Kamis, 27 Desember 2012

Kristologi Rasul Paulus



A.    PENDAHULUAN
Kristologi adalah ilmu tentang Kristus. Sebagaimana yang dipahami oleh orang-orang Kristen pada umumnya, Kristus adalah Allah yang mewujudkan diriNya dalam bentuk seorang manusia. Walau pun Kristus adalah sosok yang illahi, namun keberadaanNya – dulu – dan paham mengenai diriNya – sampai sekarang – sangat terkait dengan manusia ‘biasa’. Hal ini dikarenakan adanya ‘penghayatan iman’ seseorang akan sosok yang diyakininya sebagai Kristus.
Doktrin manusia dan doktrin Kristus memiliki kaitan yang sangat erat. Doktrin manusia membahas mengenai manusia yang diciptakan menurut gambar Allah dan dibekali dengan pengetahuan yang benar, kebenaran, dan kesucian. Namun karena sengaja melanggar hukum Allah, manusia kehilangan kemanusiaannya yang sesungguhnya, dan berubah menjadi seorang yang berdosa. Pemahaman seperti ini menekankan jarak etis antara Allah dengan manusia, jarak yang dihasilkan dari kejatuhan manusia, yang tak mungkin terjembatani oleh manusia atau pun malaikat. Dengan demikian, yang ada hanyalah tangisan keras yang membutuhkan pertolongan illahi. Kristologi adalah bagian dari jawaban atas tangisan tersebut. Kristologi memperkenalkan kita kepada karya Allah yang objektif untuk menjembatani jarak pemisah yang ada. Kristologi menunjukkan kepada kita bagaimana Allah datang kepada manusia untuk menyingkirkan penghalang antara Allah dengan manusia, dengan cara memenuhi syarat-syarat hukum di dalam Kristus, dan memperbaharui manusia agar dapat kembali persekutuan dengan Tuhan dalam keadaan penuh berkat.[1]
Kata kunci dalam pembicaraan Kristologi adalah ‘penghayatan iman’. Berdasarkan hal ini, maka kita bisa menarik sebuah pernyataan bahwa makna/arti Kristus bagi masing-masing orang bisa saja berbeda satu sama lainnya, tergantung bagaimana orang tersebut menghayati Kristus dalam kehidupannya. Dalam paper ini, saya akan mencoba membahas Kristologi dalam Soteriologi Rasul Paulus. Soteriologi sebenarnya sulit dipisahkan dengan Kyriologi, namun agar pembahasan tidak terlalu meluas maka saya akan memfokuskan pada soteriologi-nya saja. Mengingat surat-surat rasul Paulus merupakan surat-surat kekristenan yang paling awal dibandingkan dengan tulisan-tulisan kitab Perjanjian Baru lainnya, maka dapat dikatakan pula bahwa pada masa-masa awal perkembangan kekristenan sebutan Kristus telah begitu cepatnya menjadi sebutan utama untuk menyebut Yesus, sehingga dari sini kita menemukan sebutan Yesus Kristus. Yang menjadi pertanyaan bagi kita selanjutnya adalah: Kristus seperti apakah yang dipahami/dihayati oleh Rasul Paulus dalam soteriologinya? Dan, bagaimana kaitannya dengan Yesus – yang diyakininya sebagai Kristus?



B.     KRISTOLOGI RASUL PAULUS
Paulus merupakan seorang tokoh Alkitab yang mempunyai peranan cukup penting dalam sejarah kekristenan. Tulisan-tulisan (surat-surat) Paulus bisa dikatakan ‘mendominasi’ Alkitab Perjanjian Baru. Setidaknya ada 8 (delapan) surat yang ditulis oleh Paulus sendiri.[2] Dari jumlah surat tersebut, terlihat bahwa sumbangsih Paulus dalam kepengarangan atau sejarah kekristenan (dalam bentuk tulisan) sangat besar, jika dibandingkan dengan para penulis kitab-kitab Perjanjian Baru (PB) yang lainnya – yang hanya 1-2 kitab saja. Tidak hanya ‘mendominasi’ saja, namun surat-surat yang ditulis oleh Paulus kepenulisannya ‘lebih awal’ jika dibandingkan keempat Injil yang notabenenya berbicara mengenai Yesus. Oleh karena itu, bisa dikatakan teologi Paulus sangat berpengaruh dalam perkembangan kekristenan pada saat itu. Walau pun Paulus membahas dan merefleksikan banyak persoalan, namun yang pokok adalah kristologinya (teologi mengenai Yesus yang diimani sebagai Kristus). Intisari teologi Paulus adalah kristologinya.[3] Yang menjadi pertanyaan bagi kita adalah: Apakah – bagi Paulus – Yesus adalah Kristus?

