Perjamuan Kudus dan Pamerdi
(Suatu Tinjauan Teologis dan Psikologi
terhadap Pokok-Pokok Ajaran GKJ 2005; p-j 137)
Pendahuluan
Kehidupan gereja tidak pernah
bisa lepas dari dogma dan tradisi iman.[1] Keduanya
berjalan dan berkembang seiring dengan perkembangan diri gereja itu sendiri.
Dogma dan tradisi iman merupakan dua hal yang selalu mewarai dinamika kehidupan
bergereja. Di satu sisi, dogma dan tradisi iman gereja mampu membuat gereja itu
sendiri tumbuh berkembang di dalam iman terhadap Kristus, di dalam menghadapi
tantangan zaman. Namun, di sisi lain, dogma ataupun tradisi iman seringkali
menimbulkan konflik dan permasalahan dilematis, yang seringkali menimbulkan
perpecahan dalam diri gereja. Dalam hal inilah, gereja dituntut akan kedewasaan
iman serta berteologinya di dalam menyikapi tantangan zaman, dengan tetap
berpegang pada dogma dan tradisi imannya – dengan tidak menutup kemungkinan
untuk mengembangkannya sehingga tetap relevan dengan konteks.
Salah satu tradisi kekristenan
yang sampai saat ini masih dipelihara dan dilaksanakan oleh GKJ adalah
Perjamuan Kudus. Perjamuan Kudus merupakan salah satu dari dua macam sakramen
yang diakui dan diberlakukan oleh GKJ.[2]
Terkait dengan hal tersebut, GKJ hanya memberilakukan dua sakramen, yakni
sakramen baptisan dan perjamuan kudus, adalah karena dua hal tersebut yang
secara langsung dan jelas diperintahkan oleh Tuhan Yesus melalui Alkitab (Mat
28; 19; 1 Kor 11: 25b, 26).[3]
Perjamuan Kudus dihayati oleh GKJ sebagai sakramen, karena perjamuan kudus
merupakan alat pelayanan yang dikhususkan di dalam pekerjaan penyelamatan
Allah, yaitu sebagai penyataan dan pemeliharaan iman.[4] Dalam
prakteknya, perjamuan kudus dengan penghayatannya demikian ternyata juga bisa
menimbulkan konflik dalam diri gereja. Hal ini terkait dengan keanggotaan atau
jemaat yang diperbolehkan mengikuti sakramen perjamuan kudus. Dalam PPA GKJ p-j
137, tersirat bahwa orang yang sedang dalam penggembalaan khusus (pamerdi)
tidak diperkenankan mengikuti sakramen perjamuan kudus.
Terkait dengan “pamerdi”,
mengapa jemaat yang sedang dalam pamerdi tidak boleh mengikuti perjamuan kudus?
Tata Laksana 2005 psl 46 (2) juga berkata demikian.[5]
Apakah perjamuan kudus hanya diperuntukkan untuk mereka yang ‘suci’? Jika
sakramen perjamuan kudus bertujuan untuk pemeliharaan iman, maka bukankah orang
yang sedang dalam pamerdi seyogyanya dianjurkan untuk tetap mengikuti, karena
dengan demikian ia akan semakin diingatkan dan sakramen perjamuan kudus dapat
mendorong proses pertobatan orang tersebut? Atau, apakah GKJ mengenal istilah
dosa kecil dan dosa besar, sehingga orang yang berdosa kecil bisa tetap
mengikuti perjamuan (karena tidak ada manusia yang tidak berdosa) sementara
orang yang berdosa besar kena pamerdi dan tidak boleh menerima perjamuan? Jika
Tuhan Yesus sendiri saja berfirman bahwa Ia datang untuk orang berdosa, mengapa
gereja tidak memperbolehkan orang yang sedang dalam pamerdi ikut menerima
perjamuan? Bukankah dengan demikian pemahaman GKJ mengenai peserta perjamuan bertentangan
dengan konsep kedatangan Tuhan Yesus dan kasih yang Ia ajarkan, karena Ia tidak
menolak orang berdosa yang datang kepada-Nya?
Permasalahan demikianlah yang
melatarbelakangi penulisan paper ini. Terkait dengan hal tersebut, maka penulis
memaparkan sejarah perjamuan kudus itu sendiri dan juga perkembangan maknanya.
Penulis juga memaparkan arti dan konsep pamerdi. Di samping itu, penulis juga
memaparkan tinjauan teologis dan psikologi, terkait dengan permasalahan
mengenai boleh tidaknya orang yang sedang berada dalam pamerdi menerima dan
mengikuti sakramen perjamuan kudus.
Perjamuan kudus
Perjamuan kudus yang kini
menjadi salah satu tradisi kekristenan, pada umumya pelaksanaannya didasarkan
pada peristiwa perjamuan malam terakhir sebelum Yesus disalibkan. Namun, jika
mencermati masalah tradisi perjamuan itu sendiri, maka tampak bahwa tradisi
perjamuan tersebut tidaklah “dibuat” atau pertama kali dicetuskan oleh Yesus.
Menurut Den Heyer, perjamuan kudus kristiani berakar pada perjamuan Paskah
tradisional menurut versi Yahudi.[6]
Tradisi Yahudi yang kemudian juga dilakukan oleh Yesus tersebut pada akhirnya,
baik makna maupun prakteknya, ditegaskan kembali oleh Rasul Paulus. Dengan
demikian, tampak bahwa perjamuan kudus pada mulanya adalah perjamuan makan
bersama, di mana ketika makna religious kekristenan masuk akhirnya menjadi
perjamuan “kudus”.
-
Tradisi Perjamuan
Pada awalnya, perjamuan kudus hanyalah berawal dari
perjamuan/makan bersama biasa. Berdasarkan observasi data Perjanjian Lama, baik
melalui sumber tertulis maupun arkeologi, ternyata tidak banyak data yang dapat
ditemukan terkait dengan seputar perjamuan makan. Pada masa Israel kuno,
kebiasaan perjamuan makan hanyalah dilakukan oleh para bangsawan atau raja. Hal
tersebut dilakukan tatkala ada perayaan istimewa ataupun juga di dalam
menyambut tamu. Dengan kata lain, perjamuan adalah suatu peristiwa makan
bersama. Keadaan tersebut berbeda dengan rakyat biasa, yang sebagian besar
berkerja sebagai petani sederhana dan nelayan. Kepustakaan Yahudi-muda dan para
nabi memberiikan kesan bahwa masyarakat demikian sepanjang minggu menghabiskan
waktunya dengan bekerja dan cukup makan dua kali sehari. Dengan kata lain,
kebiasaan makan bersama (perjamuan) tidak terlalu familiar dalam kehidupan
masyarakat awam Israel kuno. Tidak terlalu jelas juga apa makanan pokok mereka.
Namun, berbagai bukti membawa pada kesimpulan bahwa makanan sehari-hari (utama)
masyarakat Israel kuno adalah roti. Selain roti, makanan yang tampaknya cukup
popular juga adalah ikan, karena sebagian besar juga berprofesi sebagai
nelayan. Terkait dengan minuman, tampaknya memang anggur adalah minuman yang
me-masyarakat, baik dalam kalangan raja dan bangsawan maupun rakyat biasa,
khususnya ketika event makan bersama/perjamuan.[7]
Dengan demikian, tampak bahwa pada mulanya kebiasaan perjamuan tersebut masih
sering dilakukan hanya dalam kalangan raja dan bangsawan kerajaan, khususnya
dalam event-event khusus (misalnya jamuan terhadap tamu kerajaan atau perayaan
kemenangan perang). Sifat daripada perjamuan tersebut juga tidaklah
mengindikasikan adanya religiusitas, melainkan hanyalah sebagai perayaan dan
makan bersama.
Perjamuan, yang pada awalnya hanya sebagai makan bersama,
lambat laun menjadi kebiasaan makan atau perjamuan religious. Hal ini
dikarenakan adanya hukum Taurat yang mengatur setiap aspek kehidupan masyarakat
Yahudi, bahkan sampai pada masalah dapur. Orang-orang yang duduk di sekeliling
meja makan menghadapi hidangan terkena oleh macam-macam persyaratan ketat
berkenaan dengan “kesucian” hidup mereka. Bandingkan dengan kisah Yesus ketika
makan bersama dengan para pemungut cukai dan orang-orang yang dianggap berdosa
(Mrk 2: 13-17; Mat 9: 9-13, Luk 5: 27-32), di mana juga diceritakan bahwa
orang-orang Farisi heran melihatnya. Berdasarkan hal tersebut, tampak bahwa
“peserta” perjamuan atau makan bersama pun juga dipermasalahkan. Seakan-akan
orang berdosa dan para pemungut cukai tidak diperkenankan mengadakan makan
bersama. Tidak hanya “peserta” perjamuan, namun makanan yang terhidang di meja
pun juga “diikat” (diatur) oleh hukum Taurat. Hukum Taurat terkait dengan
kehidupan masyarakat Yahudi tanpa membedakan secara prinsipiil antara perkara
rohani dan kebendaan.[8]
Seiring dengan perkembangan waktu, perjamuan tampaknya
berkembang semakin umum dalam kehidupan masyarakat Yahudi. Sekalipun
nilai-nilai religious sudah merasuk ke dalam tatanan makan bersama tersebut,
namun hal itu tidaklah menyurutkan perkembangan perjamuan dalam masyarakat.
Makan merupakan sudah merupakan kebutuhan utama manusia. Kebutuhan pribadi
tersebut kemudian berkembang menjadi kebutuhan social, tatkala perjamuan
memainkan peranan penting dalam kehidupan bermasyarakat (fungsi sosial).
Perjamuan dapat mempererat relasi dengan tamu, saudara/kerabat, dan juga
masyarakat lain ketika dalam acara kebersamaan ataupun juga perayaan. Dalam era
ini pula tampak bahwa masyarakat Yahudi lebih cenderung suka mengadakan acara
makan bersama, daripada makan secara individual. Berdasarkan hal tersebut, maka
perjamuan dapat dipahami mengandung unsur sukacita di dalamnya. Namun,
tampaknya perjamuan tidak hanya menggambarkan sukacita saja, melainkan juga
dapat menggambarkan dukacita/perkabungan (misal Ul 26: 1-4; 1 Sam 1: 7-18).
