[12] Namun, terkait dengan hal tersebut tampaknya perjamuan malam yang dilakukan Yesus tidak serta bisa mengasumsikan bahwa Ia melakukan tradisi ke-Yahudian, yakni, perayaan Paskah dengan mengadakan perjamuan. Kisah mengenai perjamuan “terakhir”[13] dalam keempat kitab Injil diceritakan dengan versi yang berbeda-beda (lih Mat 26: 20-29; Mrk 14: 17-25; Luk 22: 14-38; Yoh 13: 21-30). Studi penafsiran atas masing-masing kisah tersebut, tampak bahwa perjamuan tersebut terjadi tatkala sehari sebelum hari pertama Paskah dimulai. Hari pertama perayaan Paskah adalah tanggal 15 Nisan, sementara perjamuan tersebut terjadi pada tanggal 14 Nisan (Injil Sinoptik) atau tanggal 13 Nisan (Injil Yohanes). Adanya perbedaan di antara kitab Injil tersebut, ternyata juga membawa dampak teologis yang cukup mendalam. Jika penafsiran didasarkan pada Injil Yohanes (13 Nisan), maka perjamuan “terakhir” tidak ada kaitannya dengan perjamuan Paskah. Berbeda halnya jika penafsiran didasarkan pada Injil Sinoptik, maka akan tampak bahwa perjamuan “terakhir” justru berkaitan erat dengan perjamuan Paskah. Berdasarkan hal tersebut, maka dapat diasumsikan bahwa perjamuan Yesus bersama murid-muridNya tidaklah mengartikan bahwa Yesus bersama para muridNya melakukan tradisi perayaan Paskah, yakni perjamuan. Namun, peristiwa tersebut mengartikan suatu perjamuan perpisahan antara Yesus dengan murid-muridNya.[14]
Dugaan bahwa Yesus dan para muridNya dalam melakukan perjamuan adalah bukan berorientasi pada tradisi perayaan Paskah, melainkan perjamuan “perpisahan” diperkuat oleh adanya studi yang mengacu pada roti yang digunakan oleh Yesus dan para muridNya adalah roti beragi (roti biasa). Tanggal 14 Nisan ('EREV PESAKH), pada hari ini setelah tengah hari, orang Israel sudah tidak makan roti beragi (Keluaran 12:18, Ulangan 16:3), sebab pada waktu senja kalangan Yudaisme segera masuk kepada hari Raya Pesakh, yaitu tanggal 15 Nisan, dimana mereka merayakan PESAKH. Perayaan ini ini dikenal juga dengan nama חג המצות (khag hamatsot - Hari Raya Roti Tidak Beragi, 15 Nisan). Kata Yunani untuk "Roti Tidak Beragi" adalah "αζυμος - azumos". Kata inilah yang digunakan oleh Markus dalam "Hari Raya Roti Tidak Beragi". Sedangkan kata Yunani untuk roti biasa (beragi) adalah αρτος - artos. Seluruh penulis kitab Injil termasuk Markus, menulis yang sama, bahwa saat itu merupakan perjamuan terakhir Yesus dengan murid-muridNya memakan αρτος - artos (roti biasa beragi). Oleh karena itu, perjamuan makan malam itu walaupun sebuah "perjamuan Paskah", namun itu bukan perjamuan paskah dengan Roti Tidak Beragi, sebab itu hanya dapat dimulai pada waktu petang 14 Nisan saat Yesus Kristus ada di kayu Salib. Dengan demikian terjadinya "perjamuan terakhir" dalam yang diceritakan dalam Markus 14:22 adalah sebelum tanggal 14 Nisan. Hal tersebut ditujukan dengan adanya penggunaan kata yang berbeda pada pasal yang sama. Karena untuk Paskah, tidak mungkin mereka akan memakan sesuatu yang telah dilarang oleh Allah melalui Hukum Musa (yaitu memakan "artos" – roti biasa beragi), dan tidak memakan sesuatu yang diperintahkan untuk dimakan (yaitu roti tidak beragi - "azumos").[15]
Berdasarkan pemaparan di atas, maka tampak bahwa peristiwa perjamuan malam yang dilakukan oleh Yesus bersama para muridNya tersebut menimbulkan banyak permasalahan, baik secara konsep teologis (makna) maupun moment terjadinya (historis). Di satu sisi, permasalahan tanggal perjamuan – jika mendasarkan pada Injil Yohanes – maka tampaknya tanggal kejadian adalah 13 Nisan. Hal tersebut menimbulkan konsekuensi bahwa roti yang digunakan adalah roti yang beragi (hal ini diperkuat dengan terjemahan bahasa Yunani dari teks Markus 14: 22). Dalam terang konsep Injil Yohanes yang demikian, maka perjamuan malam yang dilakukan Yesus bersama para muridNya hanya perjamuan perpisahan biasa.[16] Namun, di sisi lain jika tanggal kejadian adalah 14 Nisan, entah roti yang digunakan adalah roti beragi ataupun tidak beragi,[17] maka perjamuan tersebut bisa disebut sebagai perjamuan seder[18] atau perjamuan perayaan awal Paskah. Permasalahan yang cukup penting berikutnya adalah mengenai prakarsa Yesus untuk menetapkan perjamuan malam sebagai peringatan akan karyaNya.
Kecenderungan para penafsir yang mengkaitkan erat antara perjamuan malam dengan Paskah, ternyata membawa dampak teologis bahwa perjamuan malam yang dilakukan Yesus bersama para muridNya merupakan perjamuan Seder, di mana di dalam perjamuan tersebut Yesus – melalui ucapanNya – menetapkan perjamuan guna mengingat karyaNya.[19] Kata-kata yang diucapkan oleh Yesus tersebut diyakini sebagai ucapan untuk mendorong murid-muridNya beserta jemaat Kristen mula-mula (pada perkembangannya nanti) untuk merayakan perjamuan kudus.[20]  Keterkaitan antara perjamuan malam dengan perjamuan Paskah adalah pada adanya konsep mengenai “domba Paskah”.[21] Dalam tradisi Yahudi, domba Paskah merupakan symbol utama dalam perayaan tersebut. Akan tetapi, domba Paskah tidaklah mengartikan korban pendamaian seperti halnya korban bakaran lain. Berdasarkan hal tersebut, maka Paskah dalam terang tradisi Yahudi tidak boleh disamakan dengan Hari Raya Pendamaian. Domba Paskah dalam perayaan tersebut sebenarnya mengartikan sekaligus symbol pengingat akan peristiwa tulah 10, yakni anak sulung mati. Darah domba Paskah adalah “apotropeik”, yakni mempunyai makna melindungi umat Israel dari kematian dan kebinasaan.[22] Rupanya domba Paskah telah menjadi bagian utama dalam kultus perayaan Paskah dalam tradisi Yahudi.
Menurut Heyer, identifikasi antara Yesus dengan domba Paskah memang sudah jelas,[23] tetapi Alkitab kurang memberiikan bukti-bukti yang nyata. Dalam analisis “amanat penetapan” perjamuan malam juga nyata bahwa Yesus pada kesempatan itu tidak menyinggung tentang domba Paskah tersebut, padahal hampir pasti hidangan tersebut tersedia di atas meja perjamuan. Ia hanya membatasi diri dengan roti dan anggur.[24] Hal ini dilakukan oleh Yesus tampaknya adalah karena Ia tidak ingin menitikberatkan perjamuan tersebut pada perjamuan/perayaan Paskah yang resmi.[25] Dengan demikian, tampak bahwa Yesus ingin memperbaharui makna dari perjamuan Seder yang selama ini dilakukan menurut tradisi Yahudi. Dengan kata lain pula, Yesus menetapkan suatu perjamuan, yang mempunyai makna baru, kepada murid-muridNya.[26]

-         Makna Perjamuan Kudus
Perjamuan, seperti yang telah penulis paparkan pada bagian sebelumnya, pada mulanya hanyalah sebagai acara makan bersama. Ketika unsur religious masuk dan mengikat kebiasaan tersebut, sehingga lambat laun – karena adanya pembaharuan kultus Yahudi, perjamuan menjadi salah satu bagian dalam tradisi keagamaan Yahudi. Moment yang merupakan tradisi keagamaan tersebut menjadi semakin bermakna di dalam dunia kekristenan, semenjak Yesus memperbaharui makna sekaligus menetapkan perjamuan kudus yang demikian kepada murid-muridNya. Jika melihat teks-teks yang mengkisahkan tentang peristiwa perjamuan kudus, yakni Mat 26: 20-29; Mrk 14: 17-25; Luk 22: 14-38; Yoh 13: 21-30, maka tampak bahwa perjamuan kudus itu sendiri sebagai moment mengingat Yesus dan karya pengorbananNya sebagai korban penebusan.