1.      Yesus adalah Kristus – menurut Paulus
Kristologi mempelajari sentral iman Kristen yaitu Yesus dalam bingkai pengakuan iman yang menghasilkan ucapan “Kristus”. Kristologi berbeda dengan Yesuologi yang mempelajari tokoh Yesus dalam keberadaannya sebagai manusia belaka (kristologi – kristus ; yesuologi - yesus). Oleh karena itu, Kristologi sekaligus mencakup Yesuologi.[4] Dalam perkembangannya, kristologi seringkali disama-artikan dengan yesuologi. Hal ini terlihat dalam istilah “Yesus Kristus”. Jika “Yesus” merupakan sebuah nama diri, maka nama “Kristus” adalah nama jabatan. Nama Kristus itu sendiri merupakan bentuk yang setara dengan nama Maschiach yang dipakai dalam Perjanjian Lama (diambil dari kata mashach, yang artinya “mengurapi”), dengan demikian nama ini berarti “Yang diurapi”.[5]
Menurut Groenen, bila dalam kristologinya umat Kristen bergumul dengan Yesus Kristus, maka apa yang sebenarnya digumuli ialah: relevansi Yesus Kristus bagi manusia sepanjang sejarah, mana makna dan arti tokoh itu bagi manusia. Seseorang, termasuk Yesus Kristus, hanya menjadi relevan, berarti dan bermakna, bila menentukan eksistensi, keberadaan manusia, ialah diri manusia dalam perwujudan dirinya; bila tokoh itu memberi arah dan tujuan kepada eksistensi itu atau menjadi pendorong dan perangsangnya. Itulah sebabnya mengapa diri Yesus tidak dapat dipisahkan dari karya-Nya, dari penampilan-Nya, dan keterlibatan-Nya di dunia.[6]
Terkait dengan arti kata “Kristus” yang adalah “Yang diurapi” – di mana nama jabatan itu dikenakan pada diri Yesus, maka pengenaan ‘jabatan’ tersebut juga tidak terlepas dari penghayatan atas sejarah kehidupan Yesus selaku “Yang diurapi” oleh Allah. Penghayatan ini didasarkan atas peristiwa baptisan Yesus.
Menurut Berkhof, Kristus ditetapkan untuk diurapi menerima jabatan-Nya sejak kekekalan, akan tetapi secara historis pengurapan-Nya terjadi ketika Ia diteguhkan dalam baptisan (lih. Mat 3: 16; Mrk 1: 10; Luk 3: 22; Yoh 1: 32; 3: 34). Pengurapan itu berlaku untuk memberikan kualifikasi bagi Yesus untuk melaksanakan tugas-Nya yang maha besar. Nama “Kristus” pertama kali dipakai untuk menunjuk Tuhan kita dalam bentuk kata benda dengan kata sandang, tetapi lama-kelamaan dipakai sebagai nama diri dan tanpa kata sandang.[7] Hal ini berarti bahwa diri Yesus – dalam perkembangannya – diyakini yang adalah Kristus.[8] Lalu, bagaimana dengan Paulus? Apakah Paulus juga meyakini Yesus adalah Kristus, sama seperti dengan keyakinan orang-orang Kristen pada umumnya seperti saat ini?
Di kalangan umat yang berasal dari bangsa Yahudi asli, Yesus dihormati dengan mengakui-Nya sebagai “Kristus”. Namun demikian, tidak ada bukti bahwa pernah dipakai semacam homologi “Kristuslah Yesus”. Akan tetapi, suatu pengakuan yang serupa dengan itu pasti pernah ada. Dalam Kis 2: 36, disebut secara bersamaan: “Allah membuat Yesus menjadi Tuhan dan Kristus”. Dan ternyata nama “Yesus Kristus” menjadi nama yang paling biasa bagi Yesus dalam Perjanjian Baru. Bahkan seringkali dipakai nama “Kristus” ganti “Yesus”. Padahal, kata “Kristus” bukanlah nama diri, melainkan gelar untuk raja (Yahudi). Jadi, kalau Yesus disebut “Kristus”, maka jelaslah bahwa Ia pernah diakui sebagai “Kristus” atau sebagai raja orang Yahudi.[9]
Dengan kata lain Yesus adalah Kristus. Lalu, bagaimana Yesus “mendapatkan” ke-Kristusan-Nya? Jika kita melihat garis besar iman jemaat zaman Perjanjian Baru, maka ke-Kristus-an Yesus tidak dapat dilepaskan dari penderitaan dan kematian-Nya di kayu salib, dan pada akhirnya pun tidak dapat dilepaskan dari kebangkitan Yesus dari antara orang mati. Bahkan dapat dikatakan bahwa sebutan Kristus akhirnya dikenakan kepada Yesus terutama karena karya-Nya di dalam penderitaan, disalibkan, mati dan dikuburkan serta bangkit dari antara orang mati.[10] Kematian dan kebangkitan Yesuslah yang telah menjadi kunci untuk memahami Yesus selaku Kristus. Dengan demikian makna “Yang diurapi” bagi Yesus berarti diurapi untuk suatu misi illahi, yakni melaksanakan karya penyelamatan Allah yang harus ditempuh dengan menjalani penderitaan salib, namun dibangkitkan dari antara orang mati. Tradisi iman seperti inilah yang ada pada zaman Perjanjian Baru.
Sentralitas pengorbanan Yesus di kayu salib sebagai yang memberikan pemaknaan baru pada ke-Messiasan Yesus juga nampak begitu menonjol di dalam tulisan-tulisan rasul Paulus. Perbedaannya ialah bahwa betapa pun rasul Paulus banyak menggunakan sebutan Kristus di dalam tulisan-tulisannya seperti telah disebutkan sebelumnya, namun di dalam tulisan-tulisannya sebutan Kristus tidak lagi dipakainya sebagai yang menunjuk kepada ke-Messiasan Yesus. Sebutan Kristus di dalam tulisan-tulisan Paulus berfungsi terutama sebagai nama diri tanpa harus merujuk pada konsep Messianis sebagaimana masyarakat Yahudi memahaminya demikian ataupun sebagaimana masyarakat Kristen awal mempercayainya demikian. Kemungkinan besar perubahan penggunaan istilah Kristus yang merujuk ke-Messiasan Yesus menjadi nama diri kemungkinan besar disebabkan karena konteks masyarakat di mana rasul Paulus melayaninya, yakni konteks masyarakat Yunani yang merasa asing atau bahkan tidak mengerti sama sekali mengenai Messias.[11]  Namun, perubahan makna penggunaan istilah Kristus ini sama sekali tidak berarti bahwa rasul Paulus tidak percaya kepada Yesus selaku Messias. Kenyataan yang tidak dapat disangkal oleh Paulus ialah bahwa ia bertobat dan percaya kepada Yesus justru karena ia percaya bahwa Dia-lah Messias. Namun bagi rasul Paulus, Messias yang ia percayai itu kini adalah “sosok” yang mempunyai kedudukan sebagai Tuhan di dalam kemuliaan. Kepercayaan Paulus kepada Yesus selaku Messias ini tersirat di dalam beberapa pernyataannya, misalnya di dalam Roma 9: 5 yang menyebutkan bahwa kehadiran Yesus selaku Messias tetap berada dalam jalinan perjanjian Allah dengan umat Israel; Roma 1: 2 yang berbicara mengenai Injil Yesus Kristus selaku Messias yang datang menggenapkan janji-janji Allah kepada para nabi; 1 Kor. 15: 3 yang menyebutkan bahwa misi Yesus telah diselesaikan-Nya sesuai dengan Kitab Suci; 2 Tim. 4: 1 yang menyebutkan bahwa Ia akan datang lagi untuk menghakimi orang yang hidup dan mati (2 Tes. 1: 5). Dengan demikian kepercayaan Paulus terhadap Yesus selaku Messias telah mengalami perubahan yang signifikan. Ia tidak lagi memahami kemessiasan Yesus dalam terang raja duniawi yang memerintah di singgasana kerajaan penuh dengan dimuliakan, melainkan sebagai Tuhan yang telah bangkit dari antara orang mati. Messias telah memerintah di dalam kemuliaan, duduk di sebalah kanan Allah dan memerintah sebagai seorang raja (Roma 8: 34; Kol. 3: 1; 1 Kor. 15: 25). Bagi Paulus, Ia yang telah menderita sengsara, mati di kayu salib, dibangkitkan, dan naik ke surga duduk di sebelah kanan Allah untuk memerintah sebagai raja tidak lain dan tidak bukan juga adalah Yesus yang pernah ada di dalam dunia ini selaku Yesus dari Nazareth.
Dalam beberapa suratnya, Paulus seringkali menggunakan kata “Yesus Kristus” atau pun “Kristus Yesus”. Banyak para ahli yang berpendapat bahwa Paulus mengadopsi tradisi-tradisi iman Gereja purba. Namun, tampaknya seperti para pengarang Injil lainnya, Paulus tidak meneruskan bahan tradisi begitu saja. Agaknya Paulus mewartakan Injil dengan segala kepandaian yang ada padanya, baik yang diterima dari pendidikan Yunani di Tarsus mau pun dari teologi yang dipelajarinya di Gamaliel di Yerusalem. Dalam surat-suratnya, memang tidak terlalu jelas bagaimanakah penghayatan iman Paulus akan “Yesus Kristus” atau “Kristus Yesus”. Namun, hal itu akan terlihat jelas dalam soteriologinya dan kyriologinya.[12]

