A.
PENDAHULUAN
Kristologi
adalah ilmu tentang Kristus. Sebagaimana yang dipahami oleh orang-orang Kristen
pada umumnya, Kristus adalah Allah yang mewujudkan diriNya dalam bentuk seorang
manusia. Walau pun Kristus adalah sosok yang illahi, namun keberadaanNya – dulu
– dan paham mengenai diriNya – sampai sekarang – sangat terkait dengan manusia
‘biasa’. Hal ini dikarenakan adanya ‘penghayatan iman’ seseorang akan sosok
yang diyakininya sebagai Kristus.
Doktrin manusia
dan doktrin Kristus memiliki kaitan yang sangat erat. Doktrin manusia membahas
mengenai manusia yang diciptakan menurut gambar Allah dan dibekali dengan
pengetahuan yang benar, kebenaran, dan kesucian. Namun karena sengaja melanggar
hukum Allah, manusia kehilangan kemanusiaannya yang sesungguhnya, dan berubah
menjadi seorang yang berdosa. Pemahaman seperti ini menekankan jarak etis
antara Allah dengan manusia, jarak yang dihasilkan dari kejatuhan manusia, yang
tak mungkin terjembatani oleh manusia atau pun malaikat. Dengan demikian, yang
ada hanyalah tangisan keras yang membutuhkan pertolongan illahi. Kristologi
adalah bagian dari jawaban atas tangisan tersebut. Kristologi memperkenalkan
kita kepada karya Allah yang objektif untuk menjembatani jarak pemisah yang
ada. Kristologi menunjukkan kepada kita bagaimana Allah datang kepada manusia untuk
menyingkirkan penghalang antara Allah dengan manusia, dengan cara memenuhi
syarat-syarat hukum di dalam Kristus, dan memperbaharui manusia agar dapat
kembali persekutuan dengan Tuhan dalam keadaan penuh berkat.[1]
Kata kunci dalam
pembicaraan Kristologi adalah ‘penghayatan iman’. Berdasarkan hal ini, maka
kita bisa menarik sebuah pernyataan bahwa makna/arti Kristus bagi masing-masing
orang bisa saja berbeda satu sama lainnya, tergantung bagaimana orang tersebut
menghayati Kristus dalam kehidupannya. Dalam paper ini, saya akan mencoba
membahas Kristologi dalam Soteriologi Rasul Paulus. Soteriologi sebenarnya
sulit dipisahkan dengan Kyriologi, namun agar pembahasan tidak terlalu meluas
maka saya akan memfokuskan pada soteriologi-nya saja. Mengingat surat-surat
rasul Paulus merupakan surat-surat kekristenan yang paling awal dibandingkan
dengan tulisan-tulisan kitab Perjanjian Baru lainnya, maka dapat dikatakan pula
bahwa pada masa-masa awal perkembangan kekristenan sebutan Kristus telah begitu
cepatnya menjadi sebutan utama untuk menyebut Yesus, sehingga dari sini kita
menemukan sebutan Yesus Kristus. Yang menjadi pertanyaan bagi kita selanjutnya
adalah: Kristus seperti apakah yang dipahami/dihayati oleh Rasul Paulus dalam
soteriologinya? Dan, bagaimana kaitannya dengan Yesus – yang diyakininya
sebagai Kristus?
B.
KRISTOLOGI
RASUL PAULUS
Paulus merupakan
seorang tokoh Alkitab yang mempunyai peranan cukup penting dalam sejarah
kekristenan. Tulisan-tulisan (surat-surat) Paulus bisa dikatakan ‘mendominasi’
Alkitab Perjanjian Baru. Setidaknya ada 8 (delapan) surat yang ditulis oleh
Paulus sendiri.[2]
Dari jumlah surat tersebut, terlihat bahwa sumbangsih Paulus dalam
kepengarangan atau sejarah kekristenan (dalam bentuk tulisan) sangat besar,
jika dibandingkan dengan para penulis kitab-kitab Perjanjian Baru (PB) yang
lainnya – yang hanya 1-2 kitab saja. Tidak hanya ‘mendominasi’ saja, namun
surat-surat yang ditulis oleh Paulus kepenulisannya ‘lebih awal’ jika
dibandingkan keempat Injil yang notabenenya berbicara mengenai Yesus. Oleh
karena itu, bisa dikatakan teologi Paulus sangat berpengaruh dalam perkembangan
kekristenan pada saat itu. Walau pun Paulus membahas dan merefleksikan banyak
persoalan, namun yang pokok adalah kristologinya (teologi mengenai Yesus yang
diimani sebagai Kristus). Intisari teologi Paulus adalah kristologinya.[3] Yang
menjadi pertanyaan bagi kita adalah: Apakah – bagi Paulus – Yesus adalah
Kristus?
1. Yesus adalah Kristus – menurut
Paulus
Kristologi
mempelajari sentral iman Kristen yaitu Yesus dalam bingkai pengakuan iman yang
menghasilkan ucapan “Kristus”. Kristologi berbeda dengan Yesuologi yang mempelajari
tokoh Yesus dalam keberadaannya sebagai manusia belaka (kristologi – kristus ;
yesuologi - yesus). Oleh karena itu, Kristologi sekaligus mencakup Yesuologi.[4]
Dalam perkembangannya, kristologi seringkali disama-artikan dengan yesuologi.
Hal ini terlihat dalam istilah “Yesus Kristus”. Jika “Yesus” merupakan sebuah
nama diri, maka nama “Kristus” adalah nama jabatan. Nama Kristus itu sendiri merupakan
bentuk yang setara dengan nama Maschiach
yang dipakai dalam Perjanjian Lama (diambil dari kata mashach, yang artinya “mengurapi”), dengan demikian nama ini
berarti “Yang diurapi”.[5]
Menurut
Groenen, bila dalam kristologinya umat Kristen bergumul dengan Yesus Kristus,
maka apa yang sebenarnya digumuli ialah: relevansi Yesus Kristus bagi manusia
sepanjang sejarah, mana makna dan arti tokoh itu bagi manusia. Seseorang,
termasuk Yesus Kristus, hanya menjadi relevan, berarti dan bermakna, bila
menentukan eksistensi, keberadaan manusia, ialah diri manusia dalam perwujudan
dirinya; bila tokoh itu memberi arah dan tujuan kepada eksistensi itu atau
menjadi pendorong dan perangsangnya. Itulah sebabnya
mengapa diri Yesus tidak dapat dipisahkan dari karya-Nya, dari penampilan-Nya,
dan keterlibatan-Nya di dunia.[6]
Terkait dengan
arti kata “Kristus” yang adalah “Yang diurapi” – di mana nama jabatan itu
dikenakan pada diri Yesus, maka pengenaan ‘jabatan’ tersebut juga tidak
terlepas dari penghayatan atas sejarah kehidupan Yesus selaku “Yang diurapi”
oleh Allah. Penghayatan ini didasarkan atas peristiwa baptisan Yesus.