Pada meja makan orang tertawa, tetapi juga menangis; ada waktu untuk tertawa
dan sukacita, tetapi juga untuk kesungguhan hidup. Orang sehidangan terjalin
satu kepada yang lain oleh ikatan yang kuat. Perjamuan mengikat persaudaraan
antarmanusia dan hal tersebut sudah menjadi kebiasaan yang sulit dihilangkan
dalam sejarah umat Yahudi. Bahkan, masyarakat Yahudi pun sampai meyakini bahwa
di dalam perjamuan tersebut juga terjadi suatu persekutuan.[9]
Pemahaman yang demikian semakin terdukung dengan adanya system kekerabatan yang
kental dalam masyarakat Yahudi, sehingga tradisi perjamuan/makan bersama tetap
terpelihara bahkan lambat laun menjadi suatu hal yang sudah umum.
Salah satu hal yang menarik dari penelitian/studi mengenai
perjamuan, yakni adalah ketika perjamuan – yang notabenenya sifatnya adalah
umum/social – menjadi bagian dalam suatu perayaan religious, yakni Paskah. Hal
ini ternyata tidak lepas dari era Raja Yosia, yang pada waktu itu menemukan
kumpulan naskah atau kitab-kitab kuno Israel. Pembaharuan pemerintahan yang
dilakukan oleh Raja Yosia, ternyata juga membawa dampak dalam kehidupan
religious bangsa Israel, khususnya pembaharuan kultus. Hal inilah yang membuat
perjamuan kemudian menjadi salah satu bagian dari perayaan Paskah bangsa
Israel, demi memperingati peristiwa keluarnya mereka dari tanah Mesir.[10]
-
Penetapan Perjamuan (amanat penetapan)
Berdasarkan pemaparan di atas, maka tampak bahwa perjamuan
itu sendiri sudah merupakan hal yang umum dalam sebuah kebersamaan bagi
masyarakat Yahudi. Selain itu, perjamuan juga telah menjadi suatu acara/pesta
Paskah – dalam arti peristiwa keluaranya bangsa Israel dari Mesir.[11]
Berdasarkan hal tersebut, perjamuan malam yang dilakukan oleh Yesus bersama
para murid-muridNya tampaknya bisa diasumsikan sebagai suatu perayaan menjelang
Paskah (perjamuan Paskah tradisional).[12] Namun,
terkait dengan hal tersebut tampaknya perjamuan malam yang dilakukan Yesus
tidak serta bisa mengasumsikan bahwa Ia melakukan tradisi ke-Yahudian, yakni,
perayaan Paskah dengan mengadakan perjamuan. Kisah mengenai perjamuan
“terakhir”[13]
dalam keempat kitab Injil diceritakan dengan versi yang berbeda-beda (lih Mat
26: 20-29; Mrk 14: 17-25; Luk 22: 14-38; Yoh 13: 21-30). Studi penafsiran atas
masing-masing kisah tersebut, tampak bahwa perjamuan tersebut terjadi tatkala
sehari sebelum hari pertama Paskah dimulai. Hari pertama perayaan Paskah adalah
tanggal 15 Nisan, sementara perjamuan tersebut terjadi pada tanggal 14 Nisan
(Injil Sinoptik) atau tanggal 13 Nisan (Injil Yohanes). Adanya perbedaan di
antara kitab Injil tersebut, ternyata juga membawa dampak teologis yang cukup
mendalam. Jika penafsiran didasarkan pada Injil Yohanes (13 Nisan), maka
perjamuan “terakhir” tidak ada kaitannya dengan perjamuan Paskah. Berbeda
halnya jika penafsiran didasarkan pada Injil Sinoptik, maka akan tampak bahwa
perjamuan “terakhir” justru berkaitan erat dengan perjamuan Paskah. Berdasarkan
hal tersebut, maka dapat diasumsikan bahwa perjamuan Yesus bersama
murid-muridNya tidaklah mengartikan bahwa Yesus bersama para muridNya melakukan
tradisi perayaan Paskah, yakni perjamuan. Namun, peristiwa tersebut mengartikan
suatu perjamuan perpisahan antara Yesus dengan murid-muridNya.[14]
Dugaan bahwa Yesus dan para muridNya dalam melakukan
perjamuan adalah bukan berorientasi pada tradisi perayaan Paskah, melainkan
perjamuan “perpisahan” diperkuat oleh adanya studi yang mengacu pada roti yang
digunakan oleh Yesus dan para muridNya adalah roti beragi (roti biasa). Tanggal
14 Nisan ('EREV PESAKH), pada hari ini setelah tengah hari, orang Israel sudah
tidak makan roti beragi (Keluaran 12:18, Ulangan 16:3), sebab pada waktu senja
kalangan Yudaisme segera masuk kepada hari Raya Pesakh, yaitu tanggal 15 Nisan,
dimana mereka merayakan PESAKH. Perayaan ini ini dikenal juga dengan nama חג המצות (khag hamatsot - Hari Raya Roti
Tidak Beragi, 15 Nisan). Kata Yunani untuk "Roti Tidak Beragi" adalah
"αζυμος - azumos". Kata inilah yang digunakan oleh Markus dalam
"Hari Raya Roti Tidak Beragi". Sedangkan kata Yunani untuk roti biasa
(beragi) adalah αρτος - artos. Seluruh penulis kitab Injil termasuk Markus,
menulis yang sama, bahwa saat itu merupakan perjamuan terakhir Yesus dengan
murid-muridNya memakan αρτος - artos (roti biasa beragi). Oleh karena itu,
perjamuan makan malam itu walaupun sebuah "perjamuan Paskah", namun
itu bukan perjamuan paskah dengan Roti Tidak Beragi, sebab itu hanya dapat
dimulai pada waktu petang 14 Nisan saat Yesus Kristus ada di kayu Salib. Dengan
demikian terjadinya "perjamuan terakhir" dalam yang diceritakan dalam
Markus 14:22 adalah sebelum tanggal 14 Nisan. Hal tersebut ditujukan dengan
adanya penggunaan kata yang berbeda pada pasal yang sama. Karena untuk Paskah,
tidak mungkin mereka akan memakan sesuatu yang telah dilarang oleh Allah
melalui Hukum Musa (yaitu memakan "artos" – roti biasa beragi), dan
tidak memakan sesuatu yang diperintahkan untuk dimakan (yaitu roti tidak beragi
- "azumos").[15]
Berdasarkan pemaparan di atas, maka tampak bahwa peristiwa
perjamuan malam yang dilakukan oleh Yesus bersama para muridNya tersebut
menimbulkan banyak permasalahan, baik secara konsep teologis (makna) maupun
moment terjadinya (historis). Di satu sisi, permasalahan tanggal perjamuan –
jika mendasarkan pada Injil Yohanes – maka tampaknya tanggal kejadian adalah 13
Nisan. Hal tersebut menimbulkan konsekuensi bahwa roti yang digunakan adalah
roti yang beragi (hal ini diperkuat dengan terjemahan bahasa Yunani dari teks
Markus 14: 22). Dalam terang konsep Injil Yohanes yang demikian, maka perjamuan
malam yang dilakukan Yesus bersama para muridNya hanya perjamuan perpisahan
biasa.[16]
Namun, di sisi lain jika tanggal kejadian adalah 14 Nisan, entah roti yang
digunakan adalah roti beragi ataupun tidak beragi,[17] maka
perjamuan tersebut bisa disebut sebagai perjamuan seder[18]
atau perjamuan perayaan awal Paskah. Permasalahan yang cukup penting berikutnya
adalah mengenai prakarsa Yesus untuk menetapkan perjamuan malam sebagai
peringatan akan karyaNya.
Kecenderungan para penafsir yang mengkaitkan erat antara
perjamuan malam dengan Paskah, ternyata membawa dampak teologis bahwa perjamuan
malam yang dilakukan Yesus bersama para muridNya merupakan perjamuan Seder, di
mana di dalam perjamuan tersebut Yesus – melalui ucapanNya – menetapkan
perjamuan guna mengingat karyaNya.[19]
Kata-kata yang diucapkan oleh Yesus tersebut diyakini sebagai ucapan untuk
mendorong murid-muridNya beserta jemaat Kristen mula-mula (pada perkembangannya
nanti) untuk merayakan perjamuan kudus.[20] Keterkaitan antara perjamuan malam dengan
perjamuan Paskah adalah pada adanya konsep mengenai “domba Paskah”.[21]
Dalam tradisi Yahudi, domba Paskah merupakan symbol utama dalam perayaan
tersebut. Akan tetapi, domba Paskah tidaklah mengartikan korban pendamaian
seperti halnya korban bakaran lain. Berdasarkan hal tersebut, maka Paskah dalam
terang tradisi Yahudi tidak boleh disamakan dengan Hari Raya Pendamaian. Domba
Paskah dalam perayaan tersebut sebenarnya mengartikan sekaligus symbol
pengingat akan peristiwa tulah 10, yakni anak sulung mati. Darah domba Paskah
adalah “apotropeik”, yakni mempunyai makna melindungi umat Israel dari kematian
dan kebinasaan.[22]
Rupanya domba Paskah telah menjadi bagian utama dalam kultus perayaan Paskah
dalam tradisi Yahudi.
Menurut Heyer, identifikasi antara Yesus dengan domba Paskah
memang sudah jelas,[23]
tetapi Alkitab kurang memberiikan bukti-bukti yang nyata. Dalam analisis
“amanat penetapan” perjamuan malam juga nyata bahwa Yesus pada kesempatan itu
tidak menyinggung tentang domba Paskah tersebut, padahal hampir pasti hidangan
tersebut tersedia di atas meja perjamuan. Ia hanya membatasi diri dengan roti
dan anggur.[24]
Hal ini dilakukan oleh Yesus tampaknya adalah karena Ia tidak ingin
menitikberatkan perjamuan tersebut pada perjamuan/perayaan Paskah yang resmi.[25] Dengan
demikian, tampak bahwa Yesus ingin memperbaharui makna dari perjamuan Seder
yang selama ini dilakukan menurut tradisi Yahudi. Dengan kata lain pula, Yesus
menetapkan suatu perjamuan, yang mempunyai makna baru, kepada murid-muridNya.[26]
-
Makna Perjamuan Kudus
Perjamuan, seperti yang telah penulis paparkan pada bagian
sebelumnya, pada mulanya hanyalah sebagai acara makan bersama. Ketika unsur
religious masuk dan mengikat kebiasaan tersebut, sehingga lambat laun – karena
adanya pembaharuan kultus Yahudi, perjamuan menjadi salah satu bagian dalam
tradisi keagamaan Yahudi. Moment yang merupakan tradisi keagamaan tersebut
menjadi semakin bermakna di dalam dunia kekristenan, semenjak Yesus
memperbaharui makna sekaligus menetapkan perjamuan kudus yang demikian kepada
murid-muridNya. Jika melihat teks-teks yang mengkisahkan tentang peristiwa
perjamuan kudus, yakni Mat 26: 20-29; Mrk 14: 17-25; Luk 22: 14-38; Yoh 13:
21-30, maka tampak bahwa perjamuan kudus itu sendiri sebagai moment mengingat
Yesus dan karya pengorbananNya sebagai korban penebusan.