2.      Soteriologi Paulus
Soteriologi adalah doktrin tentang keselamatan. Ketika kita membicarakan antropologi – di dalam teologi – maka kita akan meihat bahwa setiap orang mempunyai pembawaan yang bejat sama sekali, bersalah di hadapan Allah, dan hidup di bawah hukuman mati. Soteriologi membahas penganugerahan keselamatan melalui Kristus serta penerapan keselamatan itu melalui Roh Kudus.[13]
Dalam tulisan Paulus, “soteriologi” lebih umum. Hal ini tidak berarti bahwa soteriologi selalu berbicara mengenai tindakan Allah. Perbedaan pokok dengan “kyriologi”, bahwa soteriologi menyebut fakta. Misalnya dalam I Kor 15: 3-5, subjeknya adalah Kristus, tetapi dibicarakan fakta: wafat, dimakamkan, terbangkitkan, dan tampak.[14]
Keselamatan menurut Perjanjian Baru didasarkan pada salib dan kebangkitan Kristus. Kedua-duanya bagi Paulus merupakan pokok yang sangat penting. Kedua peristiwa tersebut saling menginterpretasikan dan tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Kebangkitan Kristus tentu mengandaikan wafat-Nya. Tidak akan ada “kebangkitan”, jika tidak ada “kematian” – dalam hal ini adalah peristiwa salib – yang mendahuluinya. Dalam I Kor 15: 3-5, Paulus tidak hanya berbicara mengenai kebangkitan saja, melainkan juga wafat Kristus. Berdasarkan hal tersebut, maka Paulus tidak menganggap salah satu – kebangkitan atau kematian – adalah suatu peristiwa yang maknanya terpisah, namun keduanya saling terkait di dalam proses penyelamatan yang dilakukan oleh Allah melalui Yesus.
Intisari soteriologi Paulus adalah kesatuan manusia dengan Allah dalam Kristus. Solidaritas Kristus dan manusia adalah unsur pokok dalam kesatuan itu.[15] Kesatuan relasi inilah yang dipahami oleh Paulus sebagai buah karya keselamatan Allah.[16] Proses penyelamatan itu sendiri dirumuskan oleh Paulus terutama dengan mempergunakan tiga metaphor, yaitu perdamaian, penebusan, dan pembenaran.