Dalam Pokok-pokok Ajarannya, GKJ memahami perjamuan kudus sebagai berikut:
Perjamuan Kudus sebagai salah satu sarana pemeliharaan iman Kristen, di mana roti dan anggur merupakan unsur dasar dalam perjamuan tersebut. Roti dan anggur yang telah melalui proses konsekrasi dihayati sebagai symbol tubuh dan darah Kristus. Hal tersebut mengandung makna akan keyakinan bahwa:
-          Penyaliban dan kematian Yesus Kristus adalah dasar penyelamatan bagi manusia.
-          Melalui bentuk makan dan minum bersama yang melambangkan kehidupan keluarga Allah.
-          Sakramen perjamuan juga mengacu ke depan (eskatologis), yakni ke perjamuan yang sempurna di sorga.[27]
Sebagai sarana pemeliharaan iman, Sakramen Perjamuan Kudus mempunyai makna sebagai berikut:
-          Mengingatkan orang-orang percaya pada penyaliban dan kematian Kristus.
-          Mengingatkan orang-orang percaya pada kedudukan mereka sebagai anggota Kerajaan Allah.
-          Mengingatkan orang-orang percaya pada kesempurnaan keselamatan yang dijanjikan Allah.[28]

Menurut Harun, perjamuan kudus di satu sisi berkenaan dengan apa yang telah terjadi, sebab perjamuan kudus dilakukan sebagai peringatan. Dalam hal ini, peristiwa yang dimaksud adalah karya pengorbanan Yesus bagi manusia, di mana makna dari peristiwa tersebut juga disimbolkan dalam perjamuan malam yang dilakukan Yesus bersama para muridNya. Sedangkan, di sisi lain perjamuan kudus juga berkenaan dengan akhir zaman (eskatologis).[29] Dua aspek dalam perjamuan kudus tersebut dikuatkan oleh Heyer, yang berpendapat bahwa melalui kematian Kristus itulah pengharapan akan Kerajaan itu kembali terungkap dengan cara yang mengejutkan. Kematian Kristus juga membawa efek bagi mereka yang “terpilih”, di mana oleh pengorbananNya akan memiliki hidup dalam pengharapan akan Kerajaan Allah. Terkait dengan hal tersebut, perjamuan kudus, secara kesejajaran yang penuh dengan pesta Paskah Yahudi, tidak saja membangkitkan kenangan pada peristiwa Keluaran dan Salib, tetapi juga membangkitkan pengharapan dan kerinduan akan masa depan, serta penghayatan akan Kerajaan Allah.[30]
Menurut Heyer, moment di mana Yesus mengadakan perjamua bersama muridNya adalah moment di mana Yesus memasukkan makna baru di dalam tradisi tersebut. Itulah sebabnya perjamuan kudus – secara kristiani – bukanlah sekedar suatu pengulangan dan kelanjutan dari perjamuan-perjamuan khusus yang Yesus adakan semasa hidupNya, tetapi bahkan juga membuka dimensi-dimensi baru yang tidak dapat dicari persamaannya dalam Paskah tradisional Yahudi. Dalam hal ini, cirri khas perjamuan kudus dapat dijelaskan menurut istilah yang Paulus kemukakan, yakni perjamuan Tuhan, artinya yang berpusat pada Yesus Kristus. Dalam perjamuan Tuhan tersebut, semua orang terpanggil untuk ikut merasakan sukacita Paskah Yahudi, yang terulang kembali dalam bentuk perjamuan kudus secara kristiani.[31] Sementara itu, menurut Heyer, aspek eskatologis dari perjamuan Tuhan juga tampak di dalam makan dan minum jemaat menantikan kedatangan Tuhan kedua kalinya, yang memberiikan kepastian atas kemenangan dan pembebasan.[32]
Berdasarkan uraian mengenai makna pokok perjamuan kudus di atas, maka tampak bahwa perjamuan kudus memiliki beberapa unsur sebagai berikut:
-         Panggilan Tuhan
Perjamuan kudus mengandung aspek panggilan Tuhan, karena bukanlah manusia yang mengadakan bahkan menetapkan perjamuan tersebut. Tuhanlah yang memanggil semua orang, mengadakan, dan menetapkan.[33] Panggilan Tuhan dalam perjamuan kudus adalah berlaku bagi semua orang.[34]
-         Kebersamaan – persekutuan
Dalam perjamuan tidak ada individualitas. Perjamuan itu sendiri mengartikan suatu moment duduk bersama dalam satu meja dan makan bersama dari meja yang satu itu pula. Kebersamaan atau persekutuan dalam perjamuan kudus tidak hanya terletak pada persekutuan para umat itu sendiri, melainkan juga persekutuan antara Tuhan dengan umatNya.[35]
-         Sukacita – dukacita
Di satu sisi, pengharapan akan keselamatan ataupun juga kesempurnaan Kerajaan Allah membawa sukacita. Namun, di sisi lain dukacita mengenang peristiwa lampau juga turut mewarnai perjamuan kudus.[36] Jika melihat sejarah dari tradisi perjamuan itu sendiri, maka perjamuan sebenarnya lebih cenderung bersifat sukacita (suasana perjamuan). Hal ini dikarenakan bahwa perjamuan adalah suatu moment makan bersama dalam satu meja.
-         Kekudusan
Sifat kekudusan dari perjamuan kudus bukanlah tergantung pada para anggota perjamuan tersebut, melainkan tergantung pada dasar dari perjamuan. I Kor 11: 20-22, rasul Paulus membedakan antara perjamuan biasa dengan perjamuan Tuhan.[37] Perjamuan dapat dikatakan sebagai perjamuan kudus/Tuhan justru karena berpusatkan pada Yesus Kristus, di mana hidangan yang biasa digunakan (roti dan anggur) melambangkan (simbol) tubuh dan darahNya.[38]


Perjamuan Kudus dan Pamerdi
Di bagian sebelumnya, Penulis sudah memaparkan mengenai sejarah tradisi perjamuan dan perkembangannya, termasuk perkembangan maknanya dalam tradisi kekristenan. Jika melihat makna perjamuan kudus di atas, termasuk juga unsur-unsur di dalamnya, maka – kembali pda permasalahan dalam makalah ini – apakah orang yang sedang dalam pamerdi atau penggembalaan khusus tidak boleh menerima atau ikut dalam perjamuan kudus? Bahkan, dalam hal ini PPA GKJ dan TAGER/TALAK GKJ pun menyatakan secara langsung bahwa jemaat yang sedang dalam pamerdi tidak diperkenankan menerima dan mengikuti perjamuan kudus.[39] Tampaknya yang menjadi alasan jemaat yang terkena pamerdi tidak boleh mengikuti dan menerima Sakramen Perjamuan Kudus adalah demi kebaikan jemaat itu sendiri, agar ia tidak menodai PK dan mendatangkan kutuk/hukuman Tuhan atas dirinya sendiri (I Kor 10: 14-22; 11: 23-29). Namun, apakah hal itu dibenarkan jika melihat pengertian/makna serta unsur-unsur dalam perjamuan kudus, yang telah penulis singgung di bagian sebelumnya?
Menurut pemahaman GKJ, Pamerdi adalah:[40]
Pamerdi adalah tindakan Gereja berdasarkan kasih sebagai bentuk pemeliharaan iman kepada warga Gereja atau pejabat Gerejawi yang jatuh ke dalam dosa, atau paham pengajarannya bertentangan dengan Firman Tuhan.  Hal tersebut dapat mendatangkan batu sandungan, baik bagi sesama warga Gereja maupun masyarakat umum. Pamerdi dilaksanakan dengan cara membatasi hak-haknya.
Pamerdi bertujuan:
1.      Agar yang bersangkutan mengakui dosanya dan bertobat, sehingga keselamatannya terpelihara.
2.      Agar menjadi peringatan dan pendidikan bagi semua warga Gereja.
3.      Agar kesucian Gereja sebagai anugerah Tuhan tetap terjaga demi kemuliaan Tuhan Yesus Kristus.

Pamerdi (siasat gereja/penggembalaan khusus/disiplin gereja) sebenarnya adalah sebuah sistem yang mengatur umat yang bersekutu dalam gereja – dilakukan atas kasih terhadap individu yang mendapat sanksi, dalam ketaatan dan hormat kepada Allah, dan dalam rasa takut kepada Allah. Pamerdi dalam gereja juga merupakan cara untuk mempertahankan kesucian gereja sebagai persekutuan agar nama Allah tetap dipermuliakan dan tidak dicemarkan. Berdasarkan hal tersebut, maka tampak bahwa pamerdi sebenarnya mempunyai tujuan yang baik pada dirinya. Namun, yang menjadi masalah dalam hal ini bukanlah pamerdi itu sendiri, melainkan posisi dan hak warga jemaat yang sedang dalam pamerdi, di mana dia bersalah atau juga dianggap bersalah, kemudian tidak diperkenankan menerima dan mengikuti perjamuan kudus. Bukankah hal demikian membuat kesan bahwa dogma dan hukum gereja terkesan tidak memanusiakan manusia? Dalam artian, orang bersalah atau dianggap bersalah dikucilkan dari persekutuan dan haknya dalam beribadah dibatasi. Bagaimanakah hal ini ditinjau dari sudut pandang psikologis, etis, dan teologis?