Dalam Pokok-pokok Ajarannya, GKJ memahami perjamuan kudus
sebagai berikut:
Perjamuan
Kudus sebagai salah satu sarana pemeliharaan iman Kristen, di mana roti dan
anggur merupakan unsur dasar dalam perjamuan tersebut. Roti dan anggur yang
telah melalui proses konsekrasi dihayati sebagai symbol tubuh dan darah
Kristus. Hal tersebut mengandung makna akan keyakinan bahwa:
-
Penyaliban
dan kematian Yesus Kristus adalah dasar penyelamatan bagi manusia.
-
Melalui
bentuk makan dan minum bersama yang melambangkan kehidupan keluarga Allah.
-
Sakramen
perjamuan juga mengacu ke depan (eskatologis), yakni ke perjamuan yang sempurna
di sorga.[27]
Sebagai
sarana pemeliharaan iman, Sakramen Perjamuan Kudus mempunyai makna sebagai
berikut:
-
Mengingatkan
orang-orang percaya pada penyaliban dan kematian Kristus.
-
Mengingatkan
orang-orang percaya pada kedudukan mereka sebagai anggota Kerajaan Allah.
-
Mengingatkan
orang-orang percaya pada kesempurnaan keselamatan yang dijanjikan Allah.[28]
Menurut Harun, perjamuan kudus di satu sisi berkenaan dengan
apa yang telah terjadi, sebab perjamuan kudus dilakukan sebagai peringatan.
Dalam hal ini, peristiwa yang dimaksud adalah karya pengorbanan Yesus bagi
manusia, di mana makna dari peristiwa tersebut juga disimbolkan dalam perjamuan
malam yang dilakukan Yesus bersama para muridNya. Sedangkan, di sisi lain
perjamuan kudus juga berkenaan dengan akhir zaman (eskatologis).[29]
Dua aspek dalam perjamuan kudus tersebut dikuatkan oleh Heyer, yang berpendapat
bahwa melalui kematian Kristus itulah pengharapan akan Kerajaan itu kembali
terungkap dengan cara yang mengejutkan. Kematian Kristus juga membawa efek bagi
mereka yang “terpilih”, di mana oleh pengorbananNya akan memiliki hidup dalam
pengharapan akan Kerajaan Allah. Terkait dengan hal tersebut, perjamuan kudus,
secara kesejajaran yang penuh dengan pesta Paskah Yahudi, tidak saja
membangkitkan kenangan pada peristiwa Keluaran dan Salib, tetapi juga
membangkitkan pengharapan dan kerinduan akan masa depan, serta penghayatan akan
Kerajaan Allah.[30]
Menurut Heyer, moment di mana Yesus mengadakan perjamua
bersama muridNya adalah moment di mana Yesus memasukkan makna baru di dalam
tradisi tersebut. Itulah sebabnya perjamuan kudus – secara kristiani – bukanlah
sekedar suatu pengulangan dan kelanjutan dari perjamuan-perjamuan khusus yang
Yesus adakan semasa hidupNya, tetapi bahkan juga membuka dimensi-dimensi baru
yang tidak dapat dicari persamaannya dalam Paskah tradisional Yahudi. Dalam hal
ini, cirri khas perjamuan kudus dapat dijelaskan menurut istilah yang Paulus
kemukakan, yakni perjamuan Tuhan, artinya yang berpusat pada Yesus Kristus.
Dalam perjamuan Tuhan tersebut, semua orang terpanggil untuk ikut merasakan
sukacita Paskah Yahudi, yang terulang kembali dalam bentuk perjamuan kudus
secara kristiani.[31]
Sementara itu, menurut Heyer, aspek eskatologis dari perjamuan Tuhan juga
tampak di dalam makan dan minum jemaat menantikan kedatangan Tuhan kedua
kalinya, yang memberiikan kepastian atas kemenangan dan pembebasan.[32]
Berdasarkan uraian mengenai makna pokok perjamuan kudus di
atas, maka tampak bahwa perjamuan kudus memiliki beberapa unsur sebagai
berikut:
-
Panggilan
Tuhan
Perjamuan kudus mengandung aspek panggilan Tuhan, karena bukanlah manusia
yang mengadakan bahkan menetapkan perjamuan tersebut. Tuhanlah yang memanggil
semua orang, mengadakan, dan menetapkan.[33] Panggilan
Tuhan dalam perjamuan kudus adalah berlaku bagi semua orang.[34]
-
Kebersamaan –
persekutuan
Dalam perjamuan tidak ada individualitas. Perjamuan itu sendiri
mengartikan suatu moment duduk bersama dalam satu meja dan makan bersama dari
meja yang satu itu pula. Kebersamaan atau persekutuan dalam perjamuan kudus
tidak hanya terletak pada persekutuan para umat itu sendiri, melainkan juga
persekutuan antara Tuhan dengan umatNya.[35]
-
Sukacita –
dukacita
Di satu sisi, pengharapan akan keselamatan ataupun juga kesempurnaan
Kerajaan Allah membawa sukacita. Namun, di sisi lain dukacita mengenang
peristiwa lampau juga turut mewarnai perjamuan kudus.[36]
Jika melihat sejarah dari tradisi perjamuan itu sendiri, maka perjamuan
sebenarnya lebih cenderung bersifat sukacita (suasana perjamuan). Hal ini
dikarenakan bahwa perjamuan adalah suatu moment makan bersama dalam satu meja.
-
Kekudusan
Sifat kekudusan dari perjamuan kudus bukanlah tergantung pada para
anggota perjamuan tersebut, melainkan tergantung pada dasar dari perjamuan. I
Kor 11: 20-22, rasul Paulus membedakan antara perjamuan biasa dengan perjamuan
Tuhan.[37]
Perjamuan dapat dikatakan sebagai perjamuan kudus/Tuhan justru karena
berpusatkan pada Yesus Kristus, di mana hidangan yang biasa digunakan (roti dan
anggur) melambangkan (simbol) tubuh dan darahNya.[38]
Perjamuan Kudus dan Pamerdi
Di bagian sebelumnya, Penulis
sudah memaparkan mengenai sejarah tradisi perjamuan dan perkembangannya,
termasuk perkembangan maknanya dalam tradisi kekristenan. Jika melihat makna
perjamuan kudus di atas, termasuk juga unsur-unsur di dalamnya, maka – kembali
pda permasalahan dalam makalah ini – apakah orang yang sedang dalam pamerdi
atau penggembalaan khusus tidak boleh menerima atau ikut dalam perjamuan kudus?
Bahkan, dalam hal ini PPA GKJ dan TAGER/TALAK GKJ pun menyatakan secara
langsung bahwa jemaat yang sedang dalam pamerdi tidak diperkenankan menerima
dan mengikuti perjamuan kudus.[39] Tampaknya
yang menjadi alasan jemaat yang terkena pamerdi tidak boleh mengikuti dan
menerima Sakramen Perjamuan Kudus adalah demi kebaikan jemaat itu sendiri, agar
ia tidak menodai PK dan mendatangkan kutuk/hukuman Tuhan atas dirinya sendiri
(I Kor 10: 14-22; 11: 23-29). Namun, apakah hal itu dibenarkan jika melihat
pengertian/makna serta unsur-unsur dalam perjamuan kudus, yang telah penulis
singgung di bagian sebelumnya?
Menurut pemahaman GKJ, Pamerdi
adalah:[40]
Pamerdi adalah tindakan Gereja
berdasarkan kasih sebagai bentuk pemeliharaan iman kepada warga Gereja atau
pejabat Gerejawi yang jatuh ke dalam dosa, atau paham pengajarannya
bertentangan dengan Firman Tuhan. Hal
tersebut dapat mendatangkan batu sandungan, baik bagi sesama warga Gereja
maupun masyarakat umum. Pamerdi dilaksanakan dengan cara membatasi hak-haknya.
Pamerdi bertujuan:
1. Agar
yang bersangkutan mengakui dosanya dan bertobat, sehingga keselamatannya
terpelihara.
2. Agar
menjadi peringatan dan pendidikan bagi semua warga Gereja.
3. Agar
kesucian Gereja sebagai anugerah Tuhan tetap terjaga demi kemuliaan Tuhan Yesus
Kristus.
Pamerdi (siasat
gereja/penggembalaan khusus/disiplin gereja) sebenarnya adalah sebuah sistem
yang mengatur umat yang bersekutu dalam gereja – dilakukan atas kasih terhadap
individu yang mendapat sanksi, dalam ketaatan dan hormat kepada Allah, dan
dalam rasa takut kepada Allah. Pamerdi dalam gereja juga merupakan cara untuk
mempertahankan kesucian gereja sebagai persekutuan agar nama Allah tetap dipermuliakan
dan tidak dicemarkan. Berdasarkan hal tersebut, maka tampak bahwa pamerdi
sebenarnya mempunyai tujuan yang baik pada dirinya. Namun, yang menjadi masalah
dalam hal ini bukanlah pamerdi itu sendiri, melainkan posisi dan hak warga
jemaat yang sedang dalam pamerdi, di mana dia bersalah atau juga dianggap
bersalah, kemudian tidak diperkenankan menerima dan mengikuti perjamuan kudus.
Bukankah hal demikian membuat kesan bahwa dogma dan hukum gereja terkesan tidak
memanusiakan manusia? Dalam artian, orang bersalah atau dianggap bersalah
dikucilkan dari persekutuan dan haknya dalam beribadah dibatasi. Bagaimanakah
hal ini ditinjau dari sudut pandang psikologis, etis, dan teologis?