a.      Perdamaian
Pada umumnya diakui bahwa secara teologis, penggunaan istilah “rekonsiliasi” (perdamaian), merupakan pemakaian khas rasul Paulus. Memang di dalam Mat. 5:24 dapat kita temukan istilah diallasso (mendamaikan) yang dipakai dalam arti yang sama dengan kata katallasso (mendamaikan), namun kata kerja katallasso dengan kata bendanya katallage dipakai hanya di dalam tulisan-tulisan Paulus. Di sini kata kerja katallasso digunakan sebanyak enam kali yaitu di dalam Roma 5:10; 1 Kor. 7:11 (semuanya dalam arti sekuler); 2 Kor. 5:18, 19, 20. Kata benda katallage dipakai sebanyak empat kali yaitu di dalam Roma 5:11; 11:15; 2 Kor. 5:18, 19. Di samping itu rasul Paulus juga menggunakan kata kerja apokatallasso sebanyak tiga kali, yaitu di dalam Ef. 2: 16; Kol. 1:20, 22. Terbatasnya penggunaan istilah ini telah menimbulkan keragu-raguan akan signifikansi teologis dari penggunaan istilah tersebut, demikian pula bobot penggunaannya di seluruh teologia rasul Paulus. Karena itu sering dikatakan bahwa pokok masalah rekonsiliasi itu sebenarnya tidak memegang peranan penting di dalam keseluruhan teologi rasul Paulus. Diduga bahwa satu-satunya alasan mengapa rasul Paulus menggunakan konsep rekonsiliasi ini adalah agar rasul Paulus dapat mempertajam dan menggaris bawahi konsepnya tentang pembenaran. Walaupun demikian, berbeda dengan pendapat ini, banyak pula penafsir yang sependapat apabila dikatakan bahwa betapapun istilah perdamaian itu sendiri dipakai hanya dalam jumlah yang terbatas di dalam tulisan-tulisan rasul Paulus, namun pemakaiannya memegang peranan yang sangat menentukan, dan memiliki makna yang begitu penting di dalam keseluruhan teologi rasul Paulus.
Untuk membahas pokok masalah ini baik kiranya apabila kita memperhatikan lebih dahulu 2 Kor. 5: 18-21[17] di mana dalam ayat 18 rasul Paulus berkata: ta. de. pa,nta evk tou/ qeou/ tou/ katalla,xantoj h`ma/j e`autw/| (dan semuanya ini berasal dari Allah yang telah mendamaikan kita dengan DiriNya). Jelas bahwa kata “semua” (pa,nta) di dalam ayat ini menunjuk kepada apa yang telah disebutkan sebelumnya di dalam ayat 17, yaitu: “ciptaan baru”, yang dengan itu orang-orang percaya memperoleh dan mengalami hidup baru di dalam Kristus. Kondisi kehidupan seperti ini jelas tidak dapat dipisahkan dari tindakan pendamaian Allah. Kata depan evk (berasal dari) merupakan kata penentu dalam hal mencari jawab tentang inisiatif dilakukannya pendamaian. Kata itu sendiri dapat mempunyai arti yang bermacam-macam, tergantung pada konteksnya. Dalam konteks ini, beralasan kiranya kalau kita memahaminya sebagai kata yang menunjuk kepada asal usul atau sumber yang dari padanya sesuatu berasal. Dengan demikian sumber atau asal usul perdamaian, yang mendatangkan hidup baru di dalam Kristus adalah Allah sendiri. Pengertian seperti ini diperkuat oleh kenyataan bahwa Paulus menggunakan kata kerja aktif, dengan Allah sebagai subyeknya. Di dalam surat-surat Paulus yang lain, bentuk aktif dari kata kerja ini tidak pernah dipakai dengan menjadikan Allah sebagai obyeknya. Demikian juga bentuk pasifnya tidak pernah digunakan dengan menjadikan Allah sebagai subyeknya. Ini, sekali lagi, menunjukkan bahwa Allahlah yang mengambil langkah pertama mengakiri permusuhan antara manusia dengan Dirinya, dan memungkinkan manusia menikmati persekutuan yang benar dengan Allah.
Inisiatif Allah dalam mendamaikan dunia diikuti oleh tindakan konkret, kalau tidak, maka itu akan sia-sia saja. Hal ini dijelaskan oleh rasul Paulus dalam satu ungkapan “…yang melalui Kristus…” (2 Kor. 5: 18). Kemudian, diulangi lagi di dalam ayat 19 (…yaitu Allah di dalam Kristus…), yang dengan maksud untuk semakin memperjelas apa yang ia maksudkan. Oleh sebab itu baik kiranya apabila kita mulai dengan ayat 19: w`j o[ti qeo.j h=n evn Cristw/| (“yaitu Allah di dalam Kristus”).
Dengan mengatakan bahwa “Allah ada di dalam Kristus, mendamaikan dunia dengan Diri-Nya”, tidak berarti bahwa rasul Paulus ingin menekankan fakta inkarnasi lebih dibanding dengan pekerjaan pendamaian itu sendiri. Tetapi sebaliknya ia ingin menunjukkan secara lebih jelas apa yang ia maksudkan dengan Allah mendamaikan dunia “melalui Kristus”. Kristus dipahami tidak semata-mata hanya sebagai sarana yang melalui-Nya Allah merealisasikan pekerjaan pendamaianNya, tetapi Ia dipahami sebagai Allah sendiri. Dalam hubungan ini bentuk imperfek en dipakai untuk menekankan tindakan Allah menyatakan Diri di dalam manusia Yesus untuk merealisasikan pekerjaan pendamaianNya. Sebagai rekonsiliator, Kristus datang untuk mengakiri perseteruan antara manusia dan Allah ini agar pada akhirnya mereka kembali berada dalam hubungan yang harmonis, hubungan yang damai. Secara konkret, pekerjaan Kristus selaku rekonsiliator digenapi melalui pengorbanan-Nya mati di kayu salib. Menurut Tom Jacobs, wafat Kristus – bagi Paulus – berarti pertemuan Allah dengan manusia berdosa. Khususnya rahmat untuk orang berdosa ditonjolkan dalam paham perdamaian.[18]