-         Tinjauan psikologis
Agama dan psikologi seringkali dipertentangkan, karena keduanya – jika disalahpahami – bisa menjadikan satu sama lain saling menggerogoti. Padahal, dalam kehidupan orang beriman pastilah selalu terjadi dinamika psikologi. Dari sudut pandang psikologi, manusia adalah makhluk yang berkembang menjadi religious. Manusia bukanlah makhluk statis, namun dinamis, termasuk dalam menghayati Tuhannya. Dalam hal ini, psikologi masuk bukanlah untuk mencari kebenaran mengenai Tuhan, seperti misalnya ilmu tafsir, ilmu sejarah, dll. Ilmu psikologi dalam kaitannya dengan agama/teologi adalah mempelajari mengapa manusis berkelakuan beragama. Hal ini bukanlah untuk menyangkal penghatan manusia dengan Allah, namun justru akan terlihat hubungan manusia dengan Allah terjalin dengan sangat mendalam dengan apa yang manusiawi dalam diri manusia itu sendiri.[41]
Terkait dengan permasalahan di atas, maka bagaimana psikologi orang yang sedang berada dalam pamerdi atas kesalahannya dan yang ditimpakan atasnya?[42]
Perasaan bersalah dalam moral-individual menduduki peran penting. Orang yang sengaja berbuat jahat dan tidak pernah merasa bersalah atas kejahatan yang pernah dibuatnya atau malah bangga atas perbuatannya, dianggap tidak bermoral. Pada umumnya orang merasa bersalah karena telah berbuat sesuatu di masa lampau yang dianggapnya berdosa atau keliru. Orang juga bisa merasa bersalah karena tidak berbuat sesuatu yang seharusnya bisa dilakukan di masa lampau. Perasaan bersalah bukan hanya disebabkan oleh pandangan yang kurang tepat tentang dosa, konsep baik atau buruk, tetapi juga gambaran-gambaran ideal tentang diri. Perasaan bersalah sering dipandang sebagai manifestasi dari suara hati. Suara hati dipandang jauh lebih dalam dari pada sekedar rasa perasaan. Ia adalah pengertian konkret tentang baik dan buruk mengenai suatu perbuatan konkret. Ia muncul seperti seruan yang memaksa untuk didengarkan, entah orang suka atau tidak suka. Namun suara hati itu sendiri juga bisa salah karena suara hati tidak lain adalah ingatan bawah sadar akan nilai-nilai yang dibentuk dari dalam atau dipaksakan dari luar. Maka perasaan bersalah sesungguhnya tidak lain merupakan proyeksi atas reaksi ingatan akan nilai-nilai yang dibatinkan dalam diri seseorang terhadap peristiwa yang telah lewat. Perasaan bersalah akan selalu datang seperti bayang-bayang ketika batin lebih mementingkan gambaran ideal daripada apa yang faktual. Ketika perasaan bersalah muncul, orang dibuat tak-berdaya. Upaya untuk melawan perasaan bersalah justru makin membuat tersiksa, depresi atau frustrasi. Niat baik atau perubahan di masa depan yang dicetuskan hanya melulu karena rasa bersalah tidak cukup kuat untuk mengubah tindakan secara signifikan. Banyak orang sudah terbiasa mengalami perasaan bersalah, namun batinnya tetap tidak berubah.[43]
Menurut Dr. Yakub, Rasa Bersalah dapat dibedakan menjadi 2 bagian, yaitu:
A.     Objective Guilt
Rasa Bersalah dalam jenis ini dapat muncul dikarenakan oleh adanya pelanggaran hukum baik tertulis maupun tidak tertulis. Tapi anehnya, orang yang melakukan pelanggaran tidak selalu merasa bersalah. Oleh karena macam pelanggaran hukum beraneka ragam, maka rasa bersalah menurut jenis pelanggarannya perlu dibedakan dengan lebih rinci lagi, yaitu:
-         Legal-Guilt
Yaitu rasa bersalah yang menjadi masalah oleh karena pelanggaran terhadap hukum tertulis yang berlaku di dalam masyarakat. Sebagai contoh adalah pembunuhan, pencurian, perzinahan, dll., menimbulkan perasaan bersalah, namun tidak semua orang yang melakukannya merasa bersalah.
-         Social-Guilt
Ialah rasa bersalah yang muncul ketika terjadi pelanggaran terhadap hukum tak tertulis yang berlaku dalam masyarakat. Misalnya: penghinaan, ancaman, dsb. Yang tidak ada barang bukti untuk diadukan ke pengadilan, namun menumbuhkan perasaan bersalah.
-         Personal-Guilt
Yakni perasaan bersalah yang muncul tatkala berlangsung pelanggaran terhadap kesadaran akan kebenaran dalam hati orang yang bersangkutan. Misalnya: rasa bersalah yang muncul karena orangtua memukul anaknya tanpa alasan yang benar, suami meninggalkan isterinya yang menunggu di rumah dengan makan malam sendiri.
-         Theological-Guilt
Yaitu rasa bersalah akibat pelanggaran terhadap hukum-hukum Allah. Alkitab memberiikan standar kelakuan yang ketika dilanggar akan menumbuhkan rasa bersalah walapun yang bersangkutan tidak merasakannya (Why.20:21).
Kekerasan hatilah yang menyebabkan kurang atau hilangnya kepekaan rasa bersalah.



B.     Subjective Guilt
Subjective Guilt adalah rasa bersalah yang menimbulkan rasa sesal dalam diri orang yang bersangkutan. Reaksi lanjutannya bisa memunculkan rasa takut, putus asa, cemas, sampai sikap yang terus menerus menyalahkan diri dengan menganggap telah melanggar prinsip kebenaran yang diyakininya meskipun belum tentu melanggar.
Subjective Guilt dapat dibagi dalam 3 bagian, yaitu:
-         Takut akan Hukuman
-         Perasaan kehilangan harga diri
-         Perasaan kesepian dan ditolak
Perasan bersalah macam ini tidak selamanya buruk, sebab ada kalanya dapat menjadi pendorong untuk memperbaiki diri serta menyadari bahwa dirinya membutuhkan Allah.[44]

Berdasarkan pemaparan di atas, maka tampak bahwa orang yang sedang dalam pamerdi, baik karena bersalah ataupun dianggap bersalah, diperhadapkan pada berbagai rasa bersalah (dilihat dari penggolongannya). Hal inilah yang tampaknya membuat orang yang dalam pamerdi berada di bawah tekanan psikis yang cukup berat, walaupun seringkali tanpa ia sadari. Terkait dengan kesalahan maupun rasa bersalah dari individu tersebut, maka dari segi psikologis, individu tersebut sulit berbicara mengenai dosa dan kesalahan. Dalam hal ini, gereja seringkali menerapkan dogma atau bahkan nilai-nilai alkitabiah tanpa memperhatikan konsisi psikis dari individu yang bersalah. Hal inilah yang menjadikan dogma dan agama seringkali terkesan kejam terhadap individu yang bersalah atau dianggap bersalah.[45] Dalam situasi yang demikian, kesadaran moral justru menjadi awal kesadaran akan dosa. Dengan adanya kesadara moral, maka orang akan dapat menemukan arah hidupnya.[46] Bukankah dalam hal ini sebenarnya agama berperan? Bukannya malah semakin memperpuruk keadaan psikis individu yang bersangkutan, dengan menerapkan dogma dan aturan yang “menghukum”. Dalam psikologi agama, tampak bahwa sebenarnya orang beriman mendambakan suatu “peralihan”. Dalam artian, bagian atau masa peralihan merupakan tempat di mana diri manusia diubah dan dipersiapkan untuk memasuki bagian “yang akan datang”. Bukankah impian tersebut hampir sama dengan impian orang Kristen mengenai Kerajaan Allah? Di mana ada suatu tempat untuk bersekutu dengan Allah, tempat di mana Tuhan mengubahkan diri manusia, tempat yang penuh harapan, tempat yang diwarnai dengan kedamaian, dll.[47] Jikalau perjamuan kudus mempunyai aspek eskatologis, maka bukankah orang yang sedang dalam pamerdi akan semakin dapat berproses di dalam pertobatannya?