-
Tinjauan psikologis
Agama dan psikologi seringkali dipertentangkan, karena
keduanya – jika disalahpahami – bisa menjadikan satu sama lain saling
menggerogoti. Padahal, dalam kehidupan orang beriman pastilah selalu terjadi
dinamika psikologi. Dari sudut pandang psikologi, manusia adalah makhluk yang
berkembang menjadi religious. Manusia bukanlah makhluk statis, namun dinamis,
termasuk dalam menghayati Tuhannya. Dalam hal ini, psikologi masuk bukanlah
untuk mencari kebenaran mengenai Tuhan, seperti misalnya ilmu tafsir, ilmu sejarah,
dll. Ilmu psikologi dalam kaitannya dengan agama/teologi adalah mempelajari
mengapa manusis berkelakuan beragama. Hal ini bukanlah untuk menyangkal
penghatan manusia dengan Allah, namun justru akan terlihat hubungan manusia
dengan Allah terjalin dengan sangat mendalam dengan apa yang manusiawi dalam
diri manusia itu sendiri.[41]
Terkait dengan permasalahan di atas, maka bagaimana
psikologi orang yang sedang berada dalam pamerdi atas kesalahannya dan yang
ditimpakan atasnya?[42]
Perasaan bersalah dalam moral-individual menduduki peran
penting. Orang yang sengaja berbuat jahat dan tidak pernah merasa bersalah atas
kejahatan yang pernah dibuatnya atau malah bangga atas perbuatannya, dianggap
tidak bermoral. Pada umumnya orang merasa bersalah karena telah berbuat sesuatu
di masa lampau yang dianggapnya berdosa atau keliru. Orang juga bisa merasa
bersalah karena tidak berbuat sesuatu yang seharusnya bisa dilakukan di masa
lampau. Perasaan bersalah bukan hanya disebabkan oleh pandangan yang kurang
tepat tentang dosa, konsep baik atau buruk, tetapi juga gambaran-gambaran ideal
tentang diri. Perasaan bersalah sering dipandang sebagai manifestasi dari suara
hati. Suara hati dipandang jauh lebih dalam dari pada sekedar rasa perasaan. Ia
adalah pengertian konkret tentang baik dan buruk mengenai suatu perbuatan
konkret. Ia muncul seperti seruan yang memaksa untuk didengarkan, entah orang
suka atau tidak suka. Namun suara hati itu sendiri juga bisa salah karena suara
hati tidak lain adalah ingatan bawah sadar akan nilai-nilai yang dibentuk dari
dalam atau dipaksakan dari luar. Maka perasaan bersalah sesungguhnya tidak lain
merupakan proyeksi atas reaksi ingatan akan nilai-nilai yang dibatinkan dalam
diri seseorang terhadap peristiwa yang telah lewat. Perasaan bersalah akan
selalu datang seperti bayang-bayang ketika batin lebih mementingkan gambaran
ideal daripada apa yang faktual. Ketika perasaan bersalah muncul, orang dibuat
tak-berdaya. Upaya untuk melawan perasaan bersalah justru makin membuat
tersiksa, depresi atau frustrasi. Niat baik atau perubahan di masa depan yang
dicetuskan hanya melulu karena rasa bersalah tidak cukup kuat untuk mengubah
tindakan secara signifikan. Banyak orang sudah terbiasa mengalami perasaan
bersalah, namun batinnya tetap tidak berubah.[43]
Menurut Dr. Yakub, Rasa Bersalah dapat dibedakan menjadi 2
bagian, yaitu:
A.
Objective Guilt
Rasa Bersalah dalam jenis ini dapat muncul dikarenakan oleh
adanya pelanggaran hukum baik tertulis maupun tidak tertulis. Tapi anehnya,
orang yang melakukan pelanggaran tidak selalu merasa bersalah. Oleh karena
macam pelanggaran hukum beraneka ragam, maka rasa bersalah menurut jenis
pelanggarannya perlu dibedakan dengan lebih rinci lagi, yaitu:
-
Legal-Guilt
Yaitu rasa bersalah yang menjadi masalah oleh karena
pelanggaran terhadap hukum tertulis yang berlaku di dalam masyarakat. Sebagai
contoh adalah pembunuhan, pencurian, perzinahan, dll., menimbulkan perasaan
bersalah, namun tidak semua orang yang melakukannya merasa bersalah.
-
Social-Guilt
Ialah rasa bersalah yang muncul ketika terjadi pelanggaran
terhadap hukum tak tertulis yang berlaku dalam masyarakat. Misalnya:
penghinaan, ancaman, dsb. Yang tidak ada barang bukti untuk diadukan ke
pengadilan, namun menumbuhkan perasaan bersalah.
-
Personal-Guilt
Yakni perasaan bersalah yang muncul tatkala berlangsung
pelanggaran terhadap kesadaran akan kebenaran dalam hati orang yang
bersangkutan. Misalnya: rasa bersalah yang muncul karena orangtua memukul
anaknya tanpa alasan yang benar, suami meninggalkan isterinya yang menunggu di
rumah dengan makan malam sendiri.
-
Theological-Guilt
Yaitu rasa bersalah akibat pelanggaran terhadap hukum-hukum
Allah. Alkitab memberiikan standar kelakuan yang ketika dilanggar akan
menumbuhkan rasa bersalah walapun yang bersangkutan tidak merasakannya
(Why.20:21).
Kekerasan hatilah yang menyebabkan kurang atau hilangnya
kepekaan rasa bersalah.
B.
Subjective Guilt
Subjective Guilt adalah rasa bersalah yang menimbulkan rasa
sesal dalam diri orang yang bersangkutan. Reaksi lanjutannya bisa memunculkan
rasa takut, putus asa, cemas, sampai sikap yang terus menerus menyalahkan diri
dengan menganggap telah melanggar prinsip kebenaran yang diyakininya meskipun
belum tentu melanggar.
Subjective Guilt dapat dibagi dalam 3 bagian, yaitu:
-
Takut akan Hukuman
-
Perasaan kehilangan harga diri
-
Perasaan kesepian dan ditolak
Perasan bersalah macam ini tidak selamanya buruk, sebab ada
kalanya dapat menjadi pendorong untuk memperbaiki diri serta menyadari bahwa
dirinya membutuhkan Allah.[44]
Berdasarkan pemaparan di atas, maka tampak bahwa orang yang
sedang dalam pamerdi, baik karena bersalah ataupun dianggap bersalah,
diperhadapkan pada berbagai rasa bersalah (dilihat dari penggolongannya). Hal
inilah yang tampaknya membuat orang yang dalam pamerdi berada di bawah tekanan
psikis yang cukup berat, walaupun seringkali tanpa ia sadari. Terkait dengan
kesalahan maupun rasa bersalah dari individu tersebut, maka dari segi
psikologis, individu tersebut sulit berbicara mengenai dosa dan kesalahan.
Dalam hal ini, gereja seringkali menerapkan dogma atau bahkan nilai-nilai
alkitabiah tanpa memperhatikan konsisi psikis dari individu yang bersalah. Hal
inilah yang menjadikan dogma dan agama seringkali terkesan kejam terhadap
individu yang bersalah atau dianggap bersalah.[45]
Dalam situasi yang demikian, kesadaran moral justru menjadi awal kesadaran akan
dosa. Dengan adanya kesadara moral, maka orang akan dapat menemukan arah
hidupnya.[46]
Bukankah dalam hal ini sebenarnya agama berperan? Bukannya malah semakin
memperpuruk keadaan psikis individu yang bersangkutan, dengan menerapkan dogma
dan aturan yang “menghukum”. Dalam psikologi agama, tampak bahwa sebenarnya
orang beriman mendambakan suatu “peralihan”. Dalam artian, bagian atau masa
peralihan merupakan tempat di mana diri manusia diubah dan dipersiapkan untuk
memasuki bagian “yang akan datang”. Bukankah impian tersebut hampir sama dengan
impian orang Kristen mengenai Kerajaan Allah? Di mana ada suatu tempat untuk
bersekutu dengan Allah, tempat di mana Tuhan mengubahkan diri manusia, tempat
yang penuh harapan, tempat yang diwarnai dengan kedamaian, dll.[47]
Jikalau perjamuan kudus mempunyai aspek eskatologis, maka bukankah orang yang
sedang dalam pamerdi akan semakin dapat berproses di dalam pertobatannya?
Rasa bersalah ataupun tekanan anggapan bersalah dari orang
lain tentu akan membuat seseorang tertekan. Tekanan yang dirasakan oleh
seseorang juga bisa membuat orang tersebut gelap hati. Dalam keadaan yang
demikian, orang yang bersalah atau dianggap bersalah, sehingga dikenai pamerdi,
berada dalam frustasi social. Perdamaian dan keharmonisan antar individu
menjadi impian bagi yang bersangkutan.[48]
Impian tersebut relevan dengan pengharapan eskatologis terhadap Kerajaan Allah
dalam perjamuan kudus. Dalam hal ini, agama berfungsi sebagai kompensasi untuk
mengimbangi penderitaan. Sengasara di dunia ini “dibalas” atau “diganjar”
dengan kebahagiaan di akhirat/surga nanti.[49]
Berdasarkan hal tersebut, jika dikaitkan dengan makna dan unsur dalam perjamuan
kudus, maka pribadi yang bersangkutan bisa terdorong masuk dalam proses
pemurnian iman, di mana ia akan dibawa pada kesadaran akan kebahagiaan kekal
dan anugerah pengampunan Allah bagi mereka yang mengakui dosa dan kesalahannya.[50] Hal
ini tentu akan berebda jika perjamuan kudus tidak dilayankan bagi mereka yang
berada dalam pamerdi. Pribadi yang bersangkutan akan merasa semakin bersalah
dan hal itu justru membuatnya semakin berada di bawah tekanan. Frustasi yang ia
rasakan bisa jadi membuatnya merasa bahwa agama atau gereja sudah tidak penting
dalam kehidupannya lagi.[51]
Berdasarkan pemamaparan di atas, maka tampak bawah perjamuan
kudus sebenarnya dapat sangat menolong proses pertobatan bagi warga yang berada
dalam pamerdi. Baik pribadi tersebut memang sedang bergumul dengan kesalahan
dan pertobatannya ataupun masih berada dalam taraf mengeraskan hati, bukankah
keduanya adalah proses menuju pertobatan? Oleh karena itu, ditinjau dari sudut
pandang psikologis, maka orang yang berada dalam pamerdi seyogyanya tetap
menyediakan diri untuk mengikuti perjamuan kudus. Demikian sebaliknya, jemaat
lain ataupun gereja dalam hal ini tidak mencibir atau menambahkan konsekuensi
social. Namun, sebaliknya menerima dengan penuh kasih tulus dan turut mendorong
yang bersangkutan berproses di dalam permasalahannya.