b.      Pembenaran
Pembenaran merupakan istilah yang berhubungan dengan pengadilan, namun istilah tersebut tidak dapat diterangkan seluruhnya dari dunia pengadilan. Khususnya “kebenaran Allah” adalah istilah yang berhubungan dengan perjanjian.[19]
Pembenaran dapat dijelaskan sebagai tindakan Allah yang menyatakan benar bagi orang yang percaya kepada Kristus. Pokok gagasan pembenaran ialah pernyataan Allah, hakim yang adil, bahwa orang yang percaya kepada Kristus, sekalipun penuh dengan dosa, dinyatakan benar – dipandang benar, karena di dalam Kristus orang tersebut telah memasuki suatu hubungan yang benar dengan Allah. Pembenaran merupakan suatu tindakan deklaratif. Pembenaran bukanlah sesuatu yang dikerjakan oleh manusia, tetapi sesuatu yang dinyatakan tenatang manusia. Pembenaran tidak menjadikan seseorang benar, tetapi hanya menyatakan dia benar. Pembenaran ini pun mencakup (a) penghapusan hukuman, (b) pemulihan hubungan baik, dan (c) penghitungan kebenaran. Pembenaran berarti menempatkan seseorang sebagai yang benar di depan hukum yang berlaku, maka orang berdosa tidak hanya menerima pengampunan atas dosa-dosanya yang telah lalu, tetapi ia juga menerima kebenaran yang positif sebelum ia dapat bersekutu kembali dengan Allah.[20]
Dalam II Kor 5: 19b, Paulus mengatakan mh. logizo,menoj auvtoi/j ta. paraptw,mata auvtw/n (dengan tidak memperhitungkan pelanggaran-pelanggaran mereka). Dalam situasi tertentu kata paraptw,mata digunakan untuk menunjukkan suatu pelanggaran yang tidak seberat a`marti,a| (contoh Gal. 6: 1). Tetapi dalam konteks ini kata paraptw,mata nampaknya dipakai dalam arti yang sama dengan dosa (a`marti,a|), yang terwujud secara nyata di dalam tindakan-tindakan konkret. Dengan demikian maka kata tersebut menunjuk kepada hakekat hidup manusia yang adalah dosa. Jadi, dengan pernyataan tersebut (“…dengan tidak memperhitungkan pelanggaran-pelanggaran mereka…”), di satu pihak rasul Paulus ingin menunjukkan aktifitas Allah dalam hal tidak memperhitungkan pelanggaran-pelanggaran manusia, dan di pihak lain ia juga ingin melukiskan hakekat keberadaan manusia sebagai pendosa. Dosa, yang telah terwujud secara nyata di dalam tindakan, dimengerti oleh Paulus sebagui suatu kuasa yang memperbudak manusia, dan mengakibatkan manusia berdiri sebagai seteru Allah. Di tempat lain di dalam surat-suratnya, rasul Paulus selalu melukiskan keadaan manusia sebagai yang ada di dalam belenggu kuasa dosa yang melawan Allah. Dosa inilah yang telah menjadi akar penyebab terjadinya perseteruan antara manusia dengan Allah, dan sekaligus penghalang bagi manusia untuk masuk ke dalam persekutuan yang benar dengan Allah. Sepanjang penghalang bagi terciptanya persekutuan yang benar dengan Allah ini tidak dihilangkan, maka tidak mungkin tercipta perdamaian, dan akibatnya manusia akan tetap menjadi sasaran murka Allah. Tetapi secara mengesankan, perikope ini mengatakan bahwa Allah tidak memperhitungkan pelanggaran-pelanggaran manusia. Jadi, tindakan pendamaian Allah dinyatakan di dalam kenyataan bahwa walaupun secara eksistensial manusia penuh dengan dosa dan berdiri di hadapan Allah sebagai seteru-Nya, namun toh Allah tidak lagi memperhitungkan dosa-dosa mereka. Tindakan semacam inilah yang dipahami oleh Paulus sebagai “pembenaran”, yaitu Allah membenarkan manusia, sehingga dengan demikian mereka menjadi “benar”.
Manusia dibenarkan, atau dinyatakan benar, karena solidaritas Kristus dengannya. Arti kematian Kristus tidak terdapat dalam suatu nilai pengorbanan, melainkan dalam pengungkapan hubungan pribadi dengan Bapa. Dalam wafat dan kebangkitan terlaksana secara manusiawi kesatuan Kristus dengan Bapa. Dan oleh solidaritas Kristus dengan manusia lain, maka semua mengambil bagian dalam proses penyelamatan tersebut.[21]

c.       Penebusan
Pertanyaan mendasar berkaitan dengan pokok masalah ini ialah bagaimana tindakan tidak memperhitungkan pelanggaran-pelanggaran manusia itu dihubungkan dengan peristiwa salib. Tidak dapat diragukan bahwa peristiwa salib itu sendiri memegang peranan yang begitu penting di dalam keseluruhan teologi rasul Paulus. Semua yang telah dilakukan di dalam kehidupan Yesus tidak seluruhnya dapat dipisahkan dari peristiwa salib dan kubur yang kosong. Berdasarkan hal ini, maka kita dapat mengatakan bahwa seluruh perjalanan hidup Kristus tersarikan di dalam peristiwa salib (kematian dan kebangkitan), dan semua pernyataan yang lain sebenarnya hanyalah menyatakan bahwa salib itu sendiri merupakan tindakan Allah.
Dalam metaphor yang ketiga ini (penebusan), Paulus menggunakan konsep pemikiran Yahudi. Pokok dari paham penebusan ini ialah bahwa orang lain mengambil alih nasib seseorang yang tidak mampu atau tidak berdaya lagi. Dalam Perjanjian Baru, Kristus memang tidak pernah disebut “penebus”, tetapi dalam I Kor 1: 30 Paulus mengatakan bahwa Dia adalah “penebusan kita”. Kristus bukan penebus, tetapi “uang tebusan”. Bagi Paulus, gagasan pokok dalam penebusan adalah pembebasan, yaitu lepas dari kuasa maut. Akan tetapi, di sini pun pandangan Paulus tetap mengacu pada solidaritas. Kristus telah menebus (membeli) kita dari kutuk hukum Taurat dengan menjadi kutuk bagi kita. Paulus memang memakai kata “membeli”, namun yang menjadi tekanan bukan pada jual-beli, melainkan lebih kepada hasil pembelian tersebut, yaitu bahwa manusia memperoleh kebebasannya kembali.[22]
Gagasan Paulus mengenai “substitusi” ini dikuatkan di dalam II Kor 5: 21 dengan mengatakan ”demi kita Allah telah menjadikan Dia dosa, walaupun Dia sendiri tidak mengenal dosa”. Jelas bahwa tindakan Allah menjadikan Yesus berdosa dikerjakan agar dengan itu Ia menjadikan kita benar di hadapanNya. Ini dapat terjadi hanya apabila penyebab ketidak-benaran manusia, yaitu dosa, dihapuskan lebih dahulu sehingga dengan demikian tidak akan ada lagi penghalang untuk menikmati hubungan yang benar dengan Allah. Oleh sebab itu “menjadikan Yesus berdosa” lebih tepat dimengerti sebagai suatu tindakan menghapuskan dosa manusia dengan cara menanggung hukuman dosa melalui kematian di kayu salib. Kematian Yesus yang tidak berdosa dianggap oleh Paulus sebagai suatu tindakan taat kepada kehendak Bapa.[23] Jelas bahwa Paulus juga ingin menekankan kasih Allah yang suci, karena sementara manusia tidak mampu menanggung konsekwensi dosa, Ia telah mengirimkan AnakNya untuk menanggung konsekwensi tersebut bagi manusia. Dengan kata lain, kematian Kristus benar-benar merupakan tindakan mengakiri permusuhan yang terjadi antara Allah dan manusia dengan cara menghapuskan dosa yang menjadi penyebab permusuhan tersebut. Dengan melakukan ini Allah di dalam Kristus telah membuka jalan menuju kepada rekonsiliasi. Manusia tidak akan menjadi musuh Allah lagi hanya dengan cara memasuki jalan yang telah dibukakan sendiri oleh Allah. Ini merupakan tindakan iman di mana manusia memberikan jawab ya terhadap panggilan pendamaian Allah. Tanpa jawab ya ini, maka perdamaian tidak pernah akan menjadi kenyataan di dalam kehidupan manusia dan dengan begitu manusia akan tetap berada di dalam keterasingan dari Allah sebagai musuhNya. Dalam arti yang demikian, maka pendamaian itu sebenarnya merupakan pekerjaan penebusan yang datang dari Allah di dalam Yesus Kristus bagi dunia untuk menghilangkan permusuhan yang ada antara manusia dengan Dirinya dan melakukan pembaharuan untuk hidup damai. Berdasarkan uraian ini, maka dapat dipahami mengapa kematian Kristus menjadi pusat dari pelayanan pendamaian Paulus.