Menurut
Berkhof, Kristus ditetapkan untuk diurapi menerima jabatan-Nya sejak kekekalan,
akan tetapi secara historis pengurapan-Nya terjadi ketika Ia diteguhkan dalam
baptisan (lih. Mat 3: 16; Mrk 1: 10; Luk 3: 22; Yoh 1: 32; 3: 34). Pengurapan
itu berlaku untuk memberikan kualifikasi bagi Yesus untuk melaksanakan
tugas-Nya yang maha besar. Nama “Kristus” pertama kali dipakai untuk menunjuk
Tuhan kita dalam bentuk kata benda dengan kata sandang, tetapi lama-kelamaan
dipakai sebagai nama diri dan tanpa kata sandang.[7]
Hal ini berarti bahwa diri Yesus – dalam perkembangannya – diyakini yang adalah
Kristus.[8]
Lalu, bagaimana dengan Paulus? Apakah Paulus juga meyakini Yesus adalah
Kristus, sama seperti dengan keyakinan orang-orang Kristen pada umumnya seperti
saat ini?
Di
kalangan umat yang berasal dari bangsa Yahudi asli, Yesus dihormati dengan
mengakui-Nya sebagai “Kristus”. Namun demikian, tidak ada bukti bahwa pernah
dipakai semacam homologi “Kristuslah Yesus”. Akan tetapi, suatu pengakuan yang
serupa dengan itu pasti pernah ada. Dalam Kis 2: 36, disebut secara bersamaan:
“Allah membuat Yesus menjadi Tuhan dan Kristus”. Dan ternyata nama “Yesus
Kristus” menjadi nama yang paling biasa bagi Yesus dalam Perjanjian Baru.
Bahkan seringkali dipakai nama “Kristus” ganti “Yesus”. Padahal, kata “Kristus”
bukanlah nama diri, melainkan gelar untuk raja (Yahudi). Jadi, kalau Yesus
disebut “Kristus”, maka jelaslah bahwa Ia pernah diakui sebagai “Kristus” atau
sebagai raja orang Yahudi.[9]
Dengan
kata lain Yesus adalah Kristus. Lalu, bagaimana Yesus “mendapatkan”
ke-Kristusan-Nya? Jika kita melihat garis besar iman jemaat zaman Perjanjian
Baru, maka ke-Kristus-an Yesus tidak dapat dilepaskan dari penderitaan dan
kematian-Nya di kayu salib, dan pada akhirnya pun tidak dapat dilepaskan dari
kebangkitan Yesus dari antara orang mati. Bahkan dapat dikatakan bahwa sebutan
Kristus akhirnya dikenakan kepada Yesus terutama karena karya-Nya di dalam
penderitaan, disalibkan, mati dan dikuburkan serta bangkit dari antara orang
mati.[10]
Kematian dan kebangkitan Yesuslah yang telah menjadi kunci untuk memahami Yesus
selaku Kristus. Dengan demikian makna “Yang diurapi” bagi Yesus berarti diurapi
untuk suatu misi illahi, yakni melaksanakan karya penyelamatan Allah yang harus
ditempuh dengan menjalani penderitaan salib, namun dibangkitkan dari antara
orang mati. Tradisi iman seperti inilah yang ada pada zaman Perjanjian Baru.
Sentralitas pengorbanan Yesus di kayu salib sebagai yang memberikan
pemaknaan baru pada ke-Messiasan Yesus juga nampak begitu menonjol di dalam
tulisan-tulisan rasul Paulus. Perbedaannya ialah bahwa betapa pun rasul Paulus
banyak menggunakan sebutan Kristus di dalam tulisan-tulisannya seperti telah
disebutkan sebelumnya, namun di dalam tulisan-tulisannya sebutan Kristus tidak
lagi dipakainya sebagai yang menunjuk kepada ke-Messiasan Yesus. Sebutan
Kristus di dalam tulisan-tulisan Paulus berfungsi terutama sebagai nama diri
tanpa harus merujuk pada konsep Messianis sebagaimana masyarakat Yahudi
memahaminya demikian ataupun sebagaimana masyarakat Kristen awal mempercayainya
demikian. Kemungkinan besar perubahan penggunaan istilah Kristus yang merujuk
ke-Messiasan Yesus menjadi nama diri kemungkinan besar disebabkan karena
konteks masyarakat di mana rasul Paulus melayaninya, yakni konteks masyarakat
Yunani yang merasa asing atau bahkan tidak mengerti sama sekali mengenai
Messias.[11] Namun, perubahan
makna penggunaan istilah Kristus ini sama sekali tidak berarti bahwa rasul
Paulus tidak percaya kepada Yesus selaku Messias. Kenyataan yang tidak dapat
disangkal oleh Paulus ialah bahwa ia bertobat dan percaya kepada Yesus justru
karena ia percaya bahwa Dia-lah Messias. Namun bagi rasul Paulus, Messias yang
ia percayai itu kini adalah “sosok” yang mempunyai kedudukan sebagai Tuhan di
dalam kemuliaan. Kepercayaan Paulus kepada Yesus selaku Messias ini tersirat di
dalam beberapa pernyataannya, misalnya di dalam Roma 9: 5 yang menyebutkan
bahwa kehadiran Yesus selaku Messias tetap berada dalam jalinan perjanjian
Allah dengan umat Israel; Roma 1: 2 yang berbicara mengenai Injil Yesus Kristus
selaku Messias yang datang menggenapkan janji-janji Allah kepada para nabi; 1 Kor.
15: 3 yang menyebutkan bahwa misi Yesus telah diselesaikan-Nya sesuai dengan
Kitab Suci; 2 Tim. 4: 1 yang menyebutkan bahwa Ia akan datang lagi untuk
menghakimi orang yang hidup dan mati (2 Tes. 1: 5). Dengan demikian kepercayaan
Paulus terhadap Yesus selaku Messias telah mengalami perubahan yang signifikan.
Ia tidak lagi memahami kemessiasan Yesus dalam terang raja duniawi yang
memerintah di singgasana kerajaan penuh dengan dimuliakan, melainkan sebagai
Tuhan yang telah bangkit dari antara orang mati. Messias telah memerintah di
dalam kemuliaan, duduk di sebalah kanan Allah dan memerintah sebagai seorang
raja (Roma 8: 34; Kol. 3: 1; 1 Kor. 15: 25). Bagi Paulus, Ia yang telah
menderita sengsara, mati di kayu salib, dibangkitkan, dan naik ke surga duduk di
sebelah kanan Allah untuk memerintah sebagai raja tidak lain dan tidak bukan
juga adalah Yesus yang pernah ada di dalam dunia ini selaku Yesus dari
Nazareth.
Dalam beberapa
suratnya, Paulus seringkali menggunakan kata “Yesus Kristus” atau pun “Kristus
Yesus”. Banyak para ahli yang berpendapat bahwa Paulus mengadopsi tradisi-tradisi
iman Gereja purba. Namun, tampaknya seperti para pengarang Injil lainnya,
Paulus tidak meneruskan bahan tradisi begitu saja. Agaknya Paulus mewartakan
Injil dengan segala kepandaian yang ada padanya, baik yang diterima dari
pendidikan Yunani di Tarsus mau pun dari teologi yang dipelajarinya di Gamaliel
di Yerusalem. Dalam surat-suratnya, memang tidak terlalu jelas bagaimanakah
penghayatan iman Paulus akan “Yesus Kristus” atau “Kristus Yesus”. Namun, hal
itu akan terlihat jelas dalam soteriologinya dan kyriologinya.[12]
2. Soteriologi Paulus
Soteriologi
adalah doktrin tentang keselamatan. Ketika kita membicarakan antropologi – di
dalam teologi – maka kita akan meihat bahwa setiap orang mempunyai pembawaan
yang bejat sama sekali, bersalah di hadapan Allah, dan hidup di bawah hukuman
mati. Soteriologi membahas penganugerahan keselamatan melalui Kristus serta
penerapan keselamatan itu melalui Roh Kudus.[13]
Dalam tulisan
Paulus, “soteriologi” lebih umum. Hal ini tidak berarti bahwa soteriologi
selalu berbicara mengenai tindakan Allah. Perbedaan pokok dengan “kyriologi”,
bahwa soteriologi menyebut fakta. Misalnya dalam I Kor 15: 3-5, subjeknya
adalah Kristus, tetapi dibicarakan fakta: wafat, dimakamkan, terbangkitkan, dan
tampak.[14]
Keselamatan
menurut Perjanjian Baru didasarkan pada salib dan kebangkitan Kristus.
Kedua-duanya bagi Paulus merupakan pokok yang sangat penting. Kedua peristiwa
tersebut saling menginterpretasikan dan tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Kebangkitan
Kristus tentu mengandaikan wafat-Nya. Tidak akan ada “kebangkitan”, jika tidak
ada “kematian” – dalam hal ini adalah peristiwa salib – yang mendahuluinya. Dalam
I Kor 15: 3-5, Paulus tidak hanya berbicara mengenai kebangkitan saja,
melainkan juga wafat Kristus. Berdasarkan hal tersebut, maka Paulus tidak
menganggap salah satu – kebangkitan atau kematian – adalah suatu peristiwa yang
maknanya terpisah, namun keduanya saling terkait di dalam proses penyelamatan
yang dilakukan oleh Allah melalui Yesus.
Intisari soteriologi
Paulus adalah kesatuan manusia dengan Allah dalam Kristus. Solidaritas Kristus
dan manusia adalah unsur pokok dalam kesatuan itu.[15]
Kesatuan relasi inilah yang dipahami oleh Paulus sebagai buah karya keselamatan
Allah.[16]
Proses penyelamatan itu sendiri dirumuskan oleh Paulus terutama dengan
mempergunakan tiga metaphor, yaitu perdamaian, penebusan, dan pembenaran.
a.
Perdamaian
Pada umumnya diakui bahwa secara
teologis, penggunaan istilah “rekonsiliasi” (perdamaian), merupakan pemakaian
khas rasul Paulus. Memang di dalam Mat. 5:24 dapat kita temukan istilah diallasso
(mendamaikan) yang dipakai dalam arti yang sama dengan kata katallasso
(mendamaikan), namun kata kerja katallasso dengan kata bendanya katallage
dipakai hanya di dalam tulisan-tulisan Paulus. Di sini kata kerja katallasso
digunakan sebanyak enam kali yaitu di dalam Roma 5:10; 1 Kor. 7:11
(semuanya dalam arti sekuler); 2 Kor. 5:18, 19, 20. Kata benda katallage
dipakai sebanyak empat kali yaitu di dalam Roma 5:11; 11:15; 2 Kor. 5:18, 19.
Di samping itu rasul Paulus juga menggunakan kata kerja apokatallasso sebanyak
tiga kali, yaitu di dalam Ef. 2: 16; Kol. 1:20, 22. Terbatasnya penggunaan
istilah ini telah menimbulkan keragu-raguan akan signifikansi teologis dari
penggunaan istilah tersebut, demikian pula bobot penggunaannya di seluruh
teologia rasul Paulus. Karena itu sering dikatakan bahwa pokok masalah
rekonsiliasi itu sebenarnya tidak memegang peranan penting di dalam keseluruhan
teologi rasul Paulus. Diduga bahwa satu-satunya alasan mengapa rasul Paulus
menggunakan konsep rekonsiliasi ini adalah agar rasul Paulus dapat mempertajam
dan menggaris bawahi konsepnya tentang pembenaran. Walaupun demikian, berbeda
dengan pendapat ini, banyak pula penafsir yang sependapat apabila dikatakan
bahwa betapapun istilah perdamaian itu sendiri dipakai hanya dalam jumlah yang
terbatas di dalam tulisan-tulisan rasul Paulus, namun pemakaiannya memegang
peranan yang sangat menentukan, dan memiliki makna yang begitu penting di dalam
keseluruhan teologi rasul Paulus.
Untuk membahas
pokok masalah ini baik kiranya apabila kita memperhatikan lebih dahulu 2 Kor.
5: 18-21[17]
di mana dalam ayat 18 rasul Paulus berkata: “ta.
de. pa,nta evk tou/ qeou/ tou/ katalla,xantoj h`ma/j e`autw/| (dan semuanya
ini berasal dari Allah yang telah mendamaikan kita dengan DiriNya). Jelas bahwa
kata “semua” (pa,nta) di dalam ayat ini menunjuk
kepada apa yang telah disebutkan sebelumnya di dalam ayat 17, yaitu: “ciptaan
baru”, yang dengan itu orang-orang percaya memperoleh dan mengalami hidup baru
di dalam Kristus. Kondisi kehidupan seperti ini jelas tidak dapat dipisahkan
dari tindakan pendamaian Allah. Kata depan evk
(berasal dari) merupakan kata penentu dalam hal mencari jawab tentang inisiatif
dilakukannya pendamaian. Kata itu sendiri dapat mempunyai arti yang
bermacam-macam, tergantung pada konteksnya. Dalam konteks ini, beralasan
kiranya kalau kita memahaminya sebagai kata yang menunjuk kepada asal usul atau
sumber yang dari padanya sesuatu berasal. Dengan demikian sumber atau asal usul
perdamaian, yang mendatangkan hidup baru di dalam Kristus adalah Allah sendiri.
Pengertian seperti ini diperkuat oleh kenyataan bahwa Paulus menggunakan kata
kerja aktif, dengan Allah sebagai subyeknya. Di dalam surat-surat Paulus yang
lain, bentuk aktif dari kata kerja ini tidak pernah dipakai dengan menjadikan
Allah sebagai obyeknya. Demikian juga bentuk pasifnya tidak pernah digunakan
dengan menjadikan Allah sebagai subyeknya. Ini, sekali lagi, menunjukkan bahwa
Allahlah yang mengambil langkah pertama mengakiri permusuhan antara manusia
dengan Dirinya, dan memungkinkan manusia menikmati persekutuan yang benar
dengan Allah.
Inisiatif Allah
dalam mendamaikan dunia diikuti oleh tindakan konkret, kalau tidak, maka itu
akan sia-sia saja. Hal ini dijelaskan oleh rasul Paulus dalam satu ungkapan “…yang
melalui Kristus…” (2 Kor. 5: 18). Kemudian, diulangi lagi di dalam ayat 19 (…yaitu
Allah di dalam Kristus…), yang dengan maksud untuk semakin memperjelas apa yang
ia maksudkan. Oleh sebab itu baik kiranya apabila kita mulai dengan ayat 19: w`j
o[ti qeo.j h=n evn Cristw/|
(“yaitu Allah di dalam Kristus”).
Dengan
mengatakan bahwa “Allah ada di dalam Kristus, mendamaikan dunia dengan Diri-Nya”,
tidak berarti bahwa rasul Paulus ingin menekankan fakta inkarnasi lebih
dibanding dengan pekerjaan pendamaian itu sendiri. Tetapi sebaliknya ia ingin
menunjukkan secara lebih jelas apa yang ia maksudkan dengan Allah mendamaikan
dunia “melalui Kristus”. Kristus dipahami tidak semata-mata hanya sebagai
sarana yang melalui-Nya Allah merealisasikan pekerjaan pendamaianNya, tetapi Ia
dipahami sebagai Allah sendiri. Dalam hubungan ini bentuk imperfek en
dipakai untuk menekankan tindakan Allah menyatakan Diri di dalam manusia Yesus
untuk merealisasikan pekerjaan pendamaianNya. Sebagai rekonsiliator, Kristus
datang untuk mengakiri perseteruan antara manusia dan Allah ini agar pada
akhirnya mereka kembali berada dalam hubungan yang harmonis, hubungan yang
damai. Secara konkret, pekerjaan Kristus selaku rekonsiliator digenapi melalui
pengorbanan-Nya mati di kayu salib. Menurut Tom Jacobs, wafat Kristus – bagi
Paulus – berarti pertemuan Allah dengan manusia berdosa. Khususnya rahmat untuk
orang berdosa ditonjolkan dalam paham perdamaian.[18]
b.
Pembenaran
Pembenaran
merupakan istilah yang berhubungan dengan pengadilan, namun istilah tersebut
tidak dapat diterangkan seluruhnya dari dunia pengadilan. Khususnya “kebenaran
Allah” adalah istilah yang berhubungan dengan perjanjian.[19]
Pembenaran dapat
dijelaskan sebagai tindakan Allah yang menyatakan benar bagi orang yang percaya
kepada Kristus. Pokok gagasan pembenaran ialah pernyataan Allah, hakim yang
adil, bahwa orang yang percaya kepada Kristus, sekalipun penuh dengan dosa,
dinyatakan benar – dipandang benar, karena di dalam Kristus orang tersebut
telah memasuki suatu hubungan yang benar dengan Allah. Pembenaran merupakan
suatu tindakan deklaratif. Pembenaran bukanlah sesuatu yang dikerjakan oleh
manusia, tetapi sesuatu yang dinyatakan tenatang manusia. Pembenaran tidak
menjadikan seseorang benar, tetapi hanya menyatakan dia benar. Pembenaran ini
pun mencakup (a) penghapusan hukuman, (b) pemulihan hubungan baik, dan (c)
penghitungan kebenaran. Pembenaran berarti menempatkan seseorang sebagai yang
benar di depan hukum yang berlaku, maka orang berdosa tidak hanya menerima
pengampunan atas dosa-dosanya yang telah lalu, tetapi ia juga menerima
kebenaran yang positif sebelum ia dapat bersekutu kembali dengan Allah.[20]
Dalam II Kor 5:
19b, Paulus mengatakan “mh.
logizo,menoj auvtoi/j ta. paraptw,mata auvtw/n”
(dengan tidak memperhitungkan pelanggaran-pelanggaran mereka). Dalam situasi
tertentu kata paraptw,mata digunakan untuk
menunjukkan suatu pelanggaran yang tidak seberat a`marti,a| (contoh Gal. 6: 1). Tetapi dalam
konteks ini kata paraptw,mata nampaknya
dipakai dalam arti yang sama dengan dosa (a`marti,a|), yang terwujud
secara nyata di dalam tindakan-tindakan konkret. Dengan demikian maka kata
tersebut menunjuk kepada hakekat hidup manusia yang adalah dosa. Jadi, dengan
pernyataan tersebut (“…dengan tidak memperhitungkan pelanggaran-pelanggaran
mereka…”), di satu pihak rasul Paulus ingin menunjukkan aktifitas Allah dalam
hal tidak memperhitungkan pelanggaran-pelanggaran manusia, dan di pihak lain ia
juga ingin melukiskan hakekat keberadaan manusia sebagai pendosa. Dosa, yang
telah terwujud secara nyata di dalam tindakan, dimengerti oleh Paulus sebagui
suatu kuasa yang memperbudak manusia, dan mengakibatkan manusia berdiri sebagai
seteru Allah. Di tempat lain di dalam surat-suratnya, rasul Paulus selalu
melukiskan keadaan manusia sebagai yang ada di dalam belenggu kuasa dosa yang
melawan Allah. Dosa inilah yang telah menjadi akar penyebab terjadinya
perseteruan antara manusia dengan Allah, dan sekaligus penghalang bagi manusia
untuk masuk ke dalam persekutuan yang benar dengan Allah. Sepanjang penghalang
bagi terciptanya persekutuan yang benar dengan Allah ini tidak dihilangkan,
maka tidak mungkin tercipta perdamaian, dan akibatnya manusia akan tetap
menjadi sasaran murka Allah. Tetapi secara mengesankan, perikope ini mengatakan
bahwa Allah tidak memperhitungkan pelanggaran-pelanggaran manusia. Jadi,
tindakan pendamaian Allah dinyatakan di dalam kenyataan bahwa walaupun secara
eksistensial manusia penuh dengan dosa dan berdiri di hadapan Allah sebagai
seteru-Nya, namun toh Allah tidak lagi memperhitungkan dosa-dosa mereka.
Tindakan semacam inilah yang dipahami oleh Paulus sebagai “pembenaran”, yaitu
Allah membenarkan manusia, sehingga dengan demikian mereka menjadi “benar”.
Manusia
dibenarkan, atau dinyatakan benar, karena solidaritas Kristus dengannya. Arti
kematian Kristus tidak terdapat dalam suatu nilai pengorbanan, melainkan dalam
pengungkapan hubungan pribadi dengan Bapa. Dalam wafat dan kebangkitan
terlaksana secara manusiawi kesatuan Kristus dengan Bapa. Dan oleh solidaritas
Kristus dengan manusia lain, maka semua mengambil bagian dalam proses
penyelamatan tersebut.[21]
c.
Penebusan
Pertanyaan
mendasar berkaitan dengan pokok masalah ini ialah bagaimana tindakan tidak
memperhitungkan pelanggaran-pelanggaran manusia itu dihubungkan dengan
peristiwa salib. Tidak dapat diragukan bahwa peristiwa salib itu sendiri
memegang peranan yang begitu penting di dalam keseluruhan teologi rasul Paulus.
Semua yang telah dilakukan di dalam kehidupan Yesus tidak seluruhnya dapat dipisahkan
dari peristiwa salib dan kubur yang kosong. Berdasarkan hal ini, maka kita
dapat mengatakan bahwa seluruh perjalanan hidup Kristus tersarikan di dalam
peristiwa salib (kematian dan kebangkitan), dan semua pernyataan yang lain
sebenarnya hanyalah menyatakan bahwa salib itu sendiri merupakan tindakan Allah.
Dalam metaphor
yang ketiga ini (penebusan), Paulus menggunakan konsep pemikiran Yahudi. Pokok
dari paham penebusan ini ialah bahwa orang lain mengambil alih nasib seseorang
yang tidak mampu atau tidak berdaya lagi. Dalam
Perjanjian Baru, Kristus memang tidak pernah disebut “penebus”, tetapi dalam I
Kor 1: 30 Paulus mengatakan bahwa Dia adalah “penebusan kita”. Kristus bukan
penebus, tetapi “uang tebusan”. Bagi Paulus, gagasan pokok dalam penebusan
adalah pembebasan, yaitu lepas dari kuasa maut. Akan tetapi, di sini pun
pandangan Paulus tetap mengacu pada solidaritas. Kristus telah menebus
(membeli) kita dari kutuk hukum Taurat dengan menjadi kutuk bagi kita. Paulus
memang memakai kata “membeli”, namun yang menjadi tekanan bukan pada jual-beli,
melainkan lebih kepada hasil pembelian tersebut, yaitu bahwa manusia memperoleh
kebebasannya kembali.[22]
Gagasan Paulus
mengenai “substitusi” ini dikuatkan di dalam II Kor 5: 21 dengan mengatakan ”demi
kita Allah telah menjadikan Dia dosa, walaupun Dia sendiri tidak mengenal dosa”.
Jelas bahwa tindakan Allah menjadikan Yesus berdosa dikerjakan agar dengan itu
Ia menjadikan kita benar di hadapanNya. Ini dapat terjadi hanya apabila
penyebab ketidak-benaran manusia, yaitu dosa, dihapuskan lebih dahulu sehingga
dengan demikian tidak akan ada lagi penghalang untuk menikmati hubungan yang
benar dengan Allah. Oleh sebab itu “menjadikan Yesus
berdosa” lebih tepat dimengerti sebagai suatu tindakan menghapuskan dosa
manusia dengan cara menanggung hukuman dosa melalui kematian di kayu salib. Kematian
Yesus yang tidak berdosa dianggap oleh Paulus sebagai suatu tindakan taat
kepada kehendak Bapa.[23]
Jelas bahwa Paulus juga ingin menekankan kasih Allah yang suci, karena
sementara manusia tidak mampu menanggung konsekwensi dosa, Ia telah mengirimkan
AnakNya untuk menanggung konsekwensi tersebut bagi manusia. Dengan kata lain,
kematian Kristus benar-benar merupakan tindakan mengakiri permusuhan yang
terjadi antara Allah dan manusia dengan cara menghapuskan dosa yang menjadi
penyebab permusuhan tersebut. Dengan melakukan ini Allah di dalam Kristus telah
membuka jalan menuju kepada rekonsiliasi. Manusia tidak akan menjadi
musuh Allah lagi hanya dengan cara memasuki jalan yang telah dibukakan sendiri
oleh Allah. Ini merupakan tindakan iman di mana manusia memberikan jawab ya
terhadap panggilan pendamaian Allah. Tanpa jawab ya ini, maka perdamaian tidak
pernah akan menjadi kenyataan di dalam kehidupan manusia dan dengan begitu
manusia akan tetap berada di dalam keterasingan dari Allah sebagai musuhNya.
Dalam arti yang demikian, maka pendamaian itu sebenarnya merupakan pekerjaan
penebusan yang datang dari Allah di dalam Yesus Kristus bagi dunia untuk
menghilangkan permusuhan yang ada antara manusia dengan Dirinya dan melakukan
pembaharuan untuk hidup damai. Berdasarkan uraian ini, maka dapat dipahami
mengapa kematian Kristus menjadi pusat dari pelayanan pendamaian Paulus.
3. Kristus sebagai Rekonsiliator
Dari konsep
soteriologi Paulus yang diuraikannya melalui tiga metaphor – perdamaian,
pembenaran, dan penebusan – maka terlihat bahwa Kristus yang dihayati oleh Paulus
adalah Kristus sebagai Rekonsiliator. Sebagai rekonsiliator, Kristus datang
untuk mengakiri perseteruan antara manusia dan Allah ini agar pada akhirnya
mereka kembali berada dalam hubungan yang harmonis, hubungan yang damai. Secara
konkret, pekerjaan Kristus selaku rekonsiliator digenapi melalui
pengorbanan-Nya mati di kayu salib. Yang menjadi permasalahan bagi kita
selanjutnya adalah: apakah pengorbanan Kristus – sebagai rekonsiliator – adalah
sebagai pemuas murka Allah? Ataukah sebagai kasih karunia Allah?
a.
Pengorbanan
Kristus – Pemuas Murka Allah
Terkait
dengan konsep peradilan dalam penebusan, maka penebusan menuntut adanya korban
di dalamnya. Paulus sendiri menyebutkan dalam Rom 3: 25-26, bahwa sangat perlu
Kristus dipersembahkan sebagai korban penebusan bagi dosa, supaya Allah adil
ketika mengadili orang berdosa. Hal ini mengandaikan adanya keadilan Allah yang
harus tetap dipertahankan. Ketidak berubahan yang mulia dan mutlak dari hukum
illahi, sebagai hal yang terkandung dalam natur yang paling mendasar dari
Allah, mengharuskan Ia menuntut pemuasan hukum dari orang berdosa. Pelanggaran
dari hukum mau tidak mau membawa hukuman. Menurut Berkhof, jika Allah mau
menyelamatkan orang berdosa, walau pun orang berdosa tidak dapat menggenapi
tuntutan hukum, Allah harus menyediakan pemuasan pengganti sebagai dasar dari
pembenaran orang berdosa. Kebenaran Allah menuntut bahwa hukuman harus dilaksanakan,
dan jika orang berdosa mau diselamatkan, maka harus dilaksanakan dalam hidup
seorang pengganti.[24]
Anselmus
(1033-1109), seorang Italia yang menjadi uskup besar di Canterbury,
mengemukakan pandangan Kristus sebagai
satisfactor.[25]
Anselmus mengandaikan adanya satu hukum yang telah ditetapkan oleh Allah
sendiri. Jika Allah tidak memberlakukan hukum tersebut, maka Allah akan
kehilangan ke-illahian-Nya. Oleh karena itu, jika manusia melanggar hukum
Allah, maka ia akan diberi ganjaran atau kompensasi pemuasan terhadap Allah.
Pendamaian memang adalah perbuatan Allah, namun hal itu dilaksanakan dari pihak
manusia, yaitu melalui Kristus. Anselmus mengandaikan manusia dengan Allah
mempunyai hubungan hukum yang belum putus. Dosa atau kesalahan manusia – dalam
konsep Anselmus – dimengerti sebagai perbuatan yang menghina atau merendahkan
kemuliaaan Allah. Oleh karena itu, Allah harus menghukum dan mengadili setiap
orang yang menghina kehormatan-Nya. Jika Allah mengampuni manusia tanpa
pengadilan dan hukuman, maka bisa dikatakan Allah akan kehilangan kemuliaan-Nya
atau pun kehormatan-Nya. Dalam perkembangannya, Anselmus mengemukan dua hal
yang menjadi pertimbangan. Pertama, Allah sebenarnya tidak mau menerapkan hukum
tersebut pada manusia karena akan menghancurkan manusia. Kedua, suatu korban
penghapusan dosa sebagai pemuasan tidak dapat dikerjakan oleh manusia sebab
manusia tidak sanggup. Berdasarkan hal ini, maka Yesus dipandang sebagai Allah
yang menjadi manusia, yang menjadikan diri-Nya sebagai pemuasan hukuman Allah,
demi pemulihan kehormatan Allah.
b.
Pengorbanan
Kristus – Kasih Karunia Allah
Menurut Yahya
Wijaya, kasih karunia adalah perbuatan kemurahan yang tiada taranya, yang Allah
lakukan untuk kita, sebab kasih karunia adalah pemberian kepada mereka yang
tidak patut diberi, penghargaaan kepada mereka yang tidak layak dihargai,
pembebasan kepada mereka yang patut dihukum, penyelamatan kepada mereka yang
pantas binasa. Kasih karunia itu telah nyata di dalam Yesus Kristus: dalam
kehidupan-Nya sejak kelahiran-Nya sampai pada kematian dan kebangkitan-Nya yang
menyelamatkan dunia yang berdosa ini. Di dalam Yesus Kristus, Allah membatalkan
kemarahan-Nya, untuk menyatakan kemurahan-Nya.[26]
Dalam iman
Kristen, bukan manusia yang memprakarsai pendamaian dengan Allah, tetapi Allah
sendiri. Pengorbanan juga dilakukan oleh Allah dengan menyerahkan Yesus
Kristus. Maka, hubungan baik dengan Allah tidak tergantung pada kesempurnaan
pihak manusia, tetapi semata-mata adalah kemurahan Allah sendiri. Allah
membebankan hukuman atas dosa-dosa kita ke pundak Yesus Kristus, sehingga tidak
ada lagi ganjalan dalam hubungan antara manusia dengan Dia.[27]
Abaelardus
(1079-1142), mengemukakan Allah sebagai
Maha Pengasih.[28]
Pandangan ini mau mengatakan bahwa murka Allah tidak harus diredakan, karena
Dia bukan pemarah melainkan pengasih. Tidak ada gunanya untuk “mendamaikan”
dengan Allah, karena Dia sendiri bersifat pendamai sejak mulanya. Pengajaran Abaelardus
menekankan Kasih Allah sebagai Bapa. Kematian Kristus di kayu salib dimengerti
sebagai pengorbanan diri seorang manusia yang ideal. Allah tidak perlu
didamaikan, melainkan Dia-lah yang mendamaikan.
Dua paham
menngenai pengorbanan diri Kristus seperti di atas memang pernah menjadi suatu
permasalahan dalam sejarah kekristenan, baik dari zaman Perjanjian Lama,
Perjanjian Baru, bahkan sampai sekarang. Lalu, bagaimana dengan pandangan Paulus
mengenai hal ini?
Dalam Rom. 3:
23-25, Paulus berkata:
(23) Karena semua orang telah
berbuat dosa dan telah kehilangan kemuliaan Allah, (24) dan oleh kasih karunia
telah dibenarkan dengan cuma-cuma karena penebusan dalam Kristus Yesus. (25)
Kristus Yesus telah ditentukan Allah menjadi jalan pendamaian karena iman,
dalam darah-Nya. Hal ini dibuat-Nya untuk menunjukkan keadilan-Nya, karena Ia
telah membiarkan dosa-dosa yang telah terjadi dahulu pada masa kesabaran-Nya.
Dari ayat
tersebut tampak bahwa pengorbanan Kristus adalah sebuah kasih karunia Allah. Di
dalam kasih karunia Allah itulah tampak keadilan Allah. Dengan demikian di satu
pihak “pembenaran” menunjuk kepada hakekat keberadaan manusia yang sebenarnya,
tidak hanya sebagai pendosa yang berada di dalam keadaan salah, tetapi juga
sebagai seteru Allah yang tidak dapat menghindarkan diri dari ancaman murka
Allah. Di pihak lain, dengan menggunakan istilah “pendamaian” Paulus melukiskan
makna efektifitas tindakan penyelamatan Allah yang benar di dalam Yesus
Kristus. Dengan kata lain, walau pun Paulus menganggap pendamaian
(rekonsiliasi) – di mana Kristus sebagai rekonsiliator – merupakan kasih Allah,
namun Paulus tidak serta merta membuang
konsep pengadilan Allah.
C.
PENUTUP
Kristologi
adalah suatu penghayatan seseorang akan Kristus. Dalam iman Kristen, Yesus-lah
yang diimani sebagai Kristus. Yang namanya penghayatan hidup, pastinya tidak
akan lepas dari konteks di mana orang itu berada. Sama seperti Paulus, di
tengah-tengah konflik, perseteruan, pertikaian, dll., Paulus menghayati Kristus
sebagai rekonsiliator. Dengan kata lain, Kristus adalah “alat” pendamaian Allah
dengan manusia, di mana Allah-lah yang mempunyai inisiatif pendamaian. Bisa
dikatakan Kristologi Paulus, yaitu Kristus sebagai rekonsiliator, sangat
kontekstual. Dalam artian, Kristologi Paulus berangkat dari konteks jemaat di
mana dia melakukan pelayanannya. Penghayatan terhadap Kristus – bagi Paulus –
bukanlah sekedar refleksi yang hanya ada dalam hati mau pun pikiran, namun juga
ada dalam pewartaannya akan Injil. Injil yang ia beritakan membawa pengharapan
pada orang-orang bahwa karya keselamatan Allah melalui Kristus membawa adanya
rekonsiliasi antara manusia dengan Allah. Dengan adanya karya penyelamatan,
maka manusia bisa menikmati hubungan yang damai dengan Allah, yang sebelumnya
telah rusak akibat dosa manusia. Penghayatan akan Kristus dalam hidup Paulus tidak
hanya tersimpan dalam dirinya sendiri, namun “dibagikan” kepada orang lain demi
adanya suatu “pencerahan”[29]
dalam masyarakat.
Bagaimana
dengan realita saat ini? Seringkali penghayatan kita akan Kristus adalah
Kristologi Dogmatik. Dalan artian, penghayatan kita akan Kritus adalah Kristus
yang sama dengan dogma gereja yang kita anut. Dogma memang berguna dalam
pembangunan dan pemeliharaan iman, namun dogma hendaklah dijadikan sebagai
“batu pijakan”, bukan pengikat. Ketika kita mencoba untuk menhayati Kristus
sesuai dengan konteks kita, seringkali hal itu malah menjadi batu sandungan
bagi kita dalam kehidupan bergerja. Tidak hanya itu saja, bahkan seringkali
juga mengalami benturan dengan dogma-dogma gereja. Dogma gereja kita pada
umumnya lahir dari rumusan-rumusan Bapa-bapa gereja di masa lampau. Padahal,
rumusan-rumusan tersebut berangkat dari konteks (atau juga permasalahan) saat
itu, sehingga agaknya kurang tepat jika kita membawanya “sama persis” ke dalam
konteks saat ini. Sama seperti Paulus, di mana kristologinya berangkat dari
konteks pelayanannya, maka kita pun seyogyanya bisa menghayati Kristus dalam
atau berangkat dari konteks kita?
DAFTAR
PUSTAKA
1.
Becker,
D., Pedoman
dogmatika; Suatu Kompendium Singkat (Jakarta: Gunung Mulia. 2000).
2.
Berkhof,
Louis, Teologi Sistematika Seri 3; Doktrin kristus (Jakarta:
Lembaga Reformed Injili Indonesia. 1996).
3.
Catatan
perkuliahan Kristologi, 2009
4.
Groenen,
C., Sejarah
Dogma Kristologi (Yogyakarta: Kanisius. 2005).
5.
Jacobs,
Tom,
Siapa Yesus Kristus Menurut Perjanjian Baru (Yogyakarta: Kanisius.
1990).
6.
Jacobs,
Tom, Imanuel;
Perubahan dalam Perumusan Iman akan Yesus Kristus (Yogyakarta:
Kanisius. 1999).
7.
Ladd,
G.E., A Theology of the New Testament (Grand Rapids: Eerdmans,
1974).
8.
Marxsen,
Willi, Pengantar Perjanjian Baru; Pendekatan Kritis terhadap
Masalah-masalahnya (Jakarta: BPK Gunung Mulia. 2005),
9.
Prat,
Fernand, The Theology of St. Paul (Westminster: The Newman
Bookshop. 1958)
10. Thiesen, Henry
C., Teologi
Sistematika (Malang: Gandum Mas. 1993).
11. Wijaya, Yahya, Kemarahan,
Keramahan, dan Kemurahan Allah (Jakarta: Gunung Mulia. 2008).
[1] Louis Berkhof, Teologi
Sistematika Seri 3; Doktrin kristus (Jakarta: Lembaga Reformed
Injili Indonesia. 1996). Hlm. 7-8
[2] Dalam bukunya
yang berjudul Pengantar Perjanjian Baru; Pendekatan Kritis terhadap
Masalah-masalahnya (Jakarta: BPK Gunung Mulia. 2005), Willi Marxsen
mendata ada delapan kitab yang ditulis oleh rasul Paulus. Di antaranya adalah 1
& 2 Tesalonika, Galatia, Filipi, Filemon, 1 & 2 Korintus, dan Roma.
Sementara itu, Kolose, Efesus, Ibrani, 1 & 2 Timotius, dan Titus dimasukkan
dalam kategori surat-surat pseudo Paulus.
[3] Tom Jacobs, Siapa
Yesus Kristus Menurut Perjanjian Baru (Yogyakarta: Kanisius. 1990).
Hlm. 49
[4] Catatan
perkuliahan Kristologi. 2009.
[5] Louis Berkhof, Teologi
Sistematika Seri 3; Doktrin Kristus (Jakarta: Lembaga Reformed
Injili Indonesia. 1996). Hlm. 24
[6] C. Groenen, Sejarah
Dogma kristologi (Yogyakarta: Kanisius. 2005). Hlm. 14
[7] Louis Berkhof, Teologi
Sistematika Seri 3; Doktrin kristus (Jakarta: Lembaga Reformed
Injili Indonesia. 1996). Hlm. 25
[8] Penyebutan
“Yesus Kristus” ini seringkali kita jumpai dalam rumusan doa “…dalam nama Tuhan
Yesus Kristus…”, atau juga menyebut “Kristus” tetapi arahanya pribadi Yesus.
[9] Tom Jacobs, Siapa
Yesus Kristus Menurut Perjanjian Baru (Yogyakarta: Kanisius. 1990).
Hlm. 42
[10] Kristus
mengosongkan diri-Nya di dalam peristiwa kematian-Nya (jalan penderitaan),
sehingga ia mendapatkan kemulian-Nya melalui peristiwa kebangkitan-Nya. Hal ini
dapat kita lihat dalam Kyriologi Paulus sepeti yang diungkapkan Tom Jacobs
dalam Siapa Yesus Kristus Menurut Perjanjian Baru, hlm. 66.
[11] G.E. Ladd, A
Theology of the New Testament (Grand Rapids: Eerdmans, 1974). Hlm.
409.
[12] Terkait dengan
pembahasan masalah dalam paper ini, maka saya hanya fokus pada soteriologi
Paulus saja.
[13] Henry C.
Thiesen, Teologi Sistematika (Malang: Gandum Mas. 1993). Hlm. 301
[14] Tom Jacobs, Imanuel;
Perubahan dalam Perumusan Iman akan Yesus Kristus (Yogyakarta:
Kanisius. 1999). Hlm. 110
[15] Tom Jacobs, Siapa
Yesus Kristus Menurut Perjanjian Baru (Yogyakarta: Kanisius. 1990).
Hlm. 54
[16] Pada umumnya,
teologi Rasul Paulus disebut juga sebagai teologi perdamaian.
[17] Saya mengambil
contoh teks dari II Kor 5: 18-21, karena dalam perikope ini rasul Paulus secara
jelas dan agak panjang berbicara mengenai pokok masalah rekonsiliasi.
[18] Tom Jacobs, Siapa
Yesus Kristus Menurut Perjanjian Baru (Yogyakarta: Kanisius. 1990).
Hlm. 55
[19] Ibid.
Hlm. 57
[20] Henry C.
Thiesen, Teologi Sistematika (Malang: Gandum Mas. 1993). Hlm.
421-423
[21] Tom Jacobs, Siapa
Yesus Kristus Menurut Perjanjian Baru (Yogyakarta: Kanisius. 1990).
Hlm. 65
[22] Ibid.
Hlm. 55-56
[23] Ibid.
Hlm. 57
[24] Louis Berkhof, Teologi
Sistematika Seri 3; Doktrin Kristus (Jakarta: Lembaga Reformed
Injili Indonesia. 1996). Hlm. 154-155
[25] Lih. D. Becker, Pedoman
Dogmatika; Suatu Kompendium Singkat (Jakarta: Gunung Mulia. 2000).
Hlm. 129-130 bandingkan juga dengan L. Berkhof, Teologi Sistematika Seri 3;
Doktrin Kristus, 1996. Hlm. 190-192
[26] Yahya Wijaya, Kemarahan,
Keramahan, dan Kemurahan Allah (Jakarta: Gunung Mulia. 2008). Hlm.
3
[27] Ibid.
Hlm. 32
[28] D. Becker, Pedoman
Dogmatika; Suatu Kompendium Singkat (Jakarta: Gunung Mulia. 2000).
Hlm. 130-131
[29] Misalnya,
konteks masyarakat tempat pelayanan Paulus adalah penuh dengan pertikaian, maka
Kristologi hendaklah mampu membawa pencerahan – dalam hal ini adalah damai
sejahtera, bagi masyarakat di tempat tersebut.
sngat memberkati,,tahnksss ya,,,luar biasa...Tuhan berkati
BalasHapusLike
BalasHapus