-
Tinjauan teologis
Jika melihat peristiwa perjamuan malam Yesus bersama dengan
para muridNya, di mana Ia juga menetapkan serta memperbaharui makna perjamuan
tersebut (Mat 26: 20-29; Mrk 14: 17-25; Luk 22: 14-38; Yoh 13: 21-30), maka
tampak bahwa Yesus sendiri pun tidak mengadakan suatu larangan bagi umatNya
untuk menerima dan mengikuti perjamuan yang telah Ia tetapkan. Hal tersebut
dapat dilihat bahwa Yesus pun tidak melarang Yudas, yang akan mengkhianatiNya,
sekalipun Yesus sudah tahu niat hati jahat Yudas. Bahkan, dalam Yoh 13: 26,
tampak bahwa Yesus juga memberiikan roti yang telah Ia pecahkan tersebut kepada
Yudas. Bandingkan juga dengan kisah di mana Yesus memanggil Lewi, si pemungut
cukai, yang dilanjutkan dengan perjamuan Yesus bersama para pemungut cukai dan
orang berdosa lain (Mrk 2: 13-17; Mat 9: 9-13, Luk 5: 27-32). Berdasarkan hal
tersebut, maka Yesus pun ternyata berkenan satu meja perjamuan dengan
orang-orang berdosa maupun yang dianggap berdosa. Yesus tidak menolak atau
bahkan mengucilkan mereka. Yesus pun tidak mencibir orang-orang yang berdosa,
yang satu meja perjamuan dengan Dia. Dengan demikian, teks Alkitab yang
tampaknya perlu disoroti dan dipahami lebih mendalam lagi terkait dengan
permasalahan boleh tidaknya orang yang dalam pamerdi mengkitu dan menerima
sakramen Perjamuan Kudus adalah teks I Korintus 10: 14-22; 11: 23-29.[52]
Sejak masa jemaat yang mula-mula, sudah ada kebiasaan
orang-orang percaya makan bersama-sama (Kisah para Rasul 2: 42, 46).
Kesempatan tersebut merupakan kesempatan untuk bersekutu dan saling membagi
dengan mereka yang berasal dari golongan yang lebih rendah. Tidak
diragukan laigi, mereka menjadikan makanan itu puncak kegembiraan mereka dengan
menjalankan perjamuan Tuhan. Mereka menyebut makanan itu ‘perjamuan
kasih’ karena penekanan utamanya adalah menunjukkan kasih kepada orang-orang
lain dengan saling membagi. Namun pada kenyataannya, terjadi banyak
penyalahgunaan dalam perjamuan tersebut sehingga Paulus menegur mereka melalui
suratnya. Perjamuan kasih yang pernah menjadi bagian dalam ibadah di Korintus
secara perlahan-lahan mulai diselewengkan tujuan dan penghayatannya (band I Kor
11: 20). Persoalan pertama yang terjadi adalah munculnya bermacam-macam
kelompok kecil dalam perjamuan tersebut dan kelompok-kelompok tersebut tidak
mau membaurkan diri satu dengan yang lain (I Kor 11: 17-18). Mereka hanya
menikmati makanan dalam kelompoknya sendiri, bukan dengan seluruh keluarga
jemaat. Kesalahan lain yang dilakukan oleh jemaat adalah adanya
orang-orang kaya yang membawa sejumlah besar makanan untuk diri sendiri,
sedangkan jemaat yang miskin dibiarkan lapar. Gagasan semula dari
perjamuan kasih untuk saling membagi kasih sudah menjadi luntur. Bahkan
ada jemaat-jemaat yang malah menyalahgunakan sebagai kesempatan untuk
mabuk-mabukan (I Kor 11: 21).[53]
Surat I Korintus pada dasarnya dilatarbelakangi oleh adanya
perpecahan dalam jemaat (I Kor 1: 10-17; 3, 5) dan adanya polemic melawan
gnostikisme.[54]
Kelompok tersebut tampaknya memecah jemaat Korintus secara tidak langsung
dengan pengajaran atau paham mereka. Hal tersebut memberiikan dampak pada
jemaat Korintus akan kehidupan beriman dan beretika mereka. Jika melihat teks
dasar yang pertama, yakni I Korintus 10: 14-22, maka tampak bahwa sebenarnya
yang menjadi permasalahan adalah pola hidup jemaat yang suka mendatangi
perjamuan atau pesta-kafir, di mana di dalam acara tersebut ada upacara
penyembahan berhala dan makan korban sajian. Beberapa orang Kristen di Korintus
beranggapan bahwa sakramen-sakramen memberiikan kekebalan magis terhadap
upacara-upacara keagamaan kafir, sehingga mereka dapat ikut serta tanpa
benar-benar terlibat secara rohani. Paulus menunjukkan dari sejarah Israel
bahwa hal itu tidak benar. Tidak mungkin ikut serta perjamuan kudus pada suatu
hari, kemudian menghadiri pesta kafir pada hari berikutnya dan luput tanpa
mengalami akibatnya.[55] Dengan
menggunakan Perjanjian Lama secara tipologis, Paulus menunjukkan bahwa sakramen
tidak menjamin keselamatan (I Kor 10: 1-13); sakramen tidak membuat etika tidak
penting, melainkan justru menuntutnya.[56]
Karena itu, penting menghindarkan diri dari penyembahan berhala, karena
perjamuan kudus dan korban yang dipersembahakan kepada berhala-berhala itu
bertentangan satu dengan yang lain, sehingga orang harus memilih satu di antara
keduanya (10: 14-22).[57] Berdasarkan
hal tersebut, maka tampaknya jemaat Korintus – akibat pengaruh Gnostik –
menyamakan antara perjamuan kudus dengan perjamuan/upacara penyembahan berhala,
sehingga mereka mengganggap mengikuti upacara penyembahan berhala dan perjamuan
korban sajian itu tidak salah. Selain itu, tafsiran lain adalah bahwa jemaat
Korintus sama sekali membedakan perjamuan kudus dengan upacara penyembahan
berhala dan perjamuannya. Pembedaan tersebut mengakibatkan adanya sikap dan
paham bahwa dengan mengikuti perjamuan dan upacara penyembahan berhala, maka
tidak akan menimbulkan dampak apa-apa terhadap kehidupan beriman mereka (etika
baik tidak diperlukan dalam kehidupan beriman), khususnya dalam mengikuti
perjamuan kudus. Dengan demikian, maka tampak bahwa perkataan Paulus yang cukup
keras dan tegas mengenai perjamuan kudus kepada jemaat Korintus, dalam teks I
Kor 10: 14-22, adalah dikarenakan adanya permasalahan etika hidup jemaat
Korintus, khususnya bahwa mereka di satu sisi mengadakan dan mengikuti
perjamuan kudus, namun di sisi lain juga tetap mengikuti upacara penyembahan
berhala dan jamuan korban sajiannya.
Teks Alkitab yang menjadi dasar kedua dalam PPA GKJ 2005
(p-j 137) adalah I Kor 11: 23-29. Jika melihat keseluruhan perikope tersebut
(ayat 17-34), maka tampak bahwa Paulus berbicara mengenai peraturan atau tata
cara yang benar di dalam perjamuan kudus (ayt 17). Berdasarkan hal tersebut,
maka tampak bahwa dalam prakteknya jemaat Korintus telas melakukan kesalahan.
Dengan kata lain, telah terjadi penyimpangan-penyimpangan dalam praktek
perjamuan kudus yang terjadi dalam jemaat Korintus.[58] Dalam
perikope tersebut, tampak bahwa cara jemaat Korintus menyelenggarakan perjamuan
kudus telah menjadi sumber keprihatinan Paulus. Mereka tidak mengikuti
petunjuk-petunjuk yang telah diberikan Yesus sendiri, dan yang telah
disampaikan oleh Paulus sendiri (23-26), tetapi orang-orang Kristen di Korintus
menjadikan ibadah suatu kesempatan untuk berpesat dan bergembira. Mereka semua
membawa makanannya sendiri, dan mengadakan pesta pribadi – yang seharusnya
diadakan di rumahnya sendiri (ayat 22). Perpecahan antara kelompok-kelompok
yang begitu ditentang oleh Paulus, muncul juga dalam perjamuan (ayat 18-19).
Perpecahan ini, pesta pora, serta mabuk-mabukan, yang terjadi dalam jemaat
adalah sesuatu yang memalukan, baik dilihat dari tujuan ibadah maupun
orang-orang Kristen itu sendiri. Mereka tidak memikirkan hal yang telah mereka
lakukan, sehingga beberapa di antara mereka patut menerima hukuman (ayat
29-32).[59]
Konteks jemaat, yakni perpecahan, tampaknya telah mendorong
Paulus untuk berbicara tentang “tubuh Kristus”. Di bagian sebelumnya penulis
sudah menjelaskan bahwa Paulus memahami bahwa di dalam perjamuan kudus
terkandung pula unsur persekutuan dengan Tuhan. Dalam hal ini, aspek
persekutuan – baik antar jemaat maupun dengan Kristus – dipahami oleh Paulus
ada di dalam persekutuan satu meja makan. Penting juga untuk diketahui bahwa
persekutuan (koinonia) memainkan peranan yang penting dalam kehidupan jemaat Kristen
mula-mula. Berdasarkan hal tersebut, tampaknya memang Paulus mendasarkan
pemahaman akan persekutuan tersebut adalah sebagai berikut:
-
Aspek persekutuan antar jemaat itu sendiri terwujud di
dalam sebuah kebersamaan makan di satu meja.
-
Aspek persekutuan dengan Tuhan terwujud dalam satu roti
yang terpecah-pecah, yang melambangkan tubuh Kristus, dan cawan berisi anggur,
yang melambangkan darah Kristus.[60]
Bagi Paulus, mengambil bagian di dalam darah dan tubuh
Kristus bukanlah hanya mengambil bagian dalam kebutuhan jasmani saja, melainkan
juga merupakan suatu pengalaman bersama dengan Kristus yang telah dikorbankan.