3.      Kristus sebagai Rekonsiliator
Dari konsep soteriologi Paulus yang diuraikannya melalui tiga metaphor – perdamaian, pembenaran, dan penebusan – maka terlihat bahwa Kristus yang dihayati oleh Paulus adalah Kristus sebagai Rekonsiliator. Sebagai rekonsiliator, Kristus datang untuk mengakiri perseteruan antara manusia dan Allah ini agar pada akhirnya mereka kembali berada dalam hubungan yang harmonis, hubungan yang damai. Secara konkret, pekerjaan Kristus selaku rekonsiliator digenapi melalui pengorbanan-Nya mati di kayu salib. Yang menjadi permasalahan bagi kita selanjutnya adalah: apakah pengorbanan Kristus – sebagai rekonsiliator – adalah sebagai pemuas murka Allah? Ataukah sebagai kasih karunia Allah?

a.      Pengorbanan Kristus – Pemuas Murka Allah
Terkait dengan konsep peradilan dalam penebusan, maka penebusan menuntut adanya korban di dalamnya. Paulus sendiri menyebutkan dalam Rom 3: 25-26, bahwa sangat perlu Kristus dipersembahkan sebagai korban penebusan bagi dosa, supaya Allah adil ketika mengadili orang berdosa. Hal ini mengandaikan adanya keadilan Allah yang harus tetap dipertahankan. Ketidak berubahan yang mulia dan mutlak dari hukum illahi, sebagai hal yang terkandung dalam natur yang paling mendasar dari Allah, mengharuskan Ia menuntut pemuasan hukum dari orang berdosa. Pelanggaran dari hukum mau tidak mau membawa hukuman. Menurut Berkhof, jika Allah mau menyelamatkan orang berdosa, walau pun orang berdosa tidak dapat menggenapi tuntutan hukum, Allah harus menyediakan pemuasan pengganti sebagai dasar dari pembenaran orang berdosa. Kebenaran Allah menuntut bahwa hukuman harus dilaksanakan, dan jika orang berdosa mau diselamatkan, maka harus dilaksanakan dalam hidup seorang pengganti.[24]
Anselmus (1033-1109), seorang Italia yang menjadi uskup besar di Canterbury, mengemukakan pandangan Kristus sebagai satisfactor.[25] Anselmus mengandaikan adanya satu hukum yang telah ditetapkan oleh Allah sendiri. Jika Allah tidak memberlakukan hukum tersebut, maka Allah akan kehilangan ke-illahian-Nya. Oleh karena itu, jika manusia melanggar hukum Allah, maka ia akan diberi ganjaran atau kompensasi pemuasan terhadap Allah. Pendamaian memang adalah perbuatan Allah, namun hal itu dilaksanakan dari pihak manusia, yaitu melalui Kristus. Anselmus mengandaikan manusia dengan Allah mempunyai hubungan hukum yang belum putus. Dosa atau kesalahan manusia – dalam konsep Anselmus – dimengerti sebagai perbuatan yang menghina atau merendahkan kemuliaaan Allah. Oleh karena itu, Allah harus menghukum dan mengadili setiap orang yang menghina kehormatan-Nya. Jika Allah mengampuni manusia tanpa pengadilan dan hukuman, maka bisa dikatakan Allah akan kehilangan kemuliaan-Nya atau pun kehormatan-Nya. Dalam perkembangannya, Anselmus mengemukan dua hal yang menjadi pertimbangan. Pertama, Allah sebenarnya tidak mau menerapkan hukum tersebut pada manusia karena akan menghancurkan manusia. Kedua, suatu korban penghapusan dosa sebagai pemuasan tidak dapat dikerjakan oleh manusia sebab manusia tidak sanggup. Berdasarkan hal ini, maka Yesus dipandang sebagai Allah yang menjadi manusia, yang menjadikan diri-Nya sebagai pemuasan hukuman Allah, demi pemulihan kehormatan Allah.