Rasa bersalah ataupun tekanan anggapan bersalah dari orang lain tentu akan membuat seseorang tertekan. Tekanan yang dirasakan oleh seseorang juga bisa membuat orang tersebut gelap hati. Dalam keadaan yang demikian, orang yang bersalah atau dianggap bersalah, sehingga dikenai pamerdi, berada dalam frustasi social. Perdamaian dan keharmonisan antar individu menjadi impian bagi yang bersangkutan.[48] Impian tersebut relevan dengan pengharapan eskatologis terhadap Kerajaan Allah dalam perjamuan kudus. Dalam hal ini, agama berfungsi sebagai kompensasi untuk mengimbangi penderitaan. Sengasara di dunia ini “dibalas” atau “diganjar” dengan kebahagiaan di akhirat/surga nanti.[49] Berdasarkan hal tersebut, jika dikaitkan dengan makna dan unsur dalam perjamuan kudus, maka pribadi yang bersangkutan bisa terdorong masuk dalam proses pemurnian iman, di mana ia akan dibawa pada kesadaran akan kebahagiaan kekal dan anugerah pengampunan Allah bagi mereka yang mengakui dosa dan kesalahannya.[50] Hal ini tentu akan berebda jika perjamuan kudus tidak dilayankan bagi mereka yang berada dalam pamerdi. Pribadi yang bersangkutan akan merasa semakin bersalah dan hal itu justru membuatnya semakin berada di bawah tekanan. Frustasi yang ia rasakan bisa jadi membuatnya merasa bahwa agama atau gereja sudah tidak penting dalam kehidupannya lagi.[51]
Berdasarkan pemamaparan di atas, maka tampak bawah perjamuan kudus sebenarnya dapat sangat menolong proses pertobatan bagi warga yang berada dalam pamerdi. Baik pribadi tersebut memang sedang bergumul dengan kesalahan dan pertobatannya ataupun masih berada dalam taraf mengeraskan hati, bukankah keduanya adalah proses menuju pertobatan? Oleh karena itu, ditinjau dari sudut pandang psikologis, maka orang yang berada dalam pamerdi seyogyanya tetap menyediakan diri untuk mengikuti perjamuan kudus. Demikian sebaliknya, jemaat lain ataupun gereja dalam hal ini tidak mencibir atau menambahkan konsekuensi social. Namun, sebaliknya menerima dengan penuh kasih tulus dan turut mendorong yang bersangkutan berproses di dalam permasalahannya.

-         Tinjauan teologis
Jika melihat peristiwa perjamuan malam Yesus bersama dengan para muridNya, di mana Ia juga menetapkan serta memperbaharui makna perjamuan tersebut (Mat 26: 20-29; Mrk 14: 17-25; Luk 22: 14-38; Yoh 13: 21-30), maka tampak bahwa Yesus sendiri pun tidak mengadakan suatu larangan bagi umatNya untuk menerima dan mengikuti perjamuan yang telah Ia tetapkan. Hal tersebut dapat dilihat bahwa Yesus pun tidak melarang Yudas, yang akan mengkhianatiNya, sekalipun Yesus sudah tahu niat hati jahat Yudas. Bahkan, dalam Yoh 13: 26, tampak bahwa Yesus juga memberiikan roti yang telah Ia pecahkan tersebut kepada Yudas. Bandingkan juga dengan kisah di mana Yesus memanggil Lewi, si pemungut cukai, yang dilanjutkan dengan perjamuan Yesus bersama para pemungut cukai dan orang berdosa lain (Mrk 2: 13-17; Mat 9: 9-13, Luk 5: 27-32). Berdasarkan hal tersebut, maka Yesus pun ternyata berkenan satu meja perjamuan dengan orang-orang berdosa maupun yang dianggap berdosa. Yesus tidak menolak atau bahkan mengucilkan mereka. Yesus pun tidak mencibir orang-orang yang berdosa, yang satu meja perjamuan dengan Dia. Dengan demikian, teks Alkitab yang tampaknya perlu disoroti dan dipahami lebih mendalam lagi terkait dengan permasalahan boleh tidaknya orang yang dalam pamerdi mengkitu dan menerima sakramen Perjamuan Kudus adalah teks I Korintus 10: 14-22; 11: 23-29.[52]
Sejak masa jemaat yang mula-mula, sudah ada kebiasaan orang-orang percaya makan bersama-sama (Kisah para Rasul 2: 42, 46).  Kesempatan tersebut merupakan kesempatan untuk bersekutu dan saling membagi dengan mereka yang berasal dari golongan yang lebih rendah.  Tidak diragukan laigi, mereka menjadikan makanan itu puncak kegembiraan mereka dengan menjalankan perjamuan Tuhan.  Mereka menyebut makanan itu ‘perjamuan kasih’ karena penekanan utamanya adalah menunjukkan kasih kepada orang-orang lain dengan saling membagi.  Namun pada kenyataannya, terjadi banyak penyalahgunaan dalam perjamuan tersebut sehingga Paulus menegur mereka melalui suratnya. Perjamuan kasih yang pernah menjadi bagian dalam ibadah di Korintus secara perlahan-lahan mulai diselewengkan tujuan dan penghayatannya (band I Kor 11: 20).  Persoalan pertama yang terjadi adalah munculnya bermacam-macam kelompok kecil dalam perjamuan tersebut dan kelompok-kelompok tersebut tidak mau membaurkan diri satu dengan yang lain (I Kor 11: 17-18). Mereka hanya menikmati makanan dalam kelompoknya sendiri, bukan dengan seluruh keluarga jemaat. Kesalahan lain yang dilakukan oleh jemaat adalah adanya orang-orang kaya yang membawa sejumlah besar makanan untuk diri sendiri, sedangkan jemaat yang miskin dibiarkan lapar.  Gagasan semula dari perjamuan kasih untuk saling membagi kasih sudah menjadi luntur.  Bahkan ada jemaat-jemaat yang malah menyalahgunakan sebagai kesempatan untuk mabuk-mabukan (I Kor 11: 21).[53]
Surat I Korintus pada dasarnya dilatarbelakangi oleh adanya perpecahan dalam jemaat (I Kor 1: 10-17; 3, 5) dan adanya polemic melawan gnostikisme.[54] Kelompok tersebut tampaknya memecah jemaat Korintus secara tidak langsung dengan pengajaran atau paham mereka. Hal tersebut memberiikan dampak pada jemaat Korintus akan kehidupan beriman dan beretika mereka. Jika melihat teks dasar yang pertama, yakni I Korintus 10: 14-22, maka tampak bahwa sebenarnya yang menjadi permasalahan adalah pola hidup jemaat yang suka mendatangi perjamuan atau pesta-kafir, di mana di dalam acara tersebut ada upacara penyembahan berhala dan makan korban sajian. Beberapa orang Kristen di Korintus beranggapan bahwa sakramen-sakramen memberiikan kekebalan magis terhadap upacara-upacara keagamaan kafir, sehingga mereka dapat ikut serta tanpa benar-benar terlibat secara rohani. Paulus menunjukkan dari sejarah Israel bahwa hal itu tidak benar. Tidak mungkin ikut serta perjamuan kudus pada suatu hari, kemudian menghadiri pesta kafir pada hari berikutnya dan luput tanpa mengalami akibatnya.[55] Dengan menggunakan Perjanjian Lama secara tipologis, Paulus menunjukkan bahwa sakramen tidak menjamin keselamatan (I Kor 10: 1-13); sakramen tidak membuat etika tidak penting, melainkan justru menuntutnya.[56] Karena itu, penting menghindarkan diri dari penyembahan berhala, karena perjamuan kudus dan korban yang dipersembahakan kepada berhala-berhala itu bertentangan satu dengan yang lain, sehingga orang harus memilih satu di antara keduanya (10: 14-22).[57] Berdasarkan hal tersebut, maka tampaknya jemaat Korintus – akibat pengaruh Gnostik – menyamakan antara perjamuan kudus dengan perjamuan/upacara penyembahan berhala, sehingga mereka mengganggap mengikuti upacara penyembahan berhala dan perjamuan korban sajian itu tidak salah. Selain itu, tafsiran lain adalah bahwa jemaat Korintus sama sekali membedakan perjamuan kudus dengan upacara penyembahan berhala dan perjamuannya. Pembedaan tersebut mengakibatkan adanya sikap dan paham bahwa dengan mengikuti perjamuan dan upacara penyembahan berhala, maka tidak akan menimbulkan dampak apa-apa terhadap kehidupan beriman mereka (etika baik tidak diperlukan dalam kehidupan beriman), khususnya dalam mengikuti perjamuan kudus. Dengan demikian, maka tampak bahwa perkataan Paulus yang cukup keras dan tegas mengenai perjamuan kudus kepada jemaat Korintus, dalam teks I Kor 10: 14-22, adalah dikarenakan adanya permasalahan etika hidup jemaat Korintus, khususnya bahwa mereka di satu sisi mengadakan dan mengikuti perjamuan kudus, namun di sisi lain juga tetap mengikuti upacara penyembahan berhala dan jamuan korban sajiannya.
Teks Alkitab yang menjadi dasar kedua dalam PPA GKJ 2005 (p-j 137) adalah I Kor 11: 23-29. Jika melihat keseluruhan perikope tersebut (ayat 17-34), maka tampak bahwa Paulus berbicara mengenai peraturan atau tata cara yang benar di dalam perjamuan kudus (ayt 17). Berdasarkan hal tersebut, maka tampak bahwa dalam prakteknya jemaat Korintus telas melakukan kesalahan. Dengan kata lain, telah terjadi penyimpangan-penyimpangan dalam praktek perjamuan kudus yang terjadi dalam jemaat Korintus.[58] Dalam perikope tersebut, tampak bahwa cara jemaat Korintus menyelenggarakan perjamuan kudus telah menjadi sumber keprihatinan Paulus. Mereka tidak mengikuti petunjuk-petunjuk yang telah diberikan Yesus sendiri, dan yang telah disampaikan oleh Paulus sendiri (23-26), tetapi orang-orang Kristen di Korintus menjadikan ibadah suatu kesempatan untuk berpesat dan bergembira. Mereka semua membawa makanannya sendiri, dan mengadakan pesta pribadi – yang seharusnya diadakan di rumahnya sendiri (ayat 22). Perpecahan antara kelompok-kelompok yang begitu ditentang oleh Paulus, muncul juga dalam perjamuan (ayat 18-19). Perpecahan ini, pesta pora, serta mabuk-mabukan, yang terjadi dalam jemaat adalah sesuatu yang memalukan, baik dilihat dari tujuan ibadah maupun orang-orang Kristen itu sendiri. Mereka tidak memikirkan hal yang telah mereka lakukan, sehingga beberapa di antara mereka patut menerima hukuman (ayat 29-32).[59]
Konteks jemaat, yakni perpecahan, tampaknya telah mendorong Paulus untuk berbicara tentang “tubuh Kristus”. Di bagian sebelumnya penulis sudah menjelaskan bahwa Paulus memahami bahwa di dalam perjamuan kudus terkandung pula unsur persekutuan dengan Tuhan. Dalam hal ini, aspek persekutuan – baik antar jemaat maupun dengan Kristus – dipahami oleh Paulus ada di dalam persekutuan satu meja makan. Penting juga untuk diketahui bahwa persekutuan (koinonia) memainkan peranan yang penting dalam kehidupan jemaat Kristen mula-mula. Berdasarkan hal tersebut, tampaknya memang Paulus mendasarkan pemahaman akan persekutuan tersebut adalah sebagai berikut:
-         Aspek persekutuan antar jemaat itu sendiri terwujud di dalam sebuah kebersamaan makan di satu meja.
-         Aspek persekutuan dengan Tuhan terwujud dalam satu roti yang terpecah-pecah, yang melambangkan tubuh Kristus, dan cawan berisi anggur, yang melambangkan darah Kristus.[60]
Bagi Paulus, mengambil bagian di dalam darah dan tubuh Kristus bukanlah hanya mengambil bagian dalam kebutuhan jasmani saja, melainkan juga merupakan suatu pengalaman bersama dengan Kristus yang telah dikorbankan. Persekutuan di dalam perjamuan kudus mempunyai arti teologis yang mendalam, karena orang-orang yang ikut dalam perjamuan kudus juga turut serta ambl bagian dalam misi Kristus (ayat 26). Keikutsertaan dalam perjamuan Tuhan tidak bersifat formalitas, melainkan melibatkan keseluruhan pribadi orang yang mengikutinya. Berdasarkan hal tersebut, maka jelaslah bahwa persekutuan orang-orang Kristen mencakup semua orang yang mengambil bagian dalam Kristus dan karena itu dipersatukan dalam satu tubuh.[61] Persekutuan di dalam perjamuan kudus yang telah dinodai dengan tata cara yang salah, yang telah dilakukan oleh jemaat Korintus telah menjadi keprihatinan tersendiri bagi Paulus. Egosime, kerakusan, penyembahan berhala, dan individualism tanpa kasih itulah yang dipandang oleh Paulus dengan “tidak layak”. Hal itu mengartikan bahwa tidak layak adalah menyelenggarakan perjamuan kudus tanpa kasih. Melakukan hal tersebut adalah sama saja dengan tidak mengakui tubuh Kristus. Oleh karena itu, Paulus mengatakan akan pengujian diri sebelum mengikuti perjamuan kudus. Dalam arti, bahwa setiap orang harus menguji dirinya sendiri supaya jangan hidup tanpa kasih, melainkan penuh kasih dalam kebersamaan persaudaraan ia merayakan perjamuan kudus.[62]
Dengan demikian, tampak bahwa unsur persekutuan di dalam perjamuan kudus sangat ditekankan oleh Paulus. Pengajarannya mengenai perjamuan kudus kepada jemaat Korintus adalah dikarenakan konteks jemaat Korintus yang tidak mencerminkan komunitas injili, oleh karena tingkah la immoralnya, yakni zinah, pemujaan berhala, dan egoisme, di mana semua itu bertentangan dengan kehidupan etis yang diajarkan Yesus. Dalam pandangan Paulus, perayaan perjamuan kudus yang dilakukan oleh jemaat Korintus tidak “suci”, karena kenyataan komunitas iman mereka yang tidak layak. Komunitas iman yang seharusnya diwarnai dengan persekutuan di dalam kasih, namun telah ternodai dengan adanya perpecahan. Dalam hal inilah, kiranya wajar jika Paulus mengkaitkan perjamuan kudus, di mana kesatuan menjadi suatu kebutuhan mendasar di dalam konteks komunitas yang terpecah-belah. Hal tersebut juga mengartikan bahwa komunitas yang terpecah-belah menyelewengkan realitas ekaristi yang sesungguhnya.[63]
Berdasarkan uraian mengenai dua teks yang mendasari tidak diperkenankannya orang yang sedang dalam pamerdi menerima dan mengikuti perjamuan kudus – menurut GKJ, maka tampak bahwa perjamuan kudus pada hakikatnya menyatukan kembali relasi antar warga jemaat juga dengan Kristus. Dengan tidak diperkenankannya jemaat tersebut mengikuti perjamuan, maka hal itu malah semakin menyelewengkan makna perjamuan kudus yang sarat dengan makna persekutuan. Perjamuan kudus gereja akan menjadikan kesan perjamuan hanya berlaku bagi orang suci – tidak sedang dipamerdi. Ada semacam pemisahan dalam hal ini, sementara hal itu begitu ditentang oleh Paulus. Teks Injil yang mengkisahkan mengenai Yesus memberiikan makna bahwa Ia tidak melarang, menolak, ataupun mencibir orang-orang yang jelas-jelas bersalah ataupun berdosa. Jika Paulus mengembangkan paham atau ajaran perjamuan kudus dengan memberiikan adanya “peraturan” mengenai kelayakan jemaat dalam menyelenggarakan perjamuan kudus, maka hal itu sebenarnya dilatarbelakangi konteks perpecahan dalam jemaat.hal inilah yang perlu digarisbawahi secara jelas. Ketidaklayakan jemaat Korintus, yang disorotidengan tajam oleh Paulus, adalah dikarenakan kehidupan mereka tidak mencerminkan kehidupan etis sebagaimana Yesus ajarkan. Penyembahan berhala, moral rendah, egoisme, dan perpecahan, membuat jemaat Korintus tidak layak dalam menyelenggarakan perjamuan kudus. Demikian halnya dengan sebuah gereja, di mana komunitas Kristus yang seharusnysa bisa mencerminkan persekutuan, persatuan, dan kebersamaan di dalam kasih Kristus, namun telah “mengadakan” pemisahan antara jemaat yang dipamerdi dengan tidak di dalam sebuah perjamuan. Berdasarkan pemahaman Paulus mengenai komunitas dalam perjamuan kudus, maka ketidaklayakan perjamuan kudus bukanlah terletak pada individu-individu yang berada di dalamnya, melainkan sebagai sebuah komunitas bersama. Sederhananya, jika ada pemisahan, pembedaan, perpecahan, maka sebenarnya “ketidaklayakan” tersebut tersemat bukan karena bersalah/berdosa tidaknya jemaat secara individu, melainkan karena pola hidup komunitas itu sendiri.

Penutup
GKJ memahami bahwa pamerdi adalah tindakan gereja berdasarkan kasih sebagai bentuk pemeliharaan iman kepada warga gereja atau pejabat gerejawi yang jatuh ke dalam dosa, atau paham pengajarannya bertentangan dengan Firman Tuhan. Hal tersebut dapat mendatangkan batu sandungan, baik bagi sesama warga gereja maupun masyarakat umum. Pamerdi dilaksanakan dengan cara membatasi hak-hak gerejawi dari warga gereja tersebut. Pada intinya, pamerdi bertujuan agar yang bersangkutan mengakui dosa dan bertobat, agar menjadi peringatan dan pembelajaran dari warga gereja lainnya, dan menjaga kesucian gereja sebagai anugerah Tuhan.[64]
Berdasarkan pengertian di atas, maka pamerdi pada hakikatnya menolong dan “memfasilitasi” warga gereja yang jatuh ke dalam dosa di dalam proses pertobatannya. Hal yang agaknya kurang tepat adalah ketika pamerdi dilaksanakan dengan membatasi hak-hak dari warga gereja yang bersangkutan. Pada umumnya, hak-hak yang dibatasi adalah terkait dengan sakramen dan status jabatan gerejawinya. Terkait dengan status gerejawi, agaknya hal itu bisa diterima. Namun, bagaimana dengan pembatasan hak menerima sakramen? Jika sakramen dimaksudkan untuk pemeliharaan iman, maka bisa dikatakan bahwa orang yang sedang dalam pamerdi, di mana ia tidak diperkenankan menerima sakramen, maka sama saja dengan tidak memelihara iman dari warga gereja yang bersangkutan. Suatu hal yang tampak berlawanan dengan tujuan daripada pamerdi itu sendiri.
Terkait dengan perjamuan kudus, GKJ menyatakan bahwa orang yang berada dalam pamerdi tidak diperkenankan menerima dan mengikuti. Seringkali dasar alasan yang digunakan adalah bahwa warga gereja yang bersangkutan masih mengeraskan hatinya. Dalam hal ini, yang perlu mendapat perhatian sekaigus perenungan adalah bukankah warga gereja tersebut berada dalam proses pertobatan – sekalipun masih dalam tahap mengeraskan hati? Terkait dengan salah satu unsur perjamuan kudus, yakni panggilan Tuhan kepada semua orang, atas dasar apakah Gereja berhak membatasi panggilan Tuhan? Jika perjamuan kudus dihayati sebagai pemeliharaan iman, maka warga gereja yang berada dalam pamerdi sebenarnya dimungkinkan mengalami pertobatan di dalam perjamuan kudus tersebut. Yesus sendiri tidak menolak orang berdosa berada dalam satu meja makan bersama dengan Dia. Yudas, yang mengkhianati Yesus dan Yesus sudah mengetahui hal itu sebelumnya, juga diperkenankan Yesus berada dalam satu meja makan dan makan bersama. Mengapa gereja mengadakan pemisahan dan pembedaan? Hal-hal tersebut agaknya patut menjadi perenungan bagi gereja-gereja pada masa kini, khususnya GKJ terkait dengan peraturan di dalam Tata Gereja dan Tata Laksananya, serta pemahamannya di dalam PPA GKJ.
Pada umumnya, warga gereja yang berada dalam pamerdi, dari pribadinya sendiri enggan untuk mengikuti perjamuan. Di satu sisi, hal tersebut bisa dikatakan adalah suatu kesadaran untuk tidak “menodai” persekutuan dan menimbulkan cibiran atau celaan. Namun, di sisi lain bisa jadi adalah karena ketidakjelasan atau pemahaman yang kurang tepat mengenai makna perjamuan kudus tersebut. Perjamuan Kudus Tuhan adalah berlaku bagi semua orang dan Dia memanggil semua orang, termasuk orang yang sedang dalam pamerdi. Pemahaman seperti inilah yang tampaknya perlu ditumbuhkembangkan dalam diri jemaat, agar jemaat menyadari bahwa sekalipun dirinya berdosa, namun Allah tetap memanggil dan menghendaki dirinya menerima dan mengikuti perjamuanNya. Terkait dengan hal tersebut, alasan lain yang menjadikan warga gereja yang bersangkutan enggan adalah konsekuensi sosial. Umumnya, yang lebih dikhawatirkan dan ditakuti bukanlah hukuman Tuhan, melainkan hukuman sosial dari warga gereja lainnya, berupa cibiran, celaan, dan konsekuensi sosial lainnya. Dalam hal ini, hukuman manusia seakan-akan lebih berat daripada hukuman Tuhan. Warga gereja yang berada dalam pamerdi menjadi semakin tertekan. Ibarat jatuh tertimpa tangga pula. Apakah seperti ini cirri atau pola hidup komunitas Kristus? Bukankah seharusnya menolong, menguatkan, menghibur, mengingatkan, dan bertumbuh bersama di dalam kasih Kristus? Ketika pola komunitas demikian, bukankah warga yang tidak berada dalam pamerdi malah menodai perjamuan kudus itu sendiri? Mengapa keikut sertaan orang yang dalam pamerdi dipersalahkan, dengan alasan tidak membuat batu sandungan bagi warga lain di dalam perjamuan? Bukankah hal ini seakan-akan ketika ada cibiran, celaan, dan tudingan, lalu warga yang dipamerdi menjadi dikambing hitamkan? Terkait dengan pertanyaan-pertanyaan reflektif di atas, maka salah satu unsur perjamuan, yang juga ditekankan oleh Paulus, yakni persekutuan, menjadi relevan sekaligus perlu dipertanyakan dalam kehidupan bergereja pada masa kini.
Perjamuan kudus adalah panggilan Tuhan di dalam memelihara iman umatNya. Perjamuan kudus adalah persekutuan jemaat Tuhan, di dalam dan bersama komunitasnya, dengan Tuhan. Kekudusan perjamuan itu sendiri bukanlah terletak pada kekudusan hidup jemaat secara pribadi-pribadi, namun secara komunal. Menurut Paulus sendiri, ketidaklayakan perjamuan adalah karena pola hidup jemaat secara komunal/pola hidup komunitas Kristus. Berdasarkan hal tersebut, maka tampaknya GKJ perlu mengkaji ulang boleh tidaknya warga gereja yang berada dalam pamerdi menerima dan mengikuti perjamuan kudus. Perjamuan kudus adalah persekutuan umat, di dalam kebersamaan kasih, dengan Tuhan, di mana Tuhan memanggil dan menghendaki semua orang, termasuk orang berdosa, untuk ikut di dalam perjamuanNya. Mengapa gereja membatasi panggilan Tuhan?





[1] Dogma dan tradisi iman (kekristenan) dalam hal ini merupakan konteks dari kehidupan gereja. Oleh karena itu, dogma dan tradisi iman tidak bisa dilepaskan dari kehidupan gereja itu sendiri. Tradisi iman dan dogma yang berkembang senantiasa mempengaruhi pola hidup dan perkembangand ari suatu gereja.
[2] Pokok-pokok Ajaran Gereja Kristen Jawa (edisi 2005), Salatiga, Sinode GKJ, 2008. P-j 129; hlm 48
[3] Bandingkan dengan Katholik yang mengakui dan memberiilakukan tujuh sakramen, yakni pembaptisan, penguatan, ekaristi, rekonsiliasi (pengakuan dosa), pengurapan orang sakit, imamat, dan pernikahan.
[4] Ibid, p-j128; hlm 47
[5] Tata Gereja/Tata Laksana Gereja Kristen Jawa (edisi 2005), Salatiga, Sinode GKJ, 2008. Psl 46 (2)
[6] C.J. Den Heyer, Perjamuan Tuhan; Studi Mengenai Paskah dan Perjamuan Kudus Bertolak dari Penafsiran dan Teologi Alkitabiah, Jakarta, BPK Gunung Mulia, 1994. Hlm 16-17
[7] Ibid, hlm 18-20; lihat juga hlm 34, di mana dikatakan bahwa pada akhirnya nanti perjamuan yang dikaitkan dengan ritual religious (Paskah) menggunakan roti tidak beragi.
[8] Ibid, hlm 20-22
[9] Ibid, hlm 22-24
[10] Ibid, hlm 36
[11] Ibid, hlm 33.
[12] Istilah tersebut, perjamuan Paskah tradisional, adalah karena dalam kekristenan saat ini makna Paskah yang dihayati adalah kebangkitan Kristus, makna Paskah PB. Sedangkan makna Paskah PL adalah peristiwa keluarnya bangsa Israel dari Mesir. Lih ibid, hlm 54
[13] Perjamuan malam juga sering disebut dengan perjamuan terakhir.
[14] Ibid, hlm 28-28. Dalam hal ini, ketiga Injil Sinoptik memberiiika suatu sudut pandang baru, yakni bahwa sekalipun perjamuan Yesus bersama para muridNYa bukanlah perjamuan perayaan Paskah, namun peristiwa tersebut terkait erat dengan Paskah dalam PL dan makna Paskan yang baru, yang dihadirkan oleh Yesus (melalui ucapanNya ketika daam perjamuan tersebut).
[15] Lihat http://www.sarapanpagi.org/kontradiksi-perjanjian-baru-vt543-80.html#p1978; 12 Desember 2012. Walaupun perjamuan malam dan perjamuan Paskah tidak bisa disamakan sepenuhnya, namun keduanya tetap memiliki keterikatan, band Den Heyer, Perjamuan Tuhan, hlm 41-47
[16] Band dengan Den Heyer, Perjamuan Tuhan, hlm 64, di mana Heyer berpendapat bahwa Yesus pun tidak merahasiakan bahwa peristiwa itu (perjamuan) adalah perjamuan perpisahan.
[17] Terkait dengan ha tersebut, jika memang benar tanggal kejadian adalah tanggal 14 Nisan, maka tampaknya roti yang digunakan adalah roti tidak beragi dan perjamuan tersebut bisa dikatakan sebagai perjamuan perayaan awal Paskah atau perjamuan seder.
[18] Seder adalah Tatacara, namun istilah ini menunjuk pada tata cara makan dan perayaan yang dilaksanakan saat Pesakh. Lihat Teguh Hindarto, Perjamuan Malam Terakhir & Seder Pesakh Ibrani; Berbagai Kajian Kritis dan Apologetis Seputar Tema Paskah, FORUM STUDI MESIANIKA & GPKSI “NAFIRI YAHSHUA” KLIRONG – KEBUMEN, hlm 6
[19] Lih ibid, hlm 7-10. Band dengan Harun Hadiwijono, Iman Kristen, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1982. Hlm 454. Dalam hal ini, perjamuan malam yang dilakukan oleh Yesus bersama para muridNya dipahami oleh Harun sebagai perjamuan Seder, bukan perjamuan Paskah tradisonal Yahudi.
[20] Den Heyer, Perjamuan Tuhan, hlm 31. Lih juga Harun Hadiwijono, Iman Kristen, hlm 454
[21] Den Heyer, Perjamuan Tuhan, hlm 48
[22] Ibid, hlm 49
[23] Band dengan perkataan Paulus yang menyebut Yesus dengan istilah anak domba Allah (I Kor 5: 7). Dalam hal ini sebenarnya tampak bahwa rasul Paulus sendiri tidak segan untuk mencari keterkaitan Yesus dengan “anak domba Paskah yang telah disembelih”. Lihat juga Den Heyer, Perjamuan Tuhan, hlm 70-71
[24] Ibid, hlm 51
[25] Harun Hadiwijono, Iman Kristen, hlm 455. Dalam hal ini, Harun berpendapat bahwa perjamuan malam tersebut tidak secara langsung berhubungan dengan perjamuan Paskah. Menurut Harun, hubungan antara perjamuan malam/kudus dengan Paskah adalah bahwa perjamuan kudus adalah “perjamuan-korban-Paskah” (hlm 456). Band juga dengan Den Heyer, Perjamuan Tuhan, hlm 52.
[26] Terkait dengan “amanat penetapan”, Rasul Paulus tampaknya tidak bermaksud mengulangi/memperbaharui penetapan yang telah ditetapkan oleh Yesus sendiri. Menurut Heyer, amanat penetapan dijadikan “senjata” bagi Paulus di dalam pergumulannya, khususnya bersama jemaat Korintus (I Kor 11: 23). Paulus meyakini bahwa istilah “tubuh Kristus” dalam perjamuan kudus adalah sama atau berkaitan erat dengan istilah “tubuh Kristus” dalam arti jemaat Korintus. Dalam hal ini, konsep perjamuan kudus yang dipahami oleh Paulus terkait erat dengan masalah relasi/persekutuan. Pemahaman rasul Paulus yang demikian semakin memperkuat bahwa rasul Paulus bertelogi secara kontekstual. Dalam arti, ia mampu “mendaratkan” konsep teologis atau tradisi iman yang diajarkan oleh Yesus ke dalam kehidupan jemaat. Dengan demikian, maka agaknya kurang tepat jika rasul Paulus dikatakan ikut “menetapkan” perjamuan bagi umat Kristen. Lihat Den Heyer, Perjamuan Tuhan, hlm 83-84. Lihat juga Harun H., Iman Kristen, hlm 452.
[27] Sinode GKJ, Pokok-pokok Ajaran GKJ, Salatiga: Sinode GKJ, 2005. P-j 135
[28] Ibid, p-j 136
[29] Harun H., Iman Kristen, hlm 453. Terkait dengan hal tersebut, Harun juga menambahkan bahwa perjamuan kudus memiliki makna sebagai tanda dan materai perjanjian Allah akan keselamatanNya bagi manusia. Di meja perjamuan, orang-orang beriman mendapat bagian keselamatan yang diperoleh melalui Kristus dengan pengorbananNya di kayu salib. Dengan demikian, perjamuan kudus sebagai tanda atau materai perjanjian juga mengartikan bahwa di dalam perjamuan kudus, umat memperoleh karunia-karunia Kristus. Hlm 456-458.
[30] Den Heyer, Perjamuan Tuhan, hlm 73
[31] Ibid, hlm 79. Lihat juga hlm 56
[32] Ibid, hlm 81.
[33] Dalam hal ini, rasul Paulus memahami bahwa istilah perjamuan Tuhan yang ia pakai adalah mengacu pada Tuhan sebagai tuan rumah, yang memanggil semua orang yang mau datang kepadaNya untuk bersama-sama makan di meja perjamuanNya (I Kor 11: 20). Ibid, hlm 79. Band juga dg Ibid,hlm 55. Lihat juga Harun H., Iman Kristen, hlm 457 dan Harun Hadiwijono, Inilah Sahadatku, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006. Hlm 170
[34] Band dengan M. Bons Storm, Apakah Penggembalaan Itu?, Jakarta: BPK Gunung Mulia, hlm 120
[35] Den Heyer, Perjamuan Tuhan, hlm 61, 65, 68. Harun H., Iman Kristen, hlm 454, 457-460, 463. R. Soedarmo, Ikhtisar Dogmatika, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009. Hlm 246
[36] Den Heyer, hlm 40, 79. Lihat juga M.Bons Storm, Apakah Penggembalaan Itu?, hlm 122
[37] Ibid, hlm 79. Lih juga Harun H., Inilah Sahadatku, hlm 170
[38] Dalam sejarah gereja, dogma mengenai roti dan anggur selalu menimbulkan masalah. Perkembangan dogma tersebut adalah sebagai berikut:
-    Menurut gereja Katholik, roti dan anggur telah berubah menjadi tubuh dan darah Kristus (transsubstansiasi) pada saat dikonsekrasikan dalam pelaksanaan Perjamuan Kudus. Setiap Perjamuan Kudus dilakukan diyakini bahwa setiap kali Yesus mengorbankan ulang tubuh dan darah-Nya untuk keselamatan manusia berdosa. Pada konsili ke-4 di Lateran (1215), ajaran transsubstansiasi disahkan menjadi dogma gereja. Ajaran ini kemudian dikembangkan oleh Thomas Aquino (1274). Di konsili Terente (1545-1563) diteguhkan dan dikuatkan ajaran transsubstansiasi sebagai jawaban gereja Roma Katolik atas Reformasi (G.C. van Nitrik - B.J.Boland, Dogmatika Masa Kini, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001. hlm 459)
-    Zwingli memahami bahwa Perjamuan Kudus adalah sebagai tanda atau materi tentang pengorbanan Kristus yang menjadi keselamatan bagi manusia. Perkataan Yesus, “Inilah tubuhKu” menurut Zwingli hanyalah berarti: dengan ini dikiaskan tubuh-Ku. Zwingli tidak mengakui bahwa Kristuslah yang sungguh berfirman dan bertindak dalam berlangsungnya sakramen; ia menganggap sakramen hanya suatu perbuatan yang bersifat lambang, yang dilakukan oleh orang beriman. Dengan demikian fungsi Perjamuan Kudus adalah merupakan bukti bahwa seseorang telah menerima penghapusan dosa dan keselamatan (Niftrik-Boland, Dogmatika Masa Kini, hlm 463)
-    Ajaran Luther tentang Perjamuan Kudus dia sebut Kon-substansiasi (kon = sama-sama): roti dan anggur itu tidak berubah menjadi tubuh dan darah Kristus (trans-substansiasi). Tetapi tubuh dan darah Kristus mendiami roti dan anggur itu sehingga ada 2 zat atau substansi yang sama-sama terkandung dalam roti dan anggur itu. Gereja Lutheran memahami bahwa di dalam Perjamuan Kudus Kristus sungguh-sungguh hadir tanpa merubah substansi roti dan anggur namun Dia hadir ketika Perjamuan Kudus dilakukan. Makna kehadiran Kristus diterima, ketika yang menerima Perjamuan Kudus percaya tentang firman Tuhan yang diberitakan melalui Perjamuan Kudus dan percaya kepada penebusan yang dilakukan oleh Yesus Kristus (Dieter Becker, Pedoman Dogmatika; Suatu Kompendium Singkat, Jakarta: Gunung Mulia, 2000. Hlm 155-156).
-    Calvin menolak bahwa tubuh Kristus turun dari Sorga untuk memasuki roti dan anggur Perjamuan Kudus, apalagi untuk hadir dimana saja Perjamuan Kudus. Menurut Calvin, tubuh Kristus setelah naik ke Sorga, hadir di sebelah kanan Allah Bapa, sebagai jaminan kebangkitan tubuh manusia pada akhir zaman. Jadi untuk dipersatukan dengan tubuh dan darah Kristus, manusia harus diangkat ke Sorga. Namun manusia bukan berarti diangkat secara jasmaniah tetapi secara rohaniah karena hatinya diarahkan ke atas (sursum corda). Dengan kata lain ia menolak kehadiran jasmani dalam Perjamuan Kudus. Kristus sungguh-sungguh hadir pada waktu Perjamuan Kudus dirayakan, dengan cara yang cocok bagi Tuhan yang telah dimuliakan yaitu dalam Roh Kudus yang tidak terikat pada roti dan anggur. Dengan demikian Calvin menolak ajaran Gereja Roma Katolik tentang trans-substansiasi dan menolak ajaran Lutheran yaitu mengenai kon-substansiasi. Bagi Calvin, perjamuan kudus adalah tanda tetapi bukan tanda kosong sebab tanda ini diberikan Allah melalui AnakNya supaya orang percaya melalui roti dan anggur betul-betul dipersatukan dengan tubuh dan darah Kristus. Karena kelemahan manusia tanda ini mutlak perlu sebagai tambahan kepada firman yang diberitakan. Sebab persatuan dengan Kristus yang dikaruniakan kepada orang percaya ini hanya dapat dimengerti kalau diperlihatkan dalam upacara makan roti dan minum anggur. (Dieter Becker, Pedoman Dogmatika, hlm 156-157. Lihat juga Niftrik dan Bolanda, Dogmatika Masa Kini, hlm 463-464)
[39] Lihat Pokok-Pokok Ajaran GKJ, p-j 137 dan Tata Laksana GKJ psl 46 (2)
[40] Tata Laksana GKJ psl 55 (1 dan 2)
[41] Nico Syukur Dister, Pengalaman dan Motivasi Beragama; Pengantar Psikologi Agama, Jakarta: Lembaga Penunjang Pembangunan Nasional, 1982. Hlm 7-17
[42] Terkait dengan pernyataan tersebut, orang yang sedang dipamerdi tentu adalah orang yang bersalah ataupun dianggap bersalah. Namun, orang yang bersalah atau dianggap bersalah belum tentu kena pamerdi. Dalam hal ini, penulis membedakan istilah antara bersalah dengan dianggap bersalah. Hal ini dikarenakan bahwa ada kalanya jemaat merasa dirinya benar, namun di mata gereja ia dianggap bersalah sehingga harus menerima pamerdi.
[44] Disunting dari http://www.oocities.org/gkiamb/bersalah.htm 10 Desember 2012
[45] Albertus Sujoko, Praktek Sakramen Pertobatan dalam Gereja Katholik; Tinjauan  Historis, Dogmatis, dan Pastoral, Yogyakarta: Kanisius, 2008. Hlm 123-126
[46] Albertus Sujoko, Praktek Sakramen Pertobatan dalam Gereja Katholik, h1m 27-128
[47] Joyce Huggett, Bebas dari Ikatan Dosa; Proses untuk Menjadi Orang yang Sesuai dengan Kehendak Tuhan, Inter-Varsity Press, 1984. Hlm  25-40
[48] Nico Syukur Dister, Pengalaman dan Motivasi Beragama, hlm 96
[49] Ibid, hlm 97
[50] Band dengan ibid, hlm 98
[51] Terkait dengan hal ini, banyak kasus di mana warga jemaat gereja lebih memilih pindah gereja atau bahkan pindah agama hanya dikarenakan tidak mau kena pamerdi. Bisa saja dikarenakan pribadinya yang merasa tidak bersalah dan diperlakukan tidak adil, ataupun juga karena tidak mau menanggung konsekuensi social (rasa malu).
[52] Dasar alkitabiah yang digunakan GKJ dalam membuat “peraturan” mengenai jemaat yang boleh menerima dan mengikuti perjamuan kudus. Lihat PPA GKJ, 2005, p-j 137
[53] John Drane, Memahami Perjanjian Baru; Pengantar Historis-Teologis, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2005. Hlm 358. Terkait dengan hal tersebut, Willi Marxsen juga menambahkan bahwa masalah-masalah yang dihadapi oleh Paulus dalam I Korintus dapat ditafsirkan dalam terang maksud yang mendasarinya, yakni menghalau pengaruh Gnostik yang telah menyerap ke dalam gereja Korintus, hlm 83
[54] Willi Marxsen, Pengantar Perjanjian Baru; Pendekatan Kritis terhadap Masalah-masalahnya, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2005. Hlm 79
[55] John Drane, Memahami Perjanjian Baru, hlm 357
[56] Willi Marxsen, Pengantar Perjanjian Baru, hlm 81. Lihat juga pada hlm 83, di mana dikatakan bahwa jemaat Korintus memberiii nilai tinggi pada sakramen-sakramen, bukan terutama sebagai suatu perayaan saat persekutuan gereja dinyatakan, melainkan lebih kepada sarana untuk memperoleh jaminan keselamatan dan pada saat yang sama etika tidak diperlukan.
[57] Dalam hal ini, permasalahan etika yang dipermasalahkan oleh Paulus tampaknya bukanlah etika humanism, melainkan etika hidup beriman. Dalam arti, hidup yang mencerminkan persekutuan dengan Kristus adalah suatu etika hidup orang Kristen dan hal tersebut telah ternodai dengan penyembahan berhala. Bandingkan dengan pendapat Mary Ann, di mana ia mengatakan bahwa kesatuan yang digambarkan dalam perjamuan Tuhan dinajiskan berhala pemikiran-pemikiran dan praktek-praktek yang memberii kendala dan memecah belah. Tidak mungkin makan pada perjamuan Tuhan dan tidak menghormati hati nurani orang Kristen. Lihat Mary Ann Getty, I Korintus; dalam Dianne Bergant dan Robert J. Karris (ed), Tafsir Alkitab Perjanjian Baru, Yogyakarta: Kanisius, 2002. Hlm. 294. Lihat juga A. Noordegraaf, Orientasi Diakonia Gereja, Teologi dalam Perspektif Reformasi, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004. Hlm 56
[58] Donald Guthrie, Teologi Perjanjian Baru 3, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009. Hlm 85
[59] John Drane, Memahami Perjanjian Baru, hlm 358. Lihat juga A. Noordegraaf, Orientasi Diakonia Gereja, hlm 56-57
[60] Donald Guthrie, Teologi Perjanjian Baru 3, hlm 86.
[61] Ibid, hlm 87
[62] A. Noordegraaf, Orientasi Diakonia Gereja, hlm 57
[63] Kenan B. Osborne, Komunitas, Ekaristi, dan Spiritualitas, Yogyakarta: Kanisius, 2008. Hlm 31-39
[64] Tata Laksana GKJ 2005, pasal 55; Pamerdi, butir 1 dan 2

2 komentar:

  1. Perjamuan Kudus adalah sakramen untuk mengingat pengorbanan Yesus di Salib

    BalasHapus
  2. Sands Casino, Hotel and Spa | Sega Genesis
    Play classic online slots games for Sega Genesis. Test your 1xbet korean luck with online slots, beat the books, 바카라 사이트 and septcasino live casino games. Play today!

    BalasHapus