Persekutuan di dalam perjamuan kudus mempunyai arti teologis yang mendalam,
karena orang-orang yang ikut dalam perjamuan kudus juga turut serta ambl bagian
dalam misi Kristus (ayat 26). Keikutsertaan dalam perjamuan Tuhan tidak
bersifat formalitas, melainkan melibatkan keseluruhan pribadi orang yang
mengikutinya. Berdasarkan hal tersebut, maka jelaslah bahwa persekutuan
orang-orang Kristen mencakup semua orang yang mengambil bagian dalam Kristus
dan karena itu dipersatukan dalam satu tubuh.[61]
Persekutuan di dalam perjamuan kudus yang telah dinodai dengan tata cara yang
salah, yang telah dilakukan oleh jemaat Korintus telah menjadi keprihatinan
tersendiri bagi Paulus. Egosime, kerakusan, penyembahan berhala, dan
individualism tanpa kasih itulah yang dipandang oleh Paulus dengan “tidak
layak”. Hal itu mengartikan bahwa tidak layak adalah menyelenggarakan perjamuan
kudus tanpa kasih. Melakukan hal tersebut adalah sama saja dengan tidak
mengakui tubuh Kristus. Oleh karena itu, Paulus mengatakan akan pengujian diri
sebelum mengikuti perjamuan kudus. Dalam arti, bahwa setiap orang harus menguji
dirinya sendiri supaya jangan hidup tanpa kasih, melainkan penuh kasih dalam
kebersamaan persaudaraan ia merayakan perjamuan kudus.[62]
Dengan demikian, tampak bahwa unsur persekutuan di dalam
perjamuan kudus sangat ditekankan oleh Paulus. Pengajarannya mengenai perjamuan
kudus kepada jemaat Korintus adalah dikarenakan konteks jemaat Korintus yang
tidak mencerminkan komunitas injili, oleh karena tingkah la immoralnya, yakni
zinah, pemujaan berhala, dan egoisme, di mana semua itu bertentangan dengan
kehidupan etis yang diajarkan Yesus. Dalam pandangan Paulus, perayaan perjamuan
kudus yang dilakukan oleh jemaat Korintus tidak “suci”, karena kenyataan
komunitas iman mereka yang tidak layak. Komunitas iman yang seharusnya diwarnai
dengan persekutuan di dalam kasih, namun telah ternodai dengan adanya
perpecahan. Dalam hal inilah, kiranya wajar jika Paulus mengkaitkan perjamuan
kudus, di mana kesatuan menjadi suatu kebutuhan mendasar di dalam konteks
komunitas yang terpecah-belah. Hal tersebut juga mengartikan bahwa komunitas
yang terpecah-belah menyelewengkan realitas ekaristi yang sesungguhnya.[63]
Berdasarkan uraian mengenai dua teks yang mendasari tidak
diperkenankannya orang yang sedang dalam pamerdi menerima dan mengikuti
perjamuan kudus – menurut GKJ, maka tampak bahwa perjamuan kudus pada
hakikatnya menyatukan kembali relasi antar warga jemaat juga dengan Kristus.
Dengan tidak diperkenankannya jemaat tersebut mengikuti perjamuan, maka hal itu
malah semakin menyelewengkan makna perjamuan kudus yang sarat dengan makna
persekutuan. Perjamuan kudus gereja akan menjadikan kesan perjamuan hanya
berlaku bagi orang suci – tidak sedang dipamerdi. Ada semacam pemisahan dalam
hal ini, sementara hal itu begitu ditentang oleh Paulus. Teks Injil yang
mengkisahkan mengenai Yesus memberiikan makna bahwa Ia tidak melarang, menolak,
ataupun mencibir orang-orang yang jelas-jelas bersalah ataupun berdosa. Jika
Paulus mengembangkan paham atau ajaran perjamuan kudus dengan memberiikan
adanya “peraturan” mengenai kelayakan jemaat dalam menyelenggarakan perjamuan
kudus, maka hal itu sebenarnya dilatarbelakangi konteks perpecahan dalam
jemaat.hal inilah yang perlu digarisbawahi secara jelas. Ketidaklayakan jemaat
Korintus, yang disorotidengan tajam oleh Paulus, adalah dikarenakan kehidupan
mereka tidak mencerminkan kehidupan etis sebagaimana Yesus ajarkan. Penyembahan
berhala, moral rendah, egoisme, dan perpecahan, membuat jemaat Korintus tidak
layak dalam menyelenggarakan perjamuan kudus. Demikian halnya dengan sebuah
gereja, di mana komunitas Kristus yang seharusnysa bisa mencerminkan
persekutuan, persatuan, dan kebersamaan di dalam kasih Kristus, namun telah
“mengadakan” pemisahan antara jemaat yang dipamerdi dengan tidak di dalam
sebuah perjamuan. Berdasarkan pemahaman Paulus mengenai komunitas dalam
perjamuan kudus, maka ketidaklayakan perjamuan kudus bukanlah terletak pada
individu-individu yang berada di dalamnya, melainkan sebagai sebuah komunitas
bersama. Sederhananya, jika ada pemisahan, pembedaan, perpecahan, maka sebenarnya
“ketidaklayakan” tersebut tersemat bukan karena bersalah/berdosa tidaknya
jemaat secara individu, melainkan karena pola hidup komunitas itu sendiri.
Penutup
GKJ memahami bahwa pamerdi
adalah tindakan gereja berdasarkan kasih sebagai bentuk pemeliharaan iman
kepada warga gereja atau pejabat gerejawi yang jatuh ke dalam dosa, atau paham
pengajarannya bertentangan dengan Firman Tuhan. Hal tersebut dapat mendatangkan
batu sandungan, baik bagi sesama warga gereja maupun masyarakat umum. Pamerdi
dilaksanakan dengan cara membatasi hak-hak gerejawi dari warga gereja tersebut.
Pada intinya, pamerdi bertujuan agar yang bersangkutan mengakui dosa dan
bertobat, agar menjadi peringatan dan pembelajaran dari warga gereja lainnya,
dan menjaga kesucian gereja sebagai anugerah Tuhan.[64]
Berdasarkan pengertian di atas,
maka pamerdi pada hakikatnya menolong dan “memfasilitasi” warga gereja yang
jatuh ke dalam dosa di dalam proses pertobatannya. Hal yang agaknya kurang
tepat adalah ketika pamerdi dilaksanakan dengan membatasi hak-hak dari warga
gereja yang bersangkutan. Pada umumnya, hak-hak yang dibatasi adalah terkait
dengan sakramen dan status jabatan gerejawinya. Terkait dengan status gerejawi,
agaknya hal itu bisa diterima. Namun, bagaimana dengan pembatasan hak menerima
sakramen? Jika sakramen dimaksudkan untuk pemeliharaan iman, maka bisa
dikatakan bahwa orang yang sedang dalam pamerdi, di mana ia tidak diperkenankan
menerima sakramen, maka sama saja dengan tidak memelihara iman dari warga
gereja yang bersangkutan. Suatu hal yang tampak berlawanan dengan tujuan
daripada pamerdi itu sendiri.
Terkait dengan perjamuan kudus,
GKJ menyatakan bahwa orang yang berada dalam pamerdi tidak diperkenankan
menerima dan mengikuti. Seringkali dasar alasan yang digunakan adalah bahwa
warga gereja yang bersangkutan masih mengeraskan hatinya. Dalam hal ini, yang
perlu mendapat perhatian sekaigus perenungan adalah bukankah warga gereja
tersebut berada dalam proses pertobatan – sekalipun masih dalam tahap
mengeraskan hati? Terkait dengan salah satu unsur perjamuan kudus, yakni
panggilan Tuhan kepada semua orang, atas dasar apakah Gereja berhak membatasi
panggilan Tuhan? Jika perjamuan kudus dihayati sebagai pemeliharaan iman, maka warga
gereja yang berada dalam pamerdi sebenarnya dimungkinkan mengalami pertobatan
di dalam perjamuan kudus tersebut. Yesus sendiri tidak menolak orang berdosa
berada dalam satu meja makan bersama dengan Dia. Yudas, yang mengkhianati Yesus
dan Yesus sudah mengetahui hal itu sebelumnya, juga diperkenankan Yesus berada
dalam satu meja makan dan makan bersama. Mengapa gereja mengadakan pemisahan
dan pembedaan? Hal-hal tersebut agaknya patut menjadi perenungan bagi
gereja-gereja pada masa kini, khususnya GKJ terkait dengan peraturan di dalam
Tata Gereja dan Tata Laksananya, serta pemahamannya di dalam PPA GKJ.
Pada umumnya, warga gereja yang
berada dalam pamerdi, dari pribadinya sendiri enggan untuk mengikuti perjamuan.
Di satu sisi, hal tersebut bisa dikatakan adalah suatu kesadaran untuk tidak
“menodai” persekutuan dan menimbulkan cibiran atau celaan. Namun, di sisi lain
bisa jadi adalah karena ketidakjelasan atau pemahaman yang kurang tepat
mengenai makna perjamuan kudus tersebut. Perjamuan Kudus Tuhan adalah berlaku
bagi semua orang dan Dia memanggil semua orang, termasuk orang yang sedang
dalam pamerdi. Pemahaman seperti inilah yang tampaknya perlu ditumbuhkembangkan
dalam diri jemaat, agar jemaat menyadari bahwa sekalipun dirinya berdosa, namun
Allah tetap memanggil dan menghendaki dirinya menerima dan mengikuti
perjamuanNya. Terkait dengan hal tersebut, alasan lain yang menjadikan warga
gereja yang bersangkutan enggan adalah konsekuensi sosial. Umumnya, yang lebih
dikhawatirkan dan ditakuti bukanlah hukuman Tuhan, melainkan hukuman sosial
dari warga gereja lainnya, berupa cibiran, celaan, dan konsekuensi sosial
lainnya. Dalam hal ini, hukuman manusia seakan-akan lebih berat daripada
hukuman Tuhan. Warga gereja yang berada dalam pamerdi menjadi semakin tertekan.
Ibarat jatuh tertimpa tangga pula. Apakah seperti ini cirri atau pola hidup
komunitas Kristus? Bukankah seharusnya menolong, menguatkan, menghibur, mengingatkan,
dan bertumbuh bersama di dalam kasih Kristus? Ketika pola komunitas demikian,
bukankah warga yang tidak berada dalam pamerdi malah menodai perjamuan kudus
itu sendiri? Mengapa keikut sertaan orang yang dalam pamerdi dipersalahkan,
dengan alasan tidak membuat batu sandungan bagi warga lain di dalam perjamuan?
Bukankah hal ini seakan-akan ketika ada cibiran, celaan, dan tudingan, lalu
warga yang dipamerdi menjadi dikambing hitamkan? Terkait dengan
pertanyaan-pertanyaan reflektif di atas, maka salah satu unsur perjamuan, yang
juga ditekankan oleh Paulus, yakni persekutuan, menjadi relevan sekaligus perlu
dipertanyakan dalam kehidupan bergereja pada masa kini.
Perjamuan kudus adalah panggilan
Tuhan di dalam memelihara iman umatNya. Perjamuan kudus adalah persekutuan
jemaat Tuhan, di dalam dan bersama komunitasnya, dengan Tuhan. Kekudusan
perjamuan itu sendiri bukanlah terletak pada kekudusan hidup jemaat secara
pribadi-pribadi, namun secara komunal. Menurut Paulus sendiri, ketidaklayakan
perjamuan adalah karena pola hidup jemaat secara komunal/pola hidup komunitas
Kristus. Berdasarkan hal tersebut, maka tampaknya GKJ perlu mengkaji ulang
boleh tidaknya warga gereja yang berada dalam pamerdi menerima dan mengikuti
perjamuan kudus. Perjamuan kudus adalah persekutuan umat, di dalam kebersamaan
kasih, dengan Tuhan, di mana Tuhan memanggil dan menghendaki semua orang,
termasuk orang berdosa, untuk ikut di dalam perjamuanNya. Mengapa gereja
membatasi panggilan Tuhan?
[1] Dogma dan tradisi iman (kekristenan) dalam hal ini
merupakan konteks dari kehidupan gereja. Oleh karena itu, dogma dan tradisi
iman tidak bisa dilepaskan dari kehidupan gereja itu sendiri. Tradisi iman dan
dogma yang berkembang senantiasa mempengaruhi pola hidup dan perkembangand ari
suatu gereja.
[2] Pokok-pokok Ajaran Gereja Kristen Jawa (edisi 2005),
Salatiga, Sinode GKJ, 2008. P-j 129; hlm 48
[3] Bandingkan dengan Katholik yang mengakui dan memberiilakukan
tujuh sakramen, yakni pembaptisan, penguatan, ekaristi, rekonsiliasi (pengakuan
dosa), pengurapan orang sakit, imamat, dan pernikahan.
[4] Ibid, p-j128; hlm 47
[5] Tata Gereja/Tata Laksana Gereja Kristen Jawa (edisi
2005), Salatiga, Sinode GKJ, 2008. Psl 46 (2)
[6] C.J. Den Heyer, Perjamuan Tuhan; Studi Mengenai Paskah
dan Perjamuan Kudus Bertolak dari Penafsiran dan Teologi Alkitabiah, Jakarta,
BPK Gunung Mulia, 1994. Hlm 16-17
[7] Ibid, hlm 18-20; lihat juga hlm 34, di mana dikatakan
bahwa pada akhirnya nanti perjamuan yang dikaitkan dengan ritual religious
(Paskah) menggunakan roti tidak beragi.
[8] Ibid, hlm 20-22
[9] Ibid, hlm 22-24
[10] Ibid, hlm 36
[11] Ibid, hlm 33.
[12] Istilah tersebut, perjamuan Paskah tradisional, adalah
karena dalam kekristenan saat ini makna Paskah yang dihayati adalah kebangkitan
Kristus, makna Paskah PB. Sedangkan makna Paskah PL adalah peristiwa keluarnya
bangsa Israel dari Mesir. Lih ibid, hlm 54
[13] Perjamuan malam juga sering disebut dengan perjamuan
terakhir.
[14] Ibid, hlm 28-28. Dalam hal ini, ketiga Injil Sinoptik memberiiika
suatu sudut pandang baru, yakni bahwa sekalipun perjamuan Yesus bersama para
muridNYa bukanlah perjamuan perayaan Paskah, namun peristiwa tersebut terkait
erat dengan Paskah dalam PL dan makna Paskan yang baru, yang dihadirkan oleh
Yesus (melalui ucapanNya ketika daam perjamuan tersebut).
[15] Lihat http://www.sarapanpagi.org/kontradiksi-perjanjian-baru-vt543-80.html#p1978;
12 Desember 2012. Walaupun perjamuan malam dan perjamuan Paskah tidak bisa
disamakan sepenuhnya, namun keduanya tetap memiliki keterikatan, band Den
Heyer, Perjamuan Tuhan, hlm 41-47
[16] Band dengan Den Heyer, Perjamuan Tuhan, hlm 64, di
mana Heyer berpendapat bahwa Yesus pun tidak merahasiakan bahwa peristiwa itu
(perjamuan) adalah perjamuan perpisahan.
[17] Terkait dengan ha tersebut, jika memang benar tanggal
kejadian adalah tanggal 14 Nisan, maka tampaknya roti yang digunakan adalah
roti tidak beragi dan perjamuan tersebut bisa dikatakan sebagai perjamuan
perayaan awal Paskah atau perjamuan seder.
[18] Seder adalah Tatacara, namun istilah ini menunjuk pada
tata cara makan dan perayaan yang dilaksanakan saat Pesakh. Lihat Teguh
Hindarto, Perjamuan Malam Terakhir & Seder Pesakh Ibrani; Berbagai Kajian
Kritis dan Apologetis Seputar Tema Paskah, FORUM STUDI MESIANIKA & GPKSI
“NAFIRI YAHSHUA” KLIRONG – KEBUMEN, hlm 6
[19] Lih ibid, hlm 7-10. Band dengan Harun Hadiwijono, Iman
Kristen, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1982. Hlm 454. Dalam hal ini, perjamuan
malam yang dilakukan oleh Yesus bersama para muridNya dipahami oleh Harun
sebagai perjamuan Seder, bukan perjamuan Paskah tradisonal Yahudi.
[20] Den Heyer, Perjamuan Tuhan, hlm 31. Lih juga Harun
Hadiwijono, Iman Kristen, hlm 454
[21] Den Heyer, Perjamuan Tuhan, hlm 48
[22] Ibid, hlm 49
[23] Band dengan perkataan Paulus yang menyebut Yesus
dengan istilah anak domba Allah (I Kor 5: 7). Dalam hal ini sebenarnya tampak
bahwa rasul Paulus sendiri tidak segan untuk mencari keterkaitan Yesus dengan
“anak domba Paskah yang telah disembelih”. Lihat juga Den Heyer, Perjamuan
Tuhan, hlm 70-71
[24] Ibid, hlm 51
[25] Harun Hadiwijono, Iman Kristen, hlm 455. Dalam hal
ini, Harun berpendapat bahwa perjamuan malam tersebut tidak secara langsung
berhubungan dengan perjamuan Paskah. Menurut Harun, hubungan antara perjamuan
malam/kudus dengan Paskah adalah bahwa perjamuan kudus adalah
“perjamuan-korban-Paskah” (hlm 456). Band juga dengan Den Heyer, Perjamuan
Tuhan, hlm 52.
[26] Terkait dengan “amanat penetapan”, Rasul Paulus
tampaknya tidak bermaksud mengulangi/memperbaharui penetapan yang telah
ditetapkan oleh Yesus sendiri. Menurut Heyer, amanat penetapan dijadikan
“senjata” bagi Paulus di dalam pergumulannya, khususnya bersama jemaat Korintus
(I Kor 11: 23). Paulus meyakini bahwa istilah “tubuh Kristus” dalam perjamuan
kudus adalah sama atau berkaitan erat dengan istilah “tubuh Kristus” dalam arti
jemaat Korintus. Dalam hal ini, konsep perjamuan kudus yang dipahami oleh
Paulus terkait erat dengan masalah relasi/persekutuan. Pemahaman rasul Paulus
yang demikian semakin memperkuat bahwa rasul Paulus bertelogi secara kontekstual.
Dalam arti, ia mampu “mendaratkan” konsep teologis atau tradisi iman yang
diajarkan oleh Yesus ke dalam kehidupan jemaat. Dengan demikian, maka agaknya
kurang tepat jika rasul Paulus dikatakan ikut “menetapkan” perjamuan bagi umat
Kristen. Lihat Den Heyer, Perjamuan Tuhan, hlm 83-84. Lihat juga Harun H., Iman
Kristen, hlm 452.
[27] Sinode GKJ, Pokok-pokok Ajaran GKJ, Salatiga: Sinode
GKJ, 2005. P-j 135
[28] Ibid, p-j 136
[29] Harun H., Iman Kristen, hlm 453. Terkait dengan hal
tersebut, Harun juga menambahkan bahwa perjamuan kudus memiliki makna sebagai
tanda dan materai perjanjian Allah akan keselamatanNya bagi manusia. Di meja
perjamuan, orang-orang beriman mendapat bagian keselamatan yang diperoleh
melalui Kristus dengan pengorbananNya di kayu salib. Dengan demikian, perjamuan
kudus sebagai tanda atau materai perjanjian juga mengartikan bahwa di dalam
perjamuan kudus, umat memperoleh karunia-karunia Kristus. Hlm 456-458.
[30] Den Heyer, Perjamuan Tuhan, hlm 73
[31] Ibid, hlm 79. Lihat juga hlm 56
[32] Ibid, hlm 81.
[33] Dalam hal ini, rasul Paulus memahami bahwa istilah
perjamuan Tuhan yang ia pakai adalah mengacu pada Tuhan sebagai tuan rumah,
yang memanggil semua orang yang mau datang kepadaNya untuk bersama-sama makan
di meja perjamuanNya (I Kor 11: 20). Ibid, hlm 79. Band juga dg Ibid,hlm 55.
Lihat juga Harun H., Iman Kristen, hlm 457 dan Harun Hadiwijono, Inilah Sahadatku,
Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006. Hlm 170
[34] Band dengan M. Bons Storm, Apakah Penggembalaan Itu?,
Jakarta: BPK Gunung Mulia, hlm 120
[35] Den Heyer, Perjamuan Tuhan, hlm 61, 65, 68. Harun H.,
Iman Kristen, hlm 454, 457-460, 463. R. Soedarmo, Ikhtisar Dogmatika, Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 2009. Hlm 246
[36] Den Heyer, hlm 40, 79. Lihat juga M.Bons Storm, Apakah
Penggembalaan Itu?, hlm 122
[37] Ibid, hlm 79. Lih juga Harun H., Inilah Sahadatku, hlm
170
[38] Dalam sejarah gereja, dogma mengenai roti dan anggur
selalu menimbulkan masalah. Perkembangan dogma tersebut adalah sebagai berikut:
-
Menurut gereja
Katholik, roti dan anggur telah berubah menjadi tubuh dan darah Kristus
(transsubstansiasi) pada saat dikonsekrasikan dalam pelaksanaan Perjamuan
Kudus. Setiap Perjamuan Kudus dilakukan diyakini bahwa setiap kali Yesus
mengorbankan ulang tubuh dan darah-Nya untuk keselamatan manusia berdosa. Pada
konsili ke-4 di Lateran (1215), ajaran transsubstansiasi disahkan menjadi dogma
gereja. Ajaran ini kemudian dikembangkan oleh Thomas Aquino (1274). Di konsili
Terente (1545-1563) diteguhkan dan dikuatkan ajaran transsubstansiasi sebagai
jawaban gereja Roma Katolik atas Reformasi (G.C. van Nitrik - B.J.Boland,
Dogmatika Masa Kini, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001. hlm 459)
-
Zwingli memahami
bahwa Perjamuan Kudus adalah sebagai tanda atau materi tentang pengorbanan
Kristus yang menjadi keselamatan bagi manusia. Perkataan Yesus, “Inilah
tubuhKu” menurut Zwingli hanyalah berarti: dengan ini dikiaskan tubuh-Ku.
Zwingli tidak mengakui bahwa Kristuslah yang sungguh berfirman dan bertindak
dalam berlangsungnya sakramen; ia menganggap sakramen hanya suatu perbuatan
yang bersifat lambang, yang dilakukan oleh orang beriman. Dengan demikian fungsi
Perjamuan Kudus adalah merupakan bukti bahwa seseorang telah menerima
penghapusan dosa dan keselamatan (Niftrik-Boland, Dogmatika Masa Kini, hlm 463)
-
Ajaran Luther
tentang Perjamuan Kudus dia sebut Kon-substansiasi (kon = sama-sama): roti dan
anggur itu tidak berubah menjadi tubuh dan darah Kristus (trans-substansiasi).
Tetapi tubuh dan darah Kristus mendiami roti dan anggur itu sehingga ada 2 zat
atau substansi yang sama-sama terkandung dalam roti dan anggur itu. Gereja
Lutheran memahami bahwa di dalam Perjamuan Kudus Kristus sungguh-sungguh hadir
tanpa merubah substansi roti dan anggur namun Dia hadir ketika Perjamuan Kudus
dilakukan. Makna kehadiran Kristus diterima, ketika yang menerima Perjamuan
Kudus percaya tentang firman Tuhan yang diberitakan melalui Perjamuan Kudus dan
percaya kepada penebusan yang dilakukan oleh Yesus Kristus (Dieter Becker,
Pedoman Dogmatika; Suatu Kompendium Singkat, Jakarta: Gunung Mulia, 2000. Hlm
155-156).
- Calvin menolak bahwa tubuh Kristus turun dari Sorga
untuk memasuki roti dan anggur Perjamuan Kudus, apalagi untuk hadir dimana saja
Perjamuan Kudus. Menurut Calvin, tubuh Kristus setelah naik ke Sorga, hadir di
sebelah kanan Allah Bapa, sebagai jaminan kebangkitan tubuh manusia pada akhir
zaman. Jadi untuk dipersatukan dengan tubuh dan darah Kristus, manusia harus
diangkat ke Sorga. Namun manusia bukan berarti diangkat secara jasmaniah tetapi
secara rohaniah karena hatinya diarahkan ke atas (sursum corda). Dengan
kata lain ia menolak kehadiran jasmani
dalam Perjamuan Kudus. Kristus sungguh-sungguh hadir pada waktu
Perjamuan Kudus dirayakan, dengan cara yang cocok bagi Tuhan yang telah
dimuliakan yaitu dalam Roh Kudus yang tidak
terikat pada roti dan anggur. Dengan demikian Calvin menolak ajaran Gereja Roma Katolik tentang trans-substansiasi dan
menolak ajaran Lutheran yaitu mengenai kon-substansiasi. Bagi Calvin,
perjamuan kudus adalah tanda tetapi bukan tanda kosong sebab tanda ini
diberikan Allah melalui AnakNya supaya orang percaya melalui roti dan anggur
betul-betul dipersatukan dengan tubuh dan darah Kristus. Karena kelemahan
manusia tanda ini mutlak perlu sebagai tambahan kepada firman yang diberitakan.
Sebab persatuan dengan Kristus yang dikaruniakan kepada orang percaya ini hanya
dapat dimengerti kalau diperlihatkan dalam upacara makan roti dan minum anggur. (Dieter Becker, Pedoman Dogmatika, hlm
156-157. Lihat juga Niftrik dan Bolanda, Dogmatika Masa Kini, hlm 463-464)
[39] Lihat Pokok-Pokok Ajaran GKJ, p-j 137 dan Tata Laksana
GKJ psl 46 (2)
[40] Tata Laksana GKJ psl 55 (1 dan 2)
[41] Nico Syukur Dister, Pengalaman dan Motivasi Beragama;
Pengantar Psikologi Agama, Jakarta: Lembaga Penunjang Pembangunan Nasional,
1982. Hlm 7-17
[42] Terkait dengan pernyataan tersebut, orang yang sedang
dipamerdi tentu adalah orang yang bersalah ataupun dianggap bersalah. Namun,
orang yang bersalah atau dianggap bersalah belum tentu kena pamerdi. Dalam hal
ini, penulis membedakan istilah antara bersalah dengan dianggap bersalah. Hal
ini dikarenakan bahwa ada kalanya jemaat merasa dirinya benar, namun di mata
gereja ia dianggap bersalah sehingga harus menerima pamerdi.
[43] Disunting dari http://gerejastanna.org/memahami-perasaan-bersalah/
10 Desember 2012
[44] Disunting dari http://www.oocities.org/gkiamb/bersalah.htm
10 Desember 2012
[45] Albertus Sujoko, Praktek Sakramen Pertobatan dalam
Gereja Katholik; Tinjauan Historis,
Dogmatis, dan Pastoral, Yogyakarta: Kanisius, 2008. Hlm 123-126
[46] Albertus Sujoko, Praktek Sakramen Pertobatan dalam
Gereja Katholik, h1m 27-128
[47] Joyce Huggett, Bebas dari Ikatan Dosa; Proses untuk
Menjadi Orang yang Sesuai dengan Kehendak Tuhan, Inter-Varsity Press, 1984.
Hlm 25-40
[48] Nico Syukur Dister, Pengalaman dan Motivasi Beragama,
hlm 96
[49] Ibid, hlm 97
[50] Band dengan ibid, hlm 98
[51] Terkait dengan hal ini, banyak kasus di mana warga
jemaat gereja lebih memilih pindah gereja atau bahkan pindah agama hanya
dikarenakan tidak mau kena pamerdi. Bisa saja dikarenakan pribadinya yang
merasa tidak bersalah dan diperlakukan tidak adil, ataupun juga karena tidak
mau menanggung konsekuensi social (rasa malu).
[52] Dasar alkitabiah yang digunakan GKJ dalam membuat
“peraturan” mengenai jemaat yang boleh menerima dan mengikuti perjamuan kudus.
Lihat PPA GKJ, 2005, p-j 137
[53] John Drane, Memahami Perjanjian Baru; Pengantar
Historis-Teologis, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2005. Hlm 358. Terkait dengan hal
tersebut, Willi Marxsen juga menambahkan bahwa masalah-masalah yang dihadapi
oleh Paulus dalam I Korintus dapat ditafsirkan dalam terang maksud yang
mendasarinya, yakni menghalau pengaruh Gnostik yang telah menyerap ke dalam
gereja Korintus, hlm 83
[54] Willi Marxsen, Pengantar Perjanjian Baru; Pendekatan
Kritis terhadap Masalah-masalahnya, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2005. Hlm 79
[55] John Drane, Memahami Perjanjian Baru, hlm 357
[56] Willi Marxsen, Pengantar Perjanjian Baru, hlm 81.
Lihat juga pada hlm 83, di mana dikatakan bahwa jemaat Korintus memberiii nilai
tinggi pada sakramen-sakramen, bukan terutama sebagai suatu perayaan saat
persekutuan gereja dinyatakan, melainkan lebih kepada sarana untuk memperoleh
jaminan keselamatan dan pada saat yang sama etika tidak diperlukan.
[57] Dalam hal ini, permasalahan etika yang dipermasalahkan
oleh Paulus tampaknya bukanlah etika humanism, melainkan etika hidup beriman.
Dalam arti, hidup yang mencerminkan persekutuan dengan Kristus adalah suatu
etika hidup orang Kristen dan hal tersebut telah ternodai dengan penyembahan berhala.
Bandingkan dengan pendapat Mary Ann, di mana ia mengatakan bahwa kesatuan yang
digambarkan dalam perjamuan Tuhan dinajiskan berhala pemikiran-pemikiran dan
praktek-praktek yang memberii kendala dan memecah belah. Tidak mungkin makan
pada perjamuan Tuhan dan tidak menghormati hati nurani orang Kristen. Lihat
Mary Ann Getty, I Korintus; dalam Dianne Bergant dan Robert J. Karris (ed),
Tafsir Alkitab Perjanjian Baru, Yogyakarta: Kanisius, 2002. Hlm. 294. Lihat
juga A. Noordegraaf, Orientasi Diakonia Gereja, Teologi dalam Perspektif
Reformasi, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004. Hlm 56
[58] Donald Guthrie, Teologi Perjanjian Baru 3, Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 2009. Hlm 85
[59] John Drane, Memahami Perjanjian Baru, hlm 358. Lihat
juga A. Noordegraaf, Orientasi Diakonia Gereja, hlm 56-57
[60] Donald Guthrie, Teologi Perjanjian Baru 3, hlm 86.
[61] Ibid, hlm 87
[62] A. Noordegraaf, Orientasi Diakonia Gereja, hlm 57
[63] Kenan B. Osborne, Komunitas, Ekaristi, dan
Spiritualitas, Yogyakarta: Kanisius, 2008. Hlm 31-39
[64] Tata Laksana GKJ 2005, pasal 55; Pamerdi, butir 1 dan
2
Perjamuan Kudus adalah sakramen untuk mengingat pengorbanan Yesus di Salib
BalasHapusSands Casino, Hotel and Spa | Sega Genesis
BalasHapusPlay classic online slots games for Sega Genesis. Test your 1xbet korean luck with online slots, beat the books, 바카라 사이트 and septcasino live casino games. Play today!