b.      Pengorbanan Kristus – Kasih Karunia Allah
Menurut Yahya Wijaya, kasih karunia adalah perbuatan kemurahan yang tiada taranya, yang Allah lakukan untuk kita, sebab kasih karunia adalah pemberian kepada mereka yang tidak patut diberi, penghargaaan kepada mereka yang tidak layak dihargai, pembebasan kepada mereka yang patut dihukum, penyelamatan kepada mereka yang pantas binasa. Kasih karunia itu telah nyata di dalam Yesus Kristus: dalam kehidupan-Nya sejak kelahiran-Nya sampai pada kematian dan kebangkitan-Nya yang menyelamatkan dunia yang berdosa ini. Di dalam Yesus Kristus, Allah membatalkan kemarahan-Nya, untuk menyatakan kemurahan-Nya.[26]
Dalam iman Kristen, bukan manusia yang memprakarsai pendamaian dengan Allah, tetapi Allah sendiri. Pengorbanan juga dilakukan oleh Allah dengan menyerahkan Yesus Kristus. Maka, hubungan baik dengan Allah tidak tergantung pada kesempurnaan pihak manusia, tetapi semata-mata adalah kemurahan Allah sendiri. Allah membebankan hukuman atas dosa-dosa kita ke pundak Yesus Kristus, sehingga tidak ada lagi ganjalan dalam hubungan antara manusia dengan Dia.[27]
Abaelardus (1079-1142), mengemukakan Allah sebagai Maha Pengasih.[28] Pandangan ini mau mengatakan bahwa murka Allah tidak harus diredakan, karena Dia bukan pemarah melainkan pengasih. Tidak ada gunanya untuk “mendamaikan” dengan Allah, karena Dia sendiri bersifat pendamai sejak mulanya. Pengajaran Abaelardus menekankan Kasih Allah sebagai Bapa. Kematian Kristus di kayu salib dimengerti sebagai pengorbanan diri seorang manusia yang ideal. Allah tidak perlu didamaikan, melainkan Dia-lah yang mendamaikan.

Dua paham menngenai pengorbanan diri Kristus seperti di atas memang pernah menjadi suatu permasalahan dalam sejarah kekristenan, baik dari zaman Perjanjian Lama, Perjanjian Baru, bahkan sampai sekarang. Lalu, bagaimana dengan pandangan Paulus mengenai hal ini?
Dalam Rom. 3: 23-25, Paulus berkata:
(23) Karena semua orang telah berbuat dosa dan telah kehilangan kemuliaan Allah, (24) dan oleh kasih karunia telah dibenarkan dengan cuma-cuma karena penebusan dalam Kristus Yesus. (25) Kristus Yesus telah ditentukan Allah menjadi jalan pendamaian karena iman, dalam darah-Nya. Hal ini dibuat-Nya untuk menunjukkan keadilan-Nya, karena Ia telah membiarkan dosa-dosa yang telah terjadi dahulu pada masa kesabaran-Nya.
Dari ayat tersebut tampak bahwa pengorbanan Kristus adalah sebuah kasih karunia Allah. Di dalam kasih karunia Allah itulah tampak keadilan Allah. Dengan demikian di satu pihak “pembenaran” menunjuk kepada hakekat keberadaan manusia yang sebenarnya, tidak hanya sebagai pendosa yang berada di dalam keadaan salah, tetapi juga sebagai seteru Allah yang tidak dapat menghindarkan diri dari ancaman murka Allah. Di pihak lain, dengan menggunakan istilah “pendamaian” Paulus melukiskan makna efektifitas tindakan penyelamatan Allah yang benar di dalam Yesus Kristus. Dengan kata lain, walau pun Paulus menganggap pendamaian (rekonsiliasi) – di mana Kristus sebagai rekonsiliator – merupakan kasih Allah,  namun Paulus tidak serta merta membuang konsep pengadilan Allah.







C.    PENUTUP
Kristologi adalah suatu penghayatan seseorang akan Kristus. Dalam iman Kristen, Yesus-lah yang diimani sebagai Kristus. Yang namanya penghayatan hidup, pastinya tidak akan lepas dari konteks di mana orang itu berada. Sama seperti Paulus, di tengah-tengah konflik, perseteruan, pertikaian, dll., Paulus menghayati Kristus sebagai rekonsiliator. Dengan kata lain, Kristus adalah “alat” pendamaian Allah dengan manusia, di mana Allah-lah yang mempunyai inisiatif pendamaian. Bisa dikatakan Kristologi Paulus, yaitu Kristus sebagai rekonsiliator, sangat kontekstual. Dalam artian, Kristologi Paulus berangkat dari konteks jemaat di mana dia melakukan pelayanannya. Penghayatan terhadap Kristus – bagi Paulus – bukanlah sekedar refleksi yang hanya ada dalam hati mau pun pikiran, namun juga ada dalam pewartaannya akan Injil. Injil yang ia beritakan membawa pengharapan pada orang-orang bahwa karya keselamatan Allah melalui Kristus membawa adanya rekonsiliasi antara manusia dengan Allah. Dengan adanya karya penyelamatan, maka manusia bisa menikmati hubungan yang damai dengan Allah, yang sebelumnya telah rusak akibat dosa manusia. Penghayatan akan Kristus dalam hidup Paulus tidak hanya tersimpan dalam dirinya sendiri, namun “dibagikan” kepada orang lain demi adanya suatu “pencerahan”[29] dalam masyarakat.
Bagaimana dengan realita saat ini? Seringkali penghayatan kita akan Kristus adalah Kristologi Dogmatik. Dalan artian, penghayatan kita akan Kritus adalah Kristus yang sama dengan dogma gereja yang kita anut. Dogma memang berguna dalam pembangunan dan pemeliharaan iman, namun dogma hendaklah dijadikan sebagai “batu pijakan”, bukan pengikat. Ketika kita mencoba untuk menhayati Kristus sesuai dengan konteks kita, seringkali hal itu malah menjadi batu sandungan bagi kita dalam kehidupan bergerja. Tidak hanya itu saja, bahkan seringkali juga mengalami benturan dengan dogma-dogma gereja. Dogma gereja kita pada umumnya lahir dari rumusan-rumusan Bapa-bapa gereja di masa lampau. Padahal, rumusan-rumusan tersebut berangkat dari konteks (atau juga permasalahan) saat itu, sehingga agaknya kurang tepat jika kita membawanya “sama persis” ke dalam konteks saat ini. Sama seperti Paulus, di mana kristologinya berangkat dari konteks pelayanannya, maka kita pun seyogyanya bisa menghayati Kristus dalam atau berangkat dari konteks kita?






DAFTAR PUSTAKA

1.      Becker, D., Pedoman dogmatika; Suatu Kompendium Singkat (Jakarta: Gunung Mulia. 2000).
2.      Berkhof, Louis, Teologi Sistematika Seri 3; Doktrin kristus (Jakarta: Lembaga Reformed Injili Indonesia. 1996).
3.      Catatan perkuliahan Kristologi, 2009
4.      Groenen, C., Sejarah Dogma Kristologi (Yogyakarta: Kanisius. 2005).
5.      Jacobs, Tom, Siapa Yesus Kristus Menurut Perjanjian Baru (Yogyakarta: Kanisius. 1990).
6.      Jacobs, Tom, Imanuel; Perubahan dalam Perumusan Iman akan Yesus Kristus (Yogyakarta: Kanisius. 1999).
7.      Ladd, G.E., A Theology of the New Testament (Grand Rapids: Eerdmans, 1974).
8.      Marxsen, Willi, Pengantar Perjanjian Baru; Pendekatan Kritis terhadap Masalah-masalahnya (Jakarta: BPK Gunung Mulia. 2005),
9.      Prat, Fernand, The Theology of St. Paul (Westminster: The Newman Bookshop. 1958)
10.  Thiesen, Henry C., Teologi Sistematika (Malang: Gandum Mas. 1993).
11.  Wijaya, Yahya, Kemarahan, Keramahan, dan Kemurahan Allah (Jakarta: Gunung Mulia. 2008).


[1] Louis Berkhof, Teologi Sistematika Seri 3; Doktrin kristus (Jakarta: Lembaga Reformed Injili Indonesia. 1996). Hlm. 7-8
[2] Dalam bukunya yang berjudul Pengantar Perjanjian Baru; Pendekatan Kritis terhadap Masalah-masalahnya (Jakarta: BPK Gunung Mulia. 2005), Willi Marxsen mendata ada delapan kitab yang ditulis oleh rasul Paulus. Di antaranya adalah 1 & 2 Tesalonika, Galatia, Filipi, Filemon, 1 & 2 Korintus, dan Roma. Sementara itu, Kolose, Efesus, Ibrani, 1 & 2 Timotius, dan Titus dimasukkan dalam kategori surat-surat pseudo Paulus.
[3] Tom Jacobs, Siapa Yesus Kristus Menurut Perjanjian Baru (Yogyakarta: Kanisius. 1990). Hlm. 49
[4] Catatan perkuliahan Kristologi. 2009.
[5] Louis Berkhof, Teologi Sistematika Seri 3; Doktrin Kristus (Jakarta: Lembaga Reformed Injili Indonesia. 1996). Hlm. 24
[6] C. Groenen, Sejarah Dogma kristologi (Yogyakarta: Kanisius. 2005). Hlm. 14
[7] Louis Berkhof, Teologi Sistematika Seri 3; Doktrin kristus (Jakarta: Lembaga Reformed Injili Indonesia. 1996). Hlm. 25
[8] Penyebutan “Yesus Kristus” ini seringkali kita jumpai dalam rumusan doa “…dalam nama Tuhan Yesus Kristus…”, atau juga menyebut “Kristus” tetapi arahanya pribadi Yesus.
[9] Tom Jacobs, Siapa Yesus Kristus Menurut Perjanjian Baru (Yogyakarta: Kanisius. 1990). Hlm. 42
[10] Kristus mengosongkan diri-Nya di dalam peristiwa kematian-Nya (jalan penderitaan), sehingga ia mendapatkan kemulian-Nya melalui peristiwa kebangkitan-Nya. Hal ini dapat kita lihat dalam Kyriologi Paulus sepeti yang diungkapkan Tom Jacobs dalam Siapa Yesus Kristus Menurut Perjanjian Baru, hlm. 66.
[11] G.E. Ladd, A Theology of the New Testament (Grand Rapids: Eerdmans, 1974). Hlm. 409.
[12] Terkait dengan pembahasan masalah dalam paper ini, maka saya hanya fokus pada soteriologi Paulus saja.
[13] Henry C. Thiesen, Teologi Sistematika (Malang: Gandum Mas. 1993). Hlm. 301
[14] Tom Jacobs, Imanuel; Perubahan dalam Perumusan Iman akan Yesus Kristus (Yogyakarta: Kanisius. 1999). Hlm. 110
[15] Tom Jacobs, Siapa Yesus Kristus Menurut Perjanjian Baru (Yogyakarta: Kanisius. 1990). Hlm. 54
[16] Pada umumnya, teologi Rasul Paulus disebut juga sebagai teologi perdamaian.
[17] Saya mengambil contoh teks dari II Kor 5: 18-21, karena dalam perikope ini rasul Paulus secara jelas dan agak panjang berbicara mengenai pokok masalah rekonsiliasi.
[18] Tom Jacobs, Siapa Yesus Kristus Menurut Perjanjian Baru (Yogyakarta: Kanisius. 1990). Hlm. 55
[19] Ibid. Hlm. 57
[20] Henry C. Thiesen, Teologi Sistematika (Malang: Gandum Mas. 1993). Hlm. 421-423
[21] Tom Jacobs, Siapa Yesus Kristus Menurut Perjanjian Baru (Yogyakarta: Kanisius. 1990). Hlm. 65
[22] Ibid. Hlm. 55-56
[23] Ibid. Hlm. 57
[24] Louis Berkhof, Teologi Sistematika Seri 3; Doktrin Kristus (Jakarta: Lembaga Reformed Injili Indonesia. 1996). Hlm. 154-155
[25] Lih. D. Becker, Pedoman Dogmatika; Suatu Kompendium Singkat (Jakarta: Gunung Mulia. 2000). Hlm. 129-130 bandingkan juga dengan L. Berkhof, Teologi Sistematika Seri 3; Doktrin Kristus, 1996. Hlm. 190-192
[26] Yahya Wijaya, Kemarahan, Keramahan, dan Kemurahan Allah (Jakarta: Gunung Mulia. 2008). Hlm. 3
[27] Ibid. Hlm. 32
[28] D. Becker, Pedoman Dogmatika; Suatu Kompendium Singkat (Jakarta: Gunung Mulia. 2000). Hlm. 130-131
[29] Misalnya, konteks masyarakat tempat pelayanan Paulus adalah penuh dengan pertikaian, maka Kristologi hendaklah mampu membawa pencerahan – dalam hal ini adalah damai sejahtera, bagi masyarakat di tempat tersebut.

2 komentar: