Rabu, 26 Desember 2012

sejarah GKJ

SEJARAH GEREJA
Kebersamaan dalam Perjalanan Sejarah GKJ dan GKJ Grogol Sukoharjo

A.    Pendahuluan
Berdasarkan apa yang dipahami oleh GKJ, bahwa gereja adalah suatu kehidupan bersama religious yang berpusat pada Yesus Kristus, yang sekaligus merupakan buah penyelamatan Allah dan jawab manusia terhadap penyelamatan Allah, yang di dalamnya Roh Kudus bekerja dalam rangka pekerjaan penyelamatan Allah.[1] Melihat definisi tersebut, maka tampak bahwa gereja juga bisa dikatakan sebagai sebuah komunitas. Sebuah komunitas tentunya terdiri dari banyak individu, dengan latar belakang yang berbeda-beda. Namun, komunitas dalam gereja tampaknya memang berbeda dengan komunitas masyarakat umum. Perbedaan tersebut lebih dikarenakan sifat dari kebersamaan yang mewarnai komunitas itu sendiri. Dalam komunitas masyarakat, pada umumnya penghargaan lebih ditekankan dan diberkan kepada individu-individu yang ada. Kebersamaan yang ada di dalamnya, pada umumnya hanya mengartikan “berada bersama di suatu tempat tertentu”. Hal ini tentu berbeda dengan pengertian kebersamaan dalam kehidupan bergereja. Dalam kehidupan bergereja, jika melihat kembali definisi gereja di atas, maka tampak bahwa kehidupan bersama atau sifat komunal tersebut lebih mendapat penekanan dibanding individu. Hal ini tidaklah mengartikan bahwa eksistensi individu kurang dihargai. Namun, individu-individu yang ada tetap diakui eksistensinya sebagai bagian yang memegang peranan penting dalam komunitas tersebut. Masing-masing individu, dengan segala konteksnya, mempunyai suatu tanggung jawab di dalam dan untuk menciptakan sebuah kebersamaan religious yang berpusat pada Kristus. Secara sederhana, gereja bukanlah individu, melainkan sebuah komunitas yang mencerminkan kebersamaan.
Kehidupan bersama, sekalipun itu gereja, tetap tidak menutup kemungkinan adanya gesekan-gesekan individu satu dengan yang lain. Seringkali gesekan-gesekan tersebut memecah belah, membuat adanya perselisihan, menumbuhkan sikap apatis, sehingga gereja yang notabenenya adalah kehidupan bersama religious di dalam Kristus tidak lagi mencerminkan kebersamaan. Namun, di sisi lain tidak sedikit pula kehidupan bersama tersebut menjadi semakin berkembang karena adanya gesekan-gesekan yang mampu dimanage dengan sedemikian rupa. Sebagai sebuah kehidupan bersama, tentu individu-individu yang ada di dalam suatu gereja keberadaannya tidak bisa dilepaskan dari individu yang lainnya. Hidup bersama (persekutuan/bersekutu) dipahami bukanlah sebagai suatu tugas atau kewajiban, melainkan pada hakikatnya sudah melekat dalam kehidupan orang-orang percaya.[2] Terkait dengan hal tersebut, kebersamaan tampaknya dipahami tidak hanya sebagai efek dari konsep hidup bergereja saja. Namun, sejarah membuktikan bahwa kebersamaan (persekutuan) tersebut begitu melekat, bahkan mewarnai dinamika kehidupan bergereja, khususnya GKJ, sejak awal mula sampai pada perkembangannya saat ini.
Agama Kristen masuk ke Indonesia dan dikenal oleh masyarakat memang berasal dari zending (badan injil dari Barat) dan para misionaris/penginjil. Hal ini memang tidak bisa dipungkiri jika melihat fakta sejarah tumbuh dan berkembangnya gereja. Pola tersebut tampaknya seperti halnya Yesus Kristus yang mengajarkan “sesuatu yang baru” pada masa itu seorang diri. Namun, hal ini tidaklah mengartikan akan individualitas orang-orang Kristen atau gereja. Justru hal yang menarik adalah kebersamaan – selaku para pengikut Kristus – membuat gereja lahir, bahkan di dalam kebersamaan pula mampu tumbuh, bahkan bertahan dan berkembang dalam tantangan dan konteks zamannya. Makalah ini membahas mengenai kebersamaan dalam perjalanan hidup gereja, khususnya GKJ pada umumnya dan GKJ Grogol Sukoharjo. Berdasarkan makalah ini, gereja-gereja – khususnya GKJ Grogol Sukoharjo – pada nantinya diharapkan mampu tetap bertahan dan berkembang dalam konteks zaman pada saat ini, di dalam sebuah kebersamaan.

B.     Kebersamaan dalam perjalanan hidup GKJ – “bibit” sampai lahirnya sinode GKJ
Gereja-gereja Kristen Jawa, adalah sekelompok buah pekabaran Injil yang ditebarkan di tanah Jawa, khususnya di Jawa Tengah. Sebagai sekelompok gereja, ia tumbuh dan berkembang melalui aneka latar belakang dan tantangan serta perkembangan tersendiri. Ia tidak saja tumbuh dan berkembang di dalam suatu masyarakat yang berlatar belakang sosial-budaya tertentu, melainkan juga tumbuh dan berkembang di dalam konteks sejarah tertentu, demikian pun ia merupakan buah pekerjaan badan zendng, Gereja Barat, kaum-awam asing maupun pribumi bahkan juga buah dari pekerjaan Gereja-gereja Jawa sendiri, dengan atau tanpa kerja sama gereja lain.[3] Berdasarkan hal tersebut, maka sinode GKJ atau Gereja-gereja Kristen Jawa merupakan suatu kebersamaan antara GKJ satu dengan yang lain. Lahirnya kebersamaan tersebut tentunya tidak lepas dari lahirnya masing-masing GKJ yang ada.

-          Cikal bakal pertama – jemaat sembilan
Pada umumnya, sejarah mencatat dan mengakui bahwa awal mula lahirnya GKJ atau tonggak lahirnya GKJ adalah berawal dari adanya sembilan orang, yang merupakan pembantu dari Ny. Oostrom dari Banyumas, yang menempuh perjalanan jauh dari Banyumas ke Semarang guna mendapatkan baptisan oleh zendeling Hoezoo, pada tanggal 10 Oktober 1858.[4] Suatu kisah sejarak kekristenan, khususnya lahirnya GKJ, yang menarik. Hal ini mengingat bahwa jika pada umumnya kekristenan, setelah zaman jemaat perdana, berkembang luas karena penyebaran injil oleh para misionaris dan zending. Namun, tampaknya berbeda dengan apa yang terjadi dengan sembilan orang tersebut. Sembilan orang tersebut, yang notabenenya adalah pembantu, rupanya mendapat pengajaran mengenai kekristenan/Injil bukanlah dari salah seorang zendeling atau zending, melainkan dari tuannya, yakni Ny. Oostrom, yang juga bukan seorang penginjil. Ny. Oostrom adalah seorang perempuan Indo-Belanda yang mempunyai pekerjaan sebagai “juragan” batik.[5] Suatu hal di luar ketentuan umum, bahwa Injil tersebar atau terberitakan bukan dari para misionaris atau zending. Dalam hal ini, Ny. Oostrom yang memberitakan Injil atau mengajarkan kekristenan kepada para pembantunya, tidak ada keterangan sama sekali terkait dengan motivasi atau misi yang diembannya. Tampak seakan-akan keinginan untuk memberitakan dan mengajarkan Injil tersebut adalah inisiatif dari sendiri, bukan karena tanggung jawab kelembagaan. Terkait dengan hal tersebut, ada dugaan bahwa motivasi Ny. Oostrom tersebut dikarenakan adanya pengaruh Kyai Tunggul Wulung yang melakukan kunjungan keliling untuk memberitakan dan mengajarkan Injil.[6] Namun, apapun alasan Ny. Oostrom Injil telah diberitakan dan cikal bakal GKJ, yakni sembilan orang yang merupakan pembantu, membuktikan bahwa di dalam kebersamaan-lah cikal bakal GKJ lahir. Kebersamaan di dalam tumbuh berkembang di dalam iman dan pengetahuan akan Injil. Dalam artian, baik sebagai juragan ataupun pembantu, namun Injil telah menjadikan mereka semua bersama dengan Kristus.[7] Perjalanan yang dilakukan oleh sembilan orang, bukan perorangan, juga memperlihatkan smengat kebersamaan sebagai awal mula lahirnya GKJ.
Jika melihat pola pertumbuhan kekristenan yang demikian, maka sebenarnya tampak adanya dua kubu. Di satu sisi, kubu zending dan di sisi lain, adalah kubu “rakyat”, yakni sembilan orang pembantu. Melihat kenyataan yang demikian, pertambahan jemaat Kristen dengan sembilan orang tersebut tampaknya menjadi suatu hal yang sangat menggembirakan bagi zending. Hal ini terlihat tatkala zendeling Kruyt mencetuskan ide untuk “memelihara” jemaat sembilan tadi. Sempat timbul polemic, tanggung jawab siapakah jemaat sembilan ini? Perundingan dan persepakatan, yang mungkin terkesan tidak adil bagi jemaat sembilan, karena mereka tumbuh bukan karena zending melainkan dengan sendirinya tetapi kemudian diserahkan dan dibawahi oleh supremasi NZGV, akhirnya membuat jemaat sembilan tersebut masuk menjadi jemaat dibawah zending.[8] Di satu sisi, memang terkesan tidak adil bagi jemaat pribumi yang tumbuh dengan sendiri tersebut. Namun, di sisi lain hal ini akan memudahkan perkembangan kekristenan, karena semua bergerak bersama dan berada di payung yang sama.

-          Cikal bakal kedua – jemaat Tuksanga-Purworejo
Lahirnya cikal bakal GKJ yang kedua inipun juga hampir mempunyai pola yang sama tatkala cikal bakal yang pertama, yakni jemaat sembilan. Adapun Ny. Christina Petronella Phillips-Stevens, atau yang sering dikenal dengan Ny. Phillips, yang melakukan penginjilan secara pribadi tanpa berada di bawah naungan zending manapun. Pada waktu itu, banyak orang yang tergerak hatinya untuk melakukan penginjilan karena ter-motivasi oleh apa yang dilakukan oleh orang lain. Demikin juga Ny. Phillips yang tampaknya juga tergerak, karena melihat keberhasilan iparnya, yakni Ny. Oostrom di Banyumas.[9] Namun, dugaan lain adalah Ny. Phillips melakukan penginjilan karena adanya dorongan dari pihak lain, yakni Kyai Tunggul Wulung.[10]
Pola penginjilan yang sama pada perjalanan hidup cikal bakal jemaat yang pertama, yang dilakukan oleh Ny. Oostrom, tampaknya juga dilakukan oleh Ny. Phillips. Dalam hal ini, ia memberitakan dan mengajarkan Injil kepada orang-orang terdekatnya, yakni para pembantunya. Ternyata pemberitaan dan pengajaran Injil kepada para “batur” lebih menuai hasil positif, karena para “batur” tersebut cenderung nurut dan manut kepada bendaranya. Hal ini terbukti ketika pada 27 Desemebr 1860, dua orang laki-laki dan tiga perempuan dari para pendengar Injil lewat Ny. Phillips, menerima baptisan dari Pdt. B. Braams di Indische Kerk di Purworejo.[11] Sama seperti jemaat sembilan, maka jemaat kecil inipun juga di-aku-aku menjadi bagian oleh Indische Kerk Purworejo, sekalipun hanya sekedar warga binaan yang dianggap sebagai warga jemaat kelas dua.[12]
Pada perkembangannya, setelah suami dari Ny. Phillips pension dan memutuskan untuk pergi dan menetap di Tuksanga, Purworejo (1863), maka para pembantunya yang sudah menjadi Kristen tersebut juga turut mengikutinya. Di tempat ini, jemaat Kristen tersebut mulai berkembang dengan adanya rekan-rekan yang turut dalam pemberitaan dan pengembangan Injil. Sampai pada tahun 1870, di Tuksanga telah ada 29 orang Kristen yang telah dibaptis. Hal yang sangat menarik dari perjalanan sejarah jemaat tersebut adalah tatkala Ny.Phillips dan suaminya membangun gedung gereja kecil, di halaman rumahnya, berdasarkan inisiatif pribadi dan bukan dari zending. Hal ini dilakukan oleh mereka berdua tatkala jumlah orang Kristen di Tuksanga bertambah dengan bergabungnya orang-orang dari Jawa Timur dan Jepara. Jemaat Tuksanga inilah yang menjadi cikal bakal kedua GKJ, setelah jemaat sembilan di Banyumas.[13]

Melihat perjalanan sejarah berkembangnya dua cikal bakal jemaat GKJ, yakni di Banyumas dan di Tuksanga, tampak bahwa dua fakta sejarah tersebut memiliki pola yang hampir sama. Perkembangan jemaat yang berawal dari pekabaran Injil secara terpisah dari zending, yang kemudian tumbuh dengan subur, lalu diakui oleh zending menjadi bagian darinya. Selain itu, tampak bahwa semangat kebersamaan begitu melekat dan mewarnai perjalanan sejarah itu sendiri. Kebersamaan yang terjadi di antara para pekabar Injil dengan orang-orang yang dibinanya (Ny. Oostrom dengan sembilan pembantunya dan Ny. Phillips – suami dengan para pembantunya dan juga para pendatang dari Jepara dan Jawa Timur). Pola perkembangan jemaat GKJ mula-mula yang demikian telah membuat area kerja zending lebih luas, karena zending – sekalipun dengan muatan “jajahan atau menguasai” – menjadikan jemaat-jemaat tersebut tidak berdiri dan tumbuh sendiri, namun dirangkul dalam sebuah kebersamaan secara lembaga, yakni zending. Satu hal yang tampaknya tidak bisa dilepaskan dari perjalanan sejarah GKJ, selain dua cikal bakal jemaat tadi, adalah perkembangan kekristenan dan GKJ yang dirintis oleh Kyai Sadrach, di mana dalam perjalanan sejarah tersebut tampak adanya masalah mengenai kebersamaan jemaat Kristen Jawa, baik dengan zending/zendeling maupun dengan pemerintah colonial.

-          Kyai Sadrach – dari awal mula sampai terbentuknya jemaat kerasulan, hingga Jotham – penggabungan jemaat kerasulan dengan gereja zending[14]
Pada masa hidupnya, Sadrach pernah menjadi seorang pemimpin Jawa yang terhormat dari gereja terbesar di Jawa. Sadrach merupakan contoh kepemimpinan Kristen mandiri dengan mengembangkan jemaat pribumi yang sangat erat kaitannya dengan kebudayaan Jawa. Kiai Sadrach berasal dari Purworejo. Nama mudanya adalah Radin. Terlahir sekitar tahun 1835, dari keluarga Islam Jawa di Kawedanan Jepara. Setelah Radin menyelesaikan pendidikan di sekolah umum (sekolah Alquran) dan belajar di berbagai pesantren di Jawa Timur, ia tinggal di dalam kauman (tempat tinggal muslim yang eksklusif) di Semarang. Di sana, dia menambahkan nama Arab pada namanya menjadi Radin Abas. Beberapa waktu kemudian terjadi sesuatu pada dirinya. Ketertarikan kepada Kristen mulai muncul dalam hatinya, setelah mengetahui bahwa bekas guru ngelmunya (guru yang kepadanya seseorang bisa belajar "ilmu"), Sis Kanoman, telah menjadi Kristen oleh penginjil Tunggul Wulung. Radin sangat serius dan terkesan dengan pengajaran Tunggul Wulung, untuk itu ia bersedia pergi bersamanya ke Batavia pada tahun 1866 untuk menemui Anthing. Ia mengambil keputusan untuk dibaptis pada tanggal 14 April 1867 di Indische Kerk, Buitenkerk, dengan mengambil nama baptis Kristen yaitu Sadrach (dalam Alkitab tokoh Sadrach disebutkan dalam Kitab Daniel 3), setelah kurang lebih dua tahun berada di lingkungan Mr. Anthing.
Untuk beberapa waktu, Sadrach oleh Mr. Anthing ditugasi untuk melakukan penginjilan dengan cara menyebarkan brosur-brosur tentang agama Kristen. Namun, tampaknya Sadrach kurang tertarik dengan pola penginjilan seperti itu. Ia lebih tertarik dengan penginjilan seperti Kyai Tunggul Wulung, yakni mengabarkan Injil Kristus sebagai ngelmu sejati melalui perbantahan ngelmu. Oleh karena itu, Sadrach pamit untuk kembali ke Semarang pada akhir tahun 1867, bergabung dengan Sis Kanoman dan jemaat Kristen Semarang asuhan zendeling Hoezoo. Dalam perjalanannya, Sadrach dan Sis Kanoman diikuti oleh beberapa orang Kristen Semarang (16 kepala keluarga), akan pindah ke Bondo mengikuti Kyai Tunggul Wulung untuk menyatu dengan jemaat di sana. Suatu permasalahan tersendiri bagi Hoezoo, karena jemaat yang telah dibinanya selama ini menjadi berkurang banyak. Pada perkembangan berikutnya, permasalahan pribadi Sis Kanoman yang berujung pada pemenjaraan dirinya, membuat Sadrach mempunyai posisi baru sebagai pemimpin di kelompok Bondo.
Dalam kedudukan yang baru tersebut, Sadrach memutuskan untuk pergi ke Jawa Timur. Hal ini dilakukannya sebagai ajang studi banding. Dalam perjalanannya tersebut, ia menemukan perbedaan yang cukup mendasar antara jemaat Bondo dengan jemaat di Mojowarno, yakni tipisnya dasar kekristenan mereka dan ketidakteraturan perikehidupan. Oleh karena itu, Sadrach kemudian berinisiatif untuk menggabungkan jemaat Bondo dengan jemaat asuhan zendeling Janz. Walaupun inisiatif Sadrach tersebut ditolak, namun hal ini ternyata telah menyebabkan keretakan hubungan Sadrach sendiri dengan gurunya, yakni Kyai Tunggul Wulung. Permasalahan tersebut juga turut mengakibatkan kurangnya kebersamaan antara Sadrach dan Kyai Tunggul Wulung, walaupun di sisi lain permasalahan tersebut membuat Sadrach semakin bebas dalam mengembangkan kekristenan di tanah Jawa. Permasalahan tersebut ternyata juga berimbas dalam hal kepemimpinan di Bondo, sehingga membuat Sadrach akhirnya mengalah dan pergi meninggalkan Bondo. Mengalah pada gurunya, Sadrach akhirnya pergi ke Kediri. Namun, kedatangannya dan tujuannya ditolak oleh zendeling Poensen. Dalam hal ini, tidak ada sumber yang menyatakan jelas penolakan Poensen. Namun, satu hal yang pasti, Sadrach kemudia melanjutkan perjalanan ke Purworejo, kepada jemaat asuhan Ny.Phillips, di mana kedatangannya disambut dengan baik. Mulailah pada tahun 1869, Sadrach menjadi penginjil pembantu Ny. Phillips.
Bergabungnya Sadrach dengan komunitas Kristen Jawa asuhan pasangan suami istri Phillips di Tuksanga, Purworejo, pada tahun 1869, mau tidak mau harus diakui merupakan salah satu strategi Sadrach dalam mewujudkan impiannya madeg guru ngelmu Kristen di kemudian hari. Tampak bahwa Sadrach juga mempunyai ambisi, seperti halnya para zendeling dan penginjil lainnya, yakni mempunyai jemaat sendiri yang diasuhnya. Dalam rangka mewujudkan impiannya tersebut, setelah beberapa lama Sadrach kemudian memutuskan untuk pergi ke daerah Kutoarjo, tanpa memutuskan hubungan dengan Phillips suami-istri. Inilah salah satu moment bagi Sadrach untuk mengembangkan kemandiriannya selaku Kyai Kristen, sekaligus dari kelompok inilah nanti dikenal Golongane Wong Kristen kang Mardika asuhan Kyai Sadrach. Dalam mengembangkan kekristenan di daerah Kutoarjo, tampaknya Sadrach memakai startegi penginjilan yang berebda dengan para zendeling Eropa. Jika para zendeling Eropa dalam penginjilan lebih terasa aroma pietismenya, yakni dengan cara melakukan pendekatan individual dan lebih menjadikan orang Kristen Jawa/pribumi seperti orang Eropa, maka lain halnya Sadrach yang lebih menggunakan strategi kontekstual, yakni ngadu ngelmu.[15] Terkait dengan nngelmu, strategi yang dipakai oleh Sadrach tersebut ternyata cukup bermafaat dalam mengembangkan kekristenan. Tampak bahwa ketika sang guru mampu dikalahkan, maka guru tersebut beserta para pengikutnya akan mengikuti guru lain yang menang. Hal ini sebenarnya bisa saja jadi boomerang bagi Sadrac, tatkala ia kalah maka ia harus tunduk dan tidak bisa lagi mengabarkan Injil serta mengembangkan kekristenan.namun, perjalanan sejarah tidak mencatat bahwa Sadrach kalah. Ia malah berhasil “menundukkan” banyak guru, sehingga kekristenan atau jemaat yang diasuhnya bertambah banyak. Memang cara demikian dipandang rendah kualitas kekristenannya, namun hal itu disempurnakan dan diperbaiki melalui evangelisasi perorangan atau pendalaman Injil secara perorangan pula oleh Sadrach. Perbedaan metode penginjilan yang sekilas tidak terlalu menimbulkan masalah. Namun, ternyata dalam perkembangannya hal tersebut dipertajam dan berujung pada perbedaan dogma, di mana kelompok Sadrach tersebut dituduh dan divonis sebagai aliran sesat oleh zending.
Ledakan jemaat Kristen hasil adu ngelmu oleh Sadrach melahirkan gereja di Karangjoso dan di Banjur, pada tahun 1872, lalu di Karangpucung, Kedungpring, serta di Karanglembu, pada tahun 1873. Pada waktu itu, gedung ibadah tersebut dinamakan mesjid, sesuai dengan sebutan yang biasa dipakai untuk tempat ibadah pada waktu itu. Dengan demikian, di Mesjid Gedhe (Mesjid Agung) Karangjoso, Sadrach memimpin kebaktian dan berkhotbah dengan bahasa Jawa. Terkadang hubungan Sadrach dengan Ny. Phillpis juga ditampakkan dengan adanya Ny. Phillips yang datang ke Karangjoso dan berkhotbah di mesjid tersebut. Pertambahan jemaat Kristen yang sangat pesat pada era Sadrach di Karangjoso dan sekitarnya tersebut di satu sisi adalah hal yang sangat positif bagi kekristenan. Namun, di sisi lain ternyata hal tersebut membawa dampak pemisahan dengan Indische Kerk. Jemaat Indische Kerk akhirnya memisahkan diri dengan jemaat Jawa. Hal ini menimbulkan akibat lebih lanjut mengenai pembaptisan orang-orang Jawa. Walaupun Indische Kerk Purworejo tidak bisa lagi melayankan baptisan terhadap jemaat Sadrach, namun berkat usaha Ny. Phillips yang menghubungi zendeling A. Vermeer dari NGZV, pembaptisa bisa tetap dilaksanakan, di mana pernah tercatat bahwa A. Vermeer dalam 17 hari telah membaptis lebih dari seribu orang. Ibarat mata uang koin dengan dua sisi, maka begitu pula kebijakan Ny. Phillips yang mengambil inisiatif untuk bekerja sama dengan zendeling Vermeer. Sisi positif adalah pembaptisan itu bisa tetap berjalan. Namun, sisi negative dari kebijakan tersebut justru lebih besar dampaknya.
Kerja sama dengan Vermeer ternyata menimbulkan kerugian bagi Sadrach. Dua hal yang menjadi pandangan Vermeer, di mana pandangannya tersebut tidak sejalan dengan kenyataan. Pertama, Vermeer berpendapat bahwa sukar dipercaya oleh dirinya bahwa seribu orang yang telah dibaptisnya beberapa waktu yang lalu adalah berkat usaha dan jerih payah Sadrach semata. Kedua, menurut sudut pandangnya jemaat seribu orang yang dibaptisnya, yang dianggapnya sebagai perjalanannya yang sukses, adalah “milik” suami-istri Phillips, sedangkan Sadrach hanyal pembantu pasangan tersebut. Suatu sikap memandang rendah kepada kemampuan dan keberhasilan bangsa pribumi yang ditunjukkan oleh Vermeer. Sebagai akibat lebih lanjut dari kehadiran Vermeer adalah dengan sakitnya Ny. Phillips. Moment tersebut ternyata menjadikan permasalahan antara Sadrach dengan Vermeer semakin tajam. Sadrach merasa bahwa jemaat Kristen Jawa yang ditumbuh dan kembangkannya tersebut adalah jemaat asuhannya. Namun, di sisi lain Vermeer, dengan sakitnya Ny. Phillips, menganggap bahwa jemaat tersebut adalah asuhan Ny. Phillips, sehingga merasa bahwa jemaat tersebut layak diambil alih olehnya untuk digabungkan dengan NGZV. Masalah lain yang muncul akibat pertentangan tersebut adalah mengenai area pekabaran Injil. Bagi Vermeer, Sadrach telah melanggar batas pekabaran Injil, di mana Sadrach telah memasuki wilayah Banyumas, di mana area tersebut merupakan area kerja Vermeer yang telah ditetapkan oleh pemerintah colonial Belanda. Sementara itu, bagi Sadrach hal itu tidaklah penting. Ia tidak perlu meminta ijin untuk penginjilan, sehingga ia tidak merasa bersalah atau melakukan pelanggaran dalam penginjilan. Dalam hal ini, tampak adanya pemikiran Vermeer yang mendua. Di satu sisi, ia merendahkan Sadrach dengan menganggapnya tidak mempunyai hal untuk mengasuh jemaat karena hanya seorang pembantu dari Ny. Phillips. Namun, di sisi lain Vermeer menempatkan Sadrach sejajar dengan dirinya selaku penginjil, dengan anggapan bahwa Sadrach memasuki wilayah kerjanya. Dampak dari ketegangan tersebut membuat Sadrach hampir terputus hubungannya dengan orang-orang Belanda dan gereja Barat. Dengan Indische Kerk Purworejo, hubungannya terputus karena Pdt. Thieme memutuskan untuk berpisah dar jemaat Jawa. Dengan Vermeer, bersitegang mengenai siapa yang berhak “menguasai” jemaat Jawa. Hal ini berimbas pada pembaptisan jemaat Jawa yang terhenti untuk beberapa lama, karena Sadrach sendiri dan pasangan Phillips merasa tidak berhak melakukan pembaptisan. Dengan diserahkannya jemaat Jawa kepada Sadrach, khususnya yang merupakan hasil pekabaran Injilnya dan di sekitar wilayah Bagelen, maka Sadrach kini bisa mengembangkan jemaat asuhannya. Pusat kehidupan Kristen Jawa yang semula berada di Tuksanga kini menjadi di Karangjoso, dan dalam hal ini Sadrach mampu menunjukkan kapasitasnya selaku penginjil. Hal ini membuat para penginjil Belanda kemudian tidak memandang sebelah mata terhadap Sadrach. Sadrach kini memegang kendali dari Karangjoso dan menambah namanya menjadi Kyai Sadrach Supranata, yang artinya Kyai Sadrach yang harus berani menata jemaatnya sendiri.
Dalam perjalanan sejarah Sadrach dan karya pekabaran Injil serta pengasuhan jemaat Kristen Jawa, tampak bahwa Sadrach sendiri tidak antipasti terhadap orang asing (zendeling Barat dan zending). Dari awal mula ia menjadi seorang Kristen, ia belajar dari zendeling Jellesma di Mojowarno. Ia pun juga belajar dari zendeling Hoezoo di Semarang. Selanjutnya, ia bekerja sama dengan Mr. Anthing di Batavia, Pdt. King dan Mattheus Taffer. Kemudian ketika ia memutuskan pergi dari Batavia untuk ke Jepara, ia juga bergaul dengan zendeling Pieter Janz dari zending DZV. Dan akhirnya, Sadrach bekerja sama dengan pasangan Phillips di Tuksanga-Purworejo dan Brouwer di Kutoarjo. Kesediaannya membawa jemaatnya untuk dibaptis oleh Pdt. De Bruijn dari Indische Kerk di Purworejo, serta zendeling Vermeer dari Purbalingga, memperlihatkan bahwa Sadrach sebenarnya berkenan untuk bekerja sama dengan orang-orang dari dunia Barat untuk mengembangkan kekristenan di tanah Jawa. Namun, terkait dengan sosok yang terakhir, yakni zendeling Vermeer, ternyata menimbulkan permasalahan yang cukup pelik dan berkepanjangan antara Sadrach dengan zendeling-zendeling serta zending dari Barat. Pada perkembangan dari permasalahannya dengan Vermeer, juga seringkali membuat pemerintah Belanda turun tangan di dalamnya.
Pertikaian antara Sadrach dengan zendeling Vermeer, tampaknya dimulai terlebih dahulu oleh Vermeer. Hal ini sedikit banyak terlihat demikian jika membandingkan dengan sikap zendeling dengan para penginjil pribumi di daerah lain. Bandingkan dengan perkembangan kekristenan di Jawa Timur, di mana zendeling jellesma tidak pernah menghalangi aktivis penginjil pribumi seperti Paulus Tosari dan lainnya. Juga di daerah Jepara-Rembang di sekitar Muria, di mana zendeling Janz juga tidak bersikap negative terhadap aktivis penginjilan Kyai Tunggul Wulung. Pertikaian Sadrach – Vermeer tampaknya lebih diakibatkan karena adanya ambisi Vermeer untuk “merebut” jemaat asuhan Sadrach. Mestinya Vermeer tidak bersikap demikian, setidaknya dia beranggapan bahwa jemaat tersebut adalah asuhan Ny. Phillips dan bukan hasil usahanya. Namun, ketika Ny. Phillips sakit, moment tersebut ia gunakan untuk mengambil alih jemaat Kristen Jawa untuk digabungkan dengan jemaat hasil penginjilannya. Namun, niat tersebut bertentangan dengan Sadrach yang juga mempertahankan buah pekerjaannya. Niat Vermeer akhirnya juga mempengaruhi pemerintah colonial, dalam hal ini Residen Bagelen. Netralitas penguasa atau pemerintah dalam hal agama telah dilanggar dengan alasan ketertiban dan keamanan. Residen Bagelen mencoba menggabungkan jemaat Sadrach dengan Indische Kerk. Residen Bagelen beranggapan bahwa jemaat Sadrach tidak seharusnya lepas dari pemerintah dan berada di luar Indische Kerk. Dalam permasalahan ini, zending NGZV turut campur tangan ketika Residen Ligtvoet mempengaruinya dan mengajukan usul supaya mengirimkan Ph.Bieger ke kawasan Bagelen. Tampaknya kedatangan Bieger tersebut malah menjadikan permasalahan semakin runyam. Beiger yang ambisius rupanya kurang menghargai orang Jawa dan ia juga menginginkan “kuasa” atas jemaat Sadrach, yang jumlahnya hampir tiga ribuan. Suatu jumlah yang besar jika dibandingkan dengan jemaat asuhan Bieger di Tegal, yang hanya puluhan orang.
Ambisi Bieger yang ingin menguasai jemaat Kristen Jawa tampaknya tidak diimbangi dengan pengetahuannya yang sedikit dan rasa hormat terhadap orang Jawa. Beberapa kali usaha Bieger untuk mendekati Sadrach, demi memuluskan ambisinya, di mana ambisinya tersebut sudah diketahui oleh Sadrach, menemui jalan buntu. Beberapa kali kegagalan Bieger alami. Walaupun demikian, ia tidak menyerah. Cara halus tidak berhasil, akhirnya cara kotor ditempuh oleh Bieger. Dalam hal ini, tampak bahwa demi mewujudkan ambisinya Bieger tidak segan-segan menghalalkan segala cara. Suatu kenyataan yang berlawanan dengan nilai-nilai kekristenan, di mana Bieger sendiri tidak menyadarinya. Tuduhan atau isu lama yang dulu pernah dipermasalahkan oleh Vermeer diangkatnya kembali demi menjatuhkan Sadrach. Tuduhan tersebut ia ajukan kepada pemerintah Bagelen. Namun, setelah adanya penyelidikan Sadrach tidak bisa dipersalahkan. Gagal dengan cara tersebut, maka cara kedua pun digunakan oleh Bieger, yakni akan memisahkan jemaat jawa dari Sadrach melalui pengaruh penginjil lain, dalam hal ini adalah Kyai Abisai dan Cornelius. Keduanya diberi tugas untuk membujuk dan merayu, bahkan kalau perlu menyuap jemaat Sadrach untuk mau meninggalkan Kyai Sadrach dan bergabung dengan Bieger. Ternyata usaha kotor inipun juga gagal, karena para jemaat Sadrach ngawula terhadap Kyai Sadrach.
Suatu angin segar bagi Bieger di sela-sela kegagalannya ketika Vermeer datang ke Tanah Jawa kembali, namun dengan status sebagai zendeling bebas, bukan sebagai pekerja NGZV. Vermeer ternyata masih antusias untuk menjatuhkan Sadrach dan mengambil alih jemaat Kristen Jawa. Hal itu ditunjukkannya dengan mau bekerja sama dengan Bieger. Jika angin segar datang kepada Bieger, demikian pula halnya dengan Sadrach dengan adanya kunjungan dari Kyai Tunggul Wulung. Dua pihak tetap bersitegang, sementara di sisi lain datang juga pendeta Indische Kerk, yakni Pdt. Heyting, yang juga mempunyai konsep sama seperti Residen Bagelen, yakni mengintegrasikan Jemaat Jawa dengan Indische Kerk. Persaingan pun juga mulai terjadi dalam diri para penginjil dari Barat, yakni Heyting dengan Bieger. Namun, persaingan tersebut tampaknya terselesaikan dengan jalan keluar yang unik, terkait dengan adanya campur tangan Residen Ligtvoet, mengenai kasus cacar di Perwurejo (1882), yang melibatkan Sadrach. Terkait dengan kebijakan cacar yang dikeluarkan oleh Residen Purworejo, Bieger dalam hal ini mendapat teguran keras bahkan jika berkelanjutan dapat mengancam ijin bekerjanya selaku zendeling. Suatu perjalanan kasus yang sederhana dibanding dengan yang terjadi pada Sadrach. Sadrach dituduh melarang vaksinasi cacar pada masyarakat Bagelen. Hal ini memang benar demikian, namun dasar Sadrach melarang vaksinasi cacar adalah terkait dengan penafsirannya terhadap teks Alkitab, khususnya mengenai kata “cacat” dan “cela”. Allah dipahami oleh Sadrach tidak menghendaki adanya cacat atau cela pada tubuh umatNya secara sengaja. Sementara itu, vaksinasi cacar tentu membuat adanya cacat dan parut dalam tubuh. Ternyata, permasalahan tersebut dijadikan senjata bagi lawan-lawan Sadrach untuk menjatuhkannya dan mengambil alih jemaat Kristen Jawa. Dalam kasus ini, Residen Ligtvoet membuat keputusan memisahkan Sadrach dari umatnya, sekaligus mencopot kedudukannya selaku guru jemaat Jawa. 2 Maret 1882, Sadrach ditangkap atas pelanggara pasal 143 peraturan perundang-undangan untuk pribumi, dan ditahan di Purworejo. Penangkapan Sadrach ternyata juga berimbas pada adanya pelarangan aktifitas Jemaat Kristen Jawa dan juga pembakaran beberapa gedung kebaktian. Keadaan Sadrach bertambah semakin parah, tatkala pada 24 Maret 1882, Sadrach dinyatakan harus tinggal di Purworejo dan tidak diijinkan lagi mengajar agama. Selain itu, Sadrach juga harus menandatangani konsep surat yang isinya dia meminta maaf atas apa yang diperbuatnya dengan menentang pemerintah, serta mengucapkan terima kasih atas keringanan hukuman yang diberikan.
Tidak adanya peraturan yang menyebut secara tepat di mana Sadrach harus tinggal, maka ia memutuskan untuk bersama keluarganya tingga di rumah Bieger. Hal ini teryata merupakan strategi Sadrach untuk bangkit kembali, karena selama di rumah Bieger inilah perlawanan Sadrach secara terselubung untukbangkit kembali tampak. Selama Sadrach bertikai dengan Bieger, perselisihan tidak hanya terjadi di antara kedua pemimpin jemaat Jawa dengan Belanda tersebut. Namun, perselisihan juga terjadi dalam jemaat Kristen Jawa itu sendiri. Di satu pihak, mereka tetap merasa bahwa Sadrach adalah guru mereka, sehingga tetap setia kepada Sadrach. Namun, di pihak lain kehadiran Bieger yang tampil sebagai pengganti Sadrach membuat kerinduan jemaat Kristen Jawa akan jembatan dan penolong sebagai kaum minoritas di tengah-tengah masyarakat muslim, serta penolong dari kesewenangan peraturan pemerintah, dapat terobati. Selain itu, dengan kehadiran Bieger maka mereka dapat menerima baptisan, di mana hal tersebut lama terhenti semenjak pertikaian Sadrach dengan Vermeer. Perlu menjadi sebuah catatan, bahwa dalam waktu kurang lebih empat bulan, Bieger telah membaptis lebih dari 1600 orang. Suatu pencapaian yang luar biasa dan mungkin tidak pernah terbayangkan oleh Bieger sendiri, jika tidak ada kasus mengenai Sadrach tersebut. Suatu kenyataan yang menarik bahwa pertikaian antara dua belah pihak, antara Sadrach dengan para zendeling yang ingin mengambil alih jemaatnya, di mana mereka sama-sama mengatasnamakan kepentingan kekristenan, namun malah membuat baptisan tidak terlayankan kepada orang-orang yang bertobat.
Setelah tiga bulan berstatus sebagai orang hukuman, Sadrach pun akhirnya bisa menghirup kebebasan. Residen Ligtvoet, yang dalam kasus Sadrach telah menahan dan mencopot kedudukan Sadrach selaku guru dan pemimpin umat serta mengasingkannya, ternyata kebijakannya tersebut tidak disetujui oleh Raad van Indie (pemerintah kolonial) di Batavia. Bahkan, Raad van Indie menyatakan Residen Ligtvoet bersalah dalam tindakannya atas Sadrach dan memerntahkan supaya Sadrach dibebaskan. Pembebasan Sadrach ternyata tidak langsung dilaksanakan oleh Residen, karena baru pada 7 Juli 1882 Sadrach secara resmi bebas. Pembebasan Sadrach juga disertai dengan pulihnya status dan kedudukannya. Dengan kharismanya, maka Sadrach menguasai jemaatnya kembali yang tersebar di berbagai wilayah. Dalam hal ini, Bieger tidak bisa berbuat apa-apa. Pembebasan Sadrach dan kembalinya ia “beraksi” menandakan kekalahan yang cukup telak bagi Bieger, sehingga akhirnya ia memutuskan untuk pulang ke negerinya, setelah usulan Residen terkait dirinya supaya diangkat menjadi pembantu pendeta di Bagelen juga ditolak oleh pemerintah pusat.
Pengalaman tersebut tampaknya menjadikan suatu pembelajaran tersendiri bagi Sadrach, bahwa di antaranya ada suatu kenyataan kerinduan jemaatnya akan hadirnya pemimpin bangsa Eropa yang dapat mengisi kekurangan Sadrach selaku pemimpin pribumi. Dalam hal ini, adalah pelayanan baptisan. Selain itu, Sadrach juga menyadari perlunya seorang pemimpin yang bisa melindungi jemaat dari serangan pihak lain, para penguasa pribumi, dari umat lain, penangkapan yang semena-mena yang disertai intimidasi dan ancaman, dan lain-lain sampai pembakaran gedung gereja. Pemimpin yang juga mampu menjadi penghubung antara jemaat dengan para penguasa. Dengan demikian Kyai Sadrach menyadari perlunya menjamin kerja sama dengan zendeling kulit putih, tentunya Sadrach mempunyai catatan tersendiri, yakni asalkan tidak disertai dengan maksud mengambil alih kedudukan Sadrach ataupun memisahkan dirinya dengan jemaatnya. Dalam hal ini, Sadrach mempunyai tiga figure yang dijadikan pertimbangan. Yang pertama adalah zendeling Bieger dari NGZV, namun hal ini tampaknya tidak memungkinkan mengingat pertikaian yang sempat terjadi di antara keduanya. Yang kedua, Pdt.Heyting dari Indische Kerk. Terkait dengan Heyting, Sadrach sudah mengetahui bahwa Heyting tidak pernah melepaskan ambisinya untuk menggabungkan jemaat Jawa ke dalam jemaat Indische Kerk. Oleh karena itu, Sadrach tidak mengusahakan kerjasama dengan Heyting. Yang ketiga, yang akhirnya Sadrach mengusahakan kerjasama dengannya ialah zendeling Wilhelm, yang baru tiba di Purworejo pada 17 Februari 1881 selaku zendeling khusus yang menangani sekolah.
Kerjasama yang baik diperlihatkan oleh Sadrach dengan Wilhelm. Dalam moment-moment inilah jemaat Sadrach menyebut diri mereka dengan Golongane Wong Kristen kang Mardika. Kerjasama yang berefek positif banyak bagi jemaat Sadrach, karena di samping mereka mempunyai semangat baru, mereka juga diperbaiki dan dikuatkan dari segi iman dan pengetahuan mengenai kekristenan.di samping itu, jemaat Sadrach juga tidak menemui kendala di dalam penerimaan sakramen. Hubungan baik tersebut bahkan juga tampak melalui foto mereka yang tersebar umum, di mana Sadrach dan Wilhelm duduk di kursi yang sama tingginya. Hal ini tentunya sangat mencengangkan bagi banyak orang, khususnya kalangan zendeling Eropa sendiri. Pada umumnya, warga Negara Klas I-Eropeanen memang dibenarkan duduk di atas kursi, namun warga inlander (pribumi), pekabar Injilsekalipun, cukup duduk bersila di bawah. Foto tersebut, oleh pihak yang bersebarangan, yang notabenenya hanya berbeda dengan trapsila versi colonial, diartikan secara teologis, di mana Wilhelm dianggap ikut terpuruk dalam sinkretisme Jawa versi Sadrach. Hal tersebut rupanya menyulut beberapa zendeling NGZV untuk “menggali kapak perang” melawan Sadrach.
Hubungan baik antara Sadrach dengan Wilhelm, ternyata juga berimbas positif bagi diri Vermeer, di mana ia diterima untuk bekerja di tengah-tengah jemaat Sadrach. Bahkan, pada tahun 1887, Vermeer resmi menerima surat salah satu jemaat di Banyumas yang memintanya bertindak sebagai pendeta. Pola menjalin hubungan yang baik, serta pengembangan jemaat dan penginjilan yang dilakukan oleh Sadrach, ternyata mendapat respect yang positif dari pemerintah setempat. Residen Kutoarjo, Karanganyar, dan Kebumen, bahkan termasuk Residen Bagelen yang baru, yakni Lautier, juga menunjukkan perhatian yang besar terhadap Sadrach dan jemaatnya. Kebersamaan dan hubungan kerjasama yang baik tersebut kemudian terusik dengan kedatangan zendeling Horstman, di mana ia sebenarnya dipanggil untuk membantu jemaat Sadrach di kawasan Tegal-Pekalong dari ancaman penguasa pribumi, namun – dengan didukung zendeling Zuidema – mulai menghembus-hembuskan isu lama mengenai Sadrach. Peristiwa tersebut ternyata menyeret serta zending, yang dibuat kebingungan dengan surat-surat yang ditujukan kepada mereka. Akhirnya, zending pun mengutus Pdt. Lion Chachet untuk meninjau situasi penginjilan di tanah Jawa yang berkaitan dengan jemaat Sadrach. Lion Chachet sendiri sebelumnya belum pernah ke Jawa, sehingga tidak tahu perihal Jawa. Namun, kedatangannya yang berbekal ortodoksi kuat serta berbagai penugasan dari Sinode Umum (NGK), maupun pengurus NGZV, tetap melakukan peninjauan. Laporan Chachet atas hasil tinjauannya terhadap penginjilan di Jawa serta Sadrach dan jemaatnya, seperti yang diduga adalah negative. Laporan Chachet tersebut juga berimbas pada terputusnya hubungan kerjasama antara Sadrach dengan NGZV. Chachet bahkan telah mengajukan usulan kepada pemerintah untuk mencabut ijin kerja penginjilan Sadrach. Namun, dalam hal ini pemerintah tidak mempunyai alasan tepat untuk “memecat” Sadrach, karena ia bukan seorang penginjil NGZV. Permasalahan tersebut membawa dampak negative juga bagi Wilhelm, yang dianggap negative serta dipersalahkan oleh rekan-rekannya. Di sisi lain, ia pun juga dijauhi oleh Sadrach dan jemaatnya, seiring dengan terputusnya hubungan kerjasama tersebut. 3 Maret 1892, Wilhelm meninggal dalam suasan pertikaian antara Sadrach dengan NGZV yang masih terus berlanjut. Keterputusannya hubungan kerja sama tersebut membawa dampak perpecahan dalam diri jemaat Sadrach, di mana 150 orang menyatakan bergabung dengan zending NGZV, sementara sisanya, yakni 6374 orang tetap mengikuti Sadrach.
Terpisahnya jemaat Sadrach dengan zending NGZV membuat Sadrach menemui kesulitan lama, yakni tidak adanya pelayanan sakramen, baik perjamuan kudus maupun baptisan, bagi jemaatnya. Satu-satunya pemecahan yang terpikirkan oleh Sadrach adalah dengan mencari pihak lain yang bisa diajak bekerjasama dan berhak memberikan pelayanan sakramen. Tentu dengan catatan bahwa pihak tersebut tidak merugikan Sadrach dan jemaatnya. Terkait dengan hal tersebut, ada tiga pihak yang menjadi pertimbangan Sadrach. Yang pertama, adalah Salatiga zending. Kedua, Apostolische Kerk (Gereja Kerasulan). Ketiga, adalah dengan ZKGN, tentu dalam hal ini dengan mengesampingkan persoalan-persoalan yang ada dengan NGZV. Dengan Salatiga zending, Sadrach sempat menjalin kerjasama dengan menyerahkan penggembalaan jemaat Kendal kepada zendeling Heller. Sadrach pun juga menjalin kerjasama dengan Pdt. Adriaanse, selaku pendeta utusan ZKGN di Purworejo. Hubungan baik pun terjalin, namun tidak berlangsung lama. Hal ini dikarenakan praduga-praduga yang berkembang di antara kedua belah pihak. Adriaanse mempunyai praduga terkait dengan sinkretisme adalam ajaran Sadrach. Sementara itu, Sadrach sendiri juga mempunyai praduga bahwa Adriaanse sangat terikat dengan kebijakan pengurus zendingnya. Dengan demikian, Sadrach pun mencoba mendekati dan mengupayakan kerjasama dengan Apostolische Kerk (Gereja Kerasulan). Dalam perjalanan pendekatannya, Sadrach bertemu dengan Mr. Anthing, yang merupakan gurunya dulu, yang juga telah menjadi bagian adalam Apostolische Kerk. Kerjasama berjalan dengan baik, bahkan inisiatif Sadrach untuk menggabungkan jemaat Kristen Jawanya dengan jemaat Gereja Kerasulan disambut dengan baik. Rasul G.J. Hannibals, salah seorang Apostol Zendeling yang memimpin Apostolische Kerk di Batavia, menetapkan Sadrach sebagai Rasul Jawa. Banyak dugaan mengenai alasan menapa akhirnya Sadrach menyatukan jemaatnya dengan Apostolische Kerk dan menerima jabatan sebagai Rasul Jawa. Namun, alasan Sadrach yang agaknya tepat adalah Sadrach ingin pemeliharaan jemaatnya tetap terjaga serta menjauhkannya dari jarahan pihak-pihak lain. Secara manusiawi, hal tersebut wajar jika menjadi keinginan dan harapan Sadrach terkait dengan kehidupan jemaatnya, mengingat usianya sudah memasuki usia senja. Sejarah mengatakan bahwa status Sadrach sebagai Rasul Jawa tersebut juga diakui secara international melalui Legitimatie en Erkenningsbewijs (Surat Pengakuan) yang diterbitkan oleh Hersteld Apostolische Zendings gemeente in de Eenheid der Apostolen (HAZEA), Mei 1901. Dengan keluarnya Surat Pengakuan atas diri Sadrach tersebut, jemaat Kristen Jawa asuhan Sadrach yang semula menyebut dirinya sebagai Golongane Wong Kristen kang Mardika kini sebutannya menjadi Gereja Hersteld Apostolische Zendings gemeente in de Eenheid der Apostolen/ Hersteld Apostolische Gemeenten, atau sederhananya disebut sebagai Gereja Kerasulan. Mereka kini tetap menjadi jemaat yang merdeka dan menjadi suatu bagian jemaat gereja yang diakui, sekaligus dilindungi keberadaannya oleh undang-undang.
Dalam perkembangannya, Gereja Kerasulan di bawah asuhan Sadrach mampu berkembang dengan kemandiriannya serta kebersamaannya dengan Apostolische Kerk. Dalam perjalanan hidupnya, Sadrach pun akhirnya menemui suatu masalah yang dihadapi oleh semua manusia, yakni kematian. Saat-saat menjelang kematiannya, Sadrach yang sempat mengalami kebingungan akan siapa yang akan menjadi penerus atau pengganti menjadi rasul, akhirnya menunjuk dan memutuskan bahwa anak angkatnyalah, yakni Jotham Martaredja, menjadi rasul berikutnya. 14 Noveber 1924, Sadrach akhirnya meninggal tanpa sakit apapun. Di dalam upacara pemakamannya sempat hadir juga beberapa pejabat pribumi dan pejabat Belanda, beberapa pekabar Injil, dan juga orang-orang dari ZGKN. Hal tersebut secara tidak langsung memperlihatkan bagaimana hubungan baik yang selama ini dijalin oleh Sadrach. Kebersamaan dengan pemerintah setempat, baik pribumi maupun colonial, serta ZKGN, dalam rangka perkembangan kekristenan, khususnya jemaatnya.
Terkait dengan Jotham, pada dasarnya mempunyai dilemma tersendiri atas penunjukan dirinya menggantikan ayah angkat, yakni Sadrach, untuk menjadi rasul berikutnya. Hal ini dikarenakan Jotham yang selama masa mudanya dididik dengan pemahaman dogmatis dan structural ajaran gereformeerd, yang dipelajarinya di sekolah zending. Berbeda dengan ayah angkatnya yang dalam perjalanan hidupnya tidak mengenyam bangku pendidikan secara structural dan hanya menyerap pengetahuan dari Jellesma, Kyai Tunggul Wulung, Mr. Anthing, dan Mattheus Taffer, sehingga tampaknya kurang memperhatikan dan menyadari permasalahan dogmatika dan struktur modern seperti yang diajarkan dalam sekolah zending. Di satu sisi, pemikiran Jotham diwarnai dengan dogmatika dan pengetahuan structural ala gereja gereformeerd. Namun, di sisi lain ia juga tidak bisa melepaskan peranannya serta ajaran Kerasulan. Hal inilah yang membuat dilemma dalam diri dan hati Jotham, tatkala kesanggupannya untuk menjadi rasul dipertanyakan oleh Rasul Schmitz. Jotham sebenarnya bisa dikatakan lebih maju secara pemikiran daripada ayah angkatnya, yakni Sadrach. Jothamdengan cepat mengetahui “masa depan” Gereja Kerasulan, yang jika tetap bertahandengan pola struktur serta ajarannya maka akan mengalami ketertinggalan zaman, karena di sisi lain gereja gereformeerd, dalam hal ini ZKGN, telah berkembang maju di dalam era zaman tersebut. Hal ini membuat Jotham mempunyai keinginan untuk pada suatu saat nanti membawa Kerasulan bergabung dengan ZKGN. Dalam hal tersebut, Jotham mempunyai pemikiran yang visioner dan realistis, berbeda dibanding dengan Sadrach.
Impian Jotham memang tidak mudah terealisasikan, mengingat konteks sejarah jamaat Sadrach yang mempunyai pengalaman pahit dengan “penggabungan” dan dilemma hati Jotham sendiri. Di satu sisi, Jotham jika menerima jabatan rasul atas dirinya maka akan membuat dia tampak seperti anak berbakti, karena bersedia menjadi penerus ayahnya dan mendapat dukungan penuh dari para pengikut Sadrach. Namun di sisi lain, Jotham sendiri ragu akan jabatan rasul pada dirinya, terkait juga dengan impian dan pandangan visionernya akan kelangsungan hidup Gereja Kerasulan di masa depan. Jotham teryata memiliki keberanian dengan mengambil langkah yang cukup mengejutkan berbagai pihak, khususnya jemaat Kerasulan sendiri. Ia memilih untuk menolak jabatan rasul dan bermaksud untuk bergabung dengan ZKGN di masa depan. Tampaknya, rasul Schmitz yang dalam hal ini mengerti keadaan Jotham mencoba untuk mengadakan percakapan dengan Jotham, disertai dengan kehadiran para sesepuh kerasulan. Dalam percakapan tersebut, Jotham akhirnya berhasil diyakinkan oleh rasul Schmitz dan para sesepuh kerasulan untuk mencabut surat jawabannya, kemudian menerima jabatan rasul atas dirinya. Berdasarkan surat kuasa yang diterima oleh Rasul Schmitz dari Johanes Hendrik van Ossbre Rasul De Heersteld Apostolische Zending Gemeente in de eenheid der Apostolen in Nederland en Kolonien tertanggal 12 Januari 1925, maka Jotham ditetapkan sebagai rasul dari jemaat-jemaat Jawa yang tergabung dalam Heersteld Apostolische Zendinggemeenten in de Eenheid der Apostolen pada tanggal 13 April 1925. Gereja Kerasulan pun juga turut berubah nama menjadi Gereja Kerasulan “Zebulon”.
Dengan menerima jabatan sebagai rasul, bukan berari Jotham melepas impian dan harapan untuk menggabungkan diri dengan ZKGN, demi kelangsungan hidup jemaat. Jotham tetap berusaha mengembangkan dan mengasuh jemaat peninggalan Sadrach, ayah angkatnya. Jotham ternyata mampu tampil sebagai pemimpin yang berbeda dengan ayah angkatnya. Namun, justru kepemimpinan Jotham pada saat itu dipandang lebih kontekstual dengan perkembangan zaman pada saat itu. Oleh sebab itu, tidak salah kiranya jika para pendeta utusan ZGKN memuji Jotham sebagai bapa rohani “jauh lebih baik dibandingkan dengan Sadrach” dalam berbagai segi. Suatu penilaian yang tampak berat sebelah. Padahal, baik ayah maupun anak, keduanya telah tampil sebagai pemimpin jemaat Jawa sesuai dengan zamannya. Jika Sadrach cenderung menggunakan metode ngadu ngelmu, maka dalam era kepemimpinan Jotham, justru gaya rasional Jotham serta sikapnya yang lebih terbuka tepat dikenakan pada jemaat Kristen Jawanya agar dapat bertahan dalam kemajuan zaman. Harapan Jotham untuk menggabungkan diri dengan zending di bawah ZKGN, tampaknya bisa dikatakan sebagai harapan instan. Hal ini dikarenakan adanya pemikiran akan kesulitan dan kendala, terutama masalah dana dan sumber daya manusianya. Jika harus membangun sekolah-sekolah, rumah sakit, pembelajaran guru Injil, maka tampaknya hal tersebut sangat jauh sekali untuk direalisasikan jika dengan pola jemaat kerasulan pada waktu itu. Oleh karena itu, jalan termudah dan aman adalah dengan menggabungkan diri dengan zending atau ZKGN. Tentu Jotham yang mengetahui pengalaman pahit pertikaian antara ayahnya dengan para zendeling dan zending tetap menjadi catatan bagi Jotham dalam menentukan langkah kebijakan.
Kepiawaian Jotham dalam mengasuh jemaat peninggalan Sadrach, di samping juga Jotham mengharapkan penggabungan dengan ZKGN, tampak dari adanya upaya Jotham di dalam melakukan kerjasama dengan ZKGN. Beberapa mengadakan peribadah bersama, menjalin relasi pribadi dengan para pekerja ZKGN, dan di sisi lain memotivasi secara perlahan dan halus jemaatnya untuk mendekatkan diri kepada jemaat zending. Setelah delapan tahun proses usaha mendekatkan jemaat kerasulan dengan gereja asuhan zending, maka pada tahun 1933, Abraham Wangsaredja menyatakan diri – melalui rasul Jotham – bahwa jemaat kerasulannya siap untuk digabungkan dengan gereja zending. Menanggapi hal tersebut, para pendeta utusan ZKGN pun juga menanggapinya secara hati-hati, mengingat pengalaman sejarah yang cukup pahit di antara kedua belah pihak, antara kerasulan dengan zending. Menyikapi hal tersebut, ZKGN pun menyarankan supaya Jotham, sebagai tindak pengamanan, melakukan sosialisasi terhadap jemaat kerasulan yang diasuhnya. Selama kurang lebih dua-tiga bulan sosialisasi, Jotham pun menemui kenyataan bahwa masih banyak jemaat kerasulan yang menolak untuk menggabungkan diri dengan gereja zending. Di satu sisi, mereka tetap mengakui Jotham sebagai rasul dan pemimpin mereka. Namun di sisi lain, mereka menolak penggabungan dengan alasan ingin mempertahankan kemederkaannya dari campur tangan pemerintah atau zending. Akhirnya, dari 86 jemaat kerasulannya, 31 jemaat menyatakan siap bergabung – baik dengan ZKGN maupun Salatiga Zending, 40 jemaat menolak dengan tegas, dan sisanya cenderung bersikap netral dan bersatu dalam Pasamoewan Kristen Djawi Netral. Terkait dengan jemaat netral tersebut, pada tahun 1934 akhirnya menggabungkan diri dengan zending, karena merasa kesulitan dalam pelaksanaan pelayanan sakramen dan pelaksanaan tata gereja, karena keadaanya yang serba tertutup dan mengasingkan diri.
Dengan demikian, dalam perjalanan sejarah Sadrach, pembinaan jemaat awal sampai terbentuk jemaat kerasulan, sampai pada proses penggabungan dengan gereja zending juga diwarnai dengan kebersamaan dan konflik perpecahan. Kebersamaan Sadrach dengan para zendeling di satu sisi juga diwarnai adanya pertikaian di sisi lain. Kerjasama dengan para zendeling dan zending, serta Residen pun juga demikian. Pada akhirnya, berdasarkan pemikiran Jotham, apabila ditarik lebih luas lagi, maka tampak bahwa sebenarnya kemandirian jemaat kerasulan dengan pola kehidupannya dipandang, khususnya oleh Jotham sendiri, tidak akan mampu mengimbangi arus zaman. Berbeda halnya jika menggabungkan diri dalam kebersamaan dengan gereja zending, yang bisa dikatakan mempunyai struktur gerejawi yang cukup maju pada waktu itu. Penggabungan jemaat kerasulan di bawah kepemimpinan Jotham ke dalam gereja zending adalah merupakan suatu perkembangan kekristenan, khususnya GKJ, yang sangat baik. Mengingat bahwa jumlah jemaat kerasulan itu banyak, sekalipun sudah terpecah-pecah, maka selain jemaat gereja zending bertamah, maka area pelayanan zending pun juga bertambah luas. Tampaknya perlu diingat juga, bahwa secara kualitas penggabungan tersebut tidak terlalu berpengaruh bagi zending. Hal ini dikarenakan gereja zending telah lebih maju daripada jemaat kerasulan (bandingkan dengan pemikiran Jotham mengenai penggabungan). Namun, penggabungan tersebut tetap merupakan suatu fakta sejarah yang sedikit banyak membuat GKJ semakin berkembang.

-          Jemaat Gereja Zending – lahirnya sinode GKJ[16]
Sejarah kekristenan, khususnya GKJ, mengakui bahwa munculnya jemaat sembilan yang mulanya di bawah asuhan Ny. Oostrom adalah cikal bakal pertama jemaat GKJ. Tumbuhnya jemaat tersebut kemudian disusul dengan adanya cikal bakal kedua, jemaat kecil di bawah asuhan pasangan Phillips. Dengan mengesampingkan sejenak jemaat kerasulan yang pada saatnya nanti juga bergabung dan turut “meramaikan” kehidupan GKJ, maka tampak bahwa pengembangan jemaat GKJ adalah berawal dari dua cikal bakal jemaat di atas.
Tumbuhnya kelompok Kristen awal ini segera disusul oleh tumbuhnya kelompok lain hasil pekabaran injil Nederlandche Gereformeerde Zendingvereniging (NGZV) yang mulai bekerja di Jawa Tengah sejak 1865 di Tegal (Muaratuwa) dan Purbalingga (plus Bobotsari dan Bojong), yang nantinya diambil-alih oleh Zending Gereformeerd Kerken (ZGK) sejak tahun 1896 dan dikembangkan dengan pusat-pusat penginjilan dari kota-kota Purworejo – Temon, Kebumen, Yogyakarta, Surakarta, Banyumas-Purbalingga serta Magelang Temanggung, semuanya di kawasan Jawa Tengah Selatan (Jawa Tengah Utara menjadi ladang pekabaran Injil Salatiga Zending). Sejak ini muncullah puluhan pepanthan di sekeliling tiap-tiap pusat penginjilan di luar kelompok yang lama maupun kelompok "Wong Kristen Merdhiko". Namun yang jelas, hampir semua warga gereja Jawa ini berlatar belakang petani miskin dan buta aksara. Hanya berkat jasa pelayanan sekolah dan rumah sakit yang diselenggarakan zending, secara lambat namun pasti generasi kedua warga Gereja Jawa bergeser, mereka mulai melek huruf, sebagai akibat pendidikan di sekolah maupun di rumah sakit zending sebagian generasi kedua ini beralih profesi menjadi guru dan perawat serta pegawai berbagai bidang pelayanan masyarakat termasuk di pemerintahan desa. Dari generasi kedua inilah kemudian lahir generasi ketiga warga geraja Jawa pra dan pasca kemerdekaan yang educated minded, yang dizaman kolonial didorong dan difasilitasi untuk belajar tidak hanya di "Volkschool" dan "Vervolgschool" namun juga di "Schakelschool", HIS, MULO, bahkan "Kweekschool" dan HIK.
Yang jelas pertumbuhan gereja Jawa (di luar "Golongane Wong Kristen “Jowo” kang Merdhiko" yang masih belum bergabung dalam asuhan zending), apalagi sejak 1900, sangat ditentukan oleh metoda dan realisasi pekabaran Injl Zending ZGK yang tergelincir kepada kenyataan yang menyebabkan gereja Jawa tumbuh dalam ketergantungan yang akut pada para Pendeta Missi dan zendingnya.
Pendewasaan pepanthan Gereja-gereja Jawa pertama kali terjadi atas gereja Purworejo (4 Februari 1900) tak lama kemudian disusul pepanthan Temon. Namun pendewasaan ini ternyata lebih bersifat pamer kebisaan kepada Golongane Wong Kristen “Jowo” kang Merdhiko pimpinan Kyai Sadrach untuk membuktikan bahwa zending tidak bermaksud lain kecuali mendirikan gereja-gereja Jawa dengan pendeta-pendeta Jawa. Tanpa topangan zending, pendewasaan kedua gereja ini hanyalah ketergesaan semata. Mungkin baru pada pendewasaan kelompok Glonggong - Kebumen (3 November 1911) dan kelompok Gondokusuman Yogyakarta (23 November 1913) pendewasaan gereja ini agak cukup pantas disebut lebih dapat dipertanggungjawabkan. Baru sesudah berjalan 26 tahun hanya Gereja Gondokusuman yang pertama kali siap memanggil pendeta atas diri Ds. Ponidi Sopater pada tahun 1926 dari antara 17 gereja Jawa yang sudah didewasakan oleh zending yaitu Purworejo, Temon, Glonggong, Gondokusuman, Solo, Klaten, Tungkak, Patalan, Candisewu, Magelang, Kesingi, Palihan, Kebumen, Grujugan, Purbalingga, Grendeng dan Adireja.
Gereja-gereja ini menggeliat dibawah pimpinan Guru-guru Injil didikan "Opleiding School van de Helper bij de Dienst Woords" (Sekolah bagi Pembantu-pembantu Pada pelayanan Firman Tuhan/Sekolah Guru Injil) Yogyakarta dibantu serta oleh guru-guru sekolah zending dan mantri jururawat rumah sakit dan poliklinik zending. Merekalah para penumbuh dan pemimpin gereja Jawa sesungguhnya, namun di bidang dana dan ajaran ketergantungan gereja-gereja ini pada zending ZGK masih merupakan keniscayaan yang tidak bisa ditutup-tutupi.
Jika pada tanggal 17-18 Februari 1931 gereja-gereja Jawa yang saat itu menamakan diri "Pesamoewan Kristen “Gereformeerd” ing Tanah Djawi Tengah sisih Kidoel", yang masing-masing mengelompok dalam 5 klasis bersinode pertama di Kebumen, ini menjadi tonggak pertama persidangan sinode Gereja-gereja Jawa Tengah Selatan untuk disusul dengan sinode-sinode berikutnya, walaupun peran serta para Pendeta Missioner ZGK masih cukup besar untuk menuntun para pemimpin gereja Jawa berjalan menapaki kedewasaannya yang masih rapuh ini.

Berdasarkan perjalanan sejarah gereja, khususnya bagaimana GKJ berkembang, tampak bahwa kebersamaan menjadi satu hal yang tidak pernah bisa dilepaskan. Walaupun di tengah jalan kebersamaan tersebut tampak seperti terputus, yakni tatkala kekeristenan yang diasuh dan dikembangkan oleh Sadrach berlainan “jalan” dengan gereja zending, namun perjalanan sejarah tersebut sebenarnya tidaklah memperlihatkan keduanya sebagai dua bagian yang terpisah. Zending dalam pekerjaan pekabaran Injilnya di tanah Jawa selalu bersinggungan dengan jemaat yang diasuh Sadrach. Singgungan-singgungan yang terjadi tidaklah melulu konflik, namun juga diwujudkan dalam kerjasama. Ketika moment penggabungan jemaat kerasulan dengan gereja zending, suatu hal yang menarik adalah bahwa keduanya berkembang secara berbeda dan ketika bergabung menunjukkan bahwa kedua jemaat tersebut adalah saling melengkapi. Di satu pihak, gereja zending kurang berkembang secara kuantitas, karena berbagai konsep dan pendekatan yang agaknya kurang kontekstual dan “menyentuh” masyarakat Jawa dengan budayanya. Namun, gereja zending secara struktur, teologi, pengetahuan Injil, dan ke-organisasian telah berkembang jauh daripada jemaat kerasulan yang diasuh dan dikembangkan oleh Sadrach. Kelemahan dari segi kuantitas tersebut “dilengkapi” oleh jemaat kerasulan, yang di pihak lain, jumlahnya jauh lebih besar daripada jemaat gereja zending. Hal tersebut dikarenakan metode pekabaran Injil yang dilakukan oleh Sadrach bisa dikatakan kontekstual, untuk saat itu, sehingga mampu “menyentuh” masyarakat Jawa beserta budayanya. Kelemahan jemaat kerasulan secara oragnisatoris, struktur, dan teologi pun bisa terlengkapi oleh gereja zending. Tampak bahwa ketika masing-masing jemaat tersebut berjalan “sendiri”, maka justru pada masa-masa itulah masing-masing jemaat tersebut mengembangkan dirinya. Suatu perjalanan sejarah gereja yang unik, mengingat kedua jemaat yang tadinya terpisah, mengembangkan diri menurut jalan dan polanya masing-masing – walaupun beberapa waktu sempat bekerja sama, namun pada akhirnya bergabung dalam kebersamaan, yang menjadikan kedua jemaat tersebut menjadi satu jemaat Kristus yang eksistensinya diakui dan patut dibanggakan oleh setiap warga gerejanya, yakni GKJ.
Kebersamaan tidak hanya merupakan definisi atau konsep yang terkandung dalam pemahaman hidup bergereja. Namun, kebersamaan juga merupakan “sesuatu” yang melekat erat, disadari atau tanpa disadari, dalam kehidupan gereja. Terkait dengan hal tersebut, apakah sejarah GKJ Grogol Sukoharjo juga memperlihatkan “kebersamaan”? Ataukah “kebersaman” hanyalah suatu fenomena, yang belum tentu dialami oleh setiap gereja?

C.    Sejarah GKJ Grogol Sukoharjo
GKJ Grogol Sukoharjo merupakan salah satu GKJ, yang terletak di daerah Sukoharjo – Solo Baru, di mana GKJ Grogol Sukoharjo mempunyai dua area peribadahan, yakni di Grogol dan Telukan. Salah satu hal yang menarik dari GKJ tersebut adalah bahwa masing-masing area peribadahan tersebut mempunyai pola dan sejarah yang berbeda.

-          Sejarah GKJ Grogol di Grogol[17]
Perkembangan jemaat GKJ Grogol jika melihat sejarah tumbuh dan berkembangnya, tampaknya tidak bisa dilepaskan dari kegiatan masyarakat yang ada pada waktu itu, yakni kursus njarumi yang diprakarsai oleh Ibu Harsono di awal tahun 1960-an. Di dalam kursus njarumi tersebut, Injil juga diberitakan. Salah satu hal yang menarik adalah ketika banyak orang di wilayah Babadan, yang merupakan area cikal bakal jemaat GKJ Grogol, menjadi murid Sekolah Minggu dan senantiasa belajar Injil mendapat ketenangan dan keamanan secara batin dari mitos “roh gaib” di wilayah tersebut. Tampaknya, semenjak peristiwa tersebut terjadi, banyak orang yang menjadi simpati dan tertarik untuk mengikuti kursus njarumi sekaligus mendengarkan Injil. Hal ini terbukti ketika peserta njarumi tersebut semakin bertambah menjadi 60-an orang. Ketika jumlah tersebut semakin bertambah, muncul permasalahan, baik dari masyarakat sekitar maupun pihak pemerintah. Permasalahan tersebut terjadi tatkala ada beberapa orang dari pihak pemerintah yang mengklarifikasi mengenai kegiatan njarumi dan pemberitaan Injil tersebut. Namun, Ibu Harsono selaku penanggung jawab kegiatan tersebut mampu “mempertahankan” kursus njarumi dan pemberitaan Injil di dalamnya. Permasalahan dari masyarakat muncul seiring dengan adanya peristiwa Gestapu/ PKI. Banyak warga masyarakat sekitar yang menjadi tidak suka dengan orang Kristen dan seringkali mengancam, bahkan melempari batu. Terkait dengan masalah tersebut, orang Kristen di Babadan tidak terpancing dan melawan. Justru dengan aanya sikap yang ditunjukkan tersebut, warga masyarakat pun akhirnya menjadi simpati, bahkan ada pejabat kelurahan yang kemudian masuk menjadi Kristen beserta keluarganya.
Pengembangan kekristenan di daerah Babadan dan Grogol mulai tampak jelas tatkala para penginjil dari GKJ Joyodiningratan turut serta di dalamnya (tahun 1967). Para penginjil tersebut adalah Bp. Suharno Pranotosuwignyo, Bp. Sukirno, dan Bp. Suwito Adi Raharjo. Pada moment-moment inilah kegiatan-kegiatan atau persekutuan kristiani mulai terbentuk, seperti Pemahaman Alkitab, koor, Sekolah Minggu, dan sebagainya, yang dibimbing oleh Bp. Soewarno, Bp. Harsono, Bp. Broto Taruno, Bp. Wiyono, dan beberapa orang lainnya. Dalam masa ini juga sudah mulai diadakan katekisasi di rumah Bp. Harsono, di mana pada awalnya beliau-lah yang mengajar katekisasi namun kemudian digantikan oleh Bp. Broto Taruno, yang secara bergantian mengajar dengan Bp. Robin dan Bp. Soewarno. Tampaknya, tahun 1967 adalah “tahunnya” GKJ Grogol. Hal ini dikarenakan pada tahun tersebut, tepatnya 14 Desember 1967 dan melalui sidang pleno majelis, jemaat di Grogol menjadi pepanthan Grogol GKJ Joyodiningratan. Bahkan, pada bulan yang sama, di pepanthan Grogol sudah diadakan ibadah perayaan Natal yang pertama kali, yang bertempat di rumah Bp. Mangoen Soewito.
Memasuki tahun 1968, kegiatan umat Kristen semakin marak dan berkembang di pepanthan Grogol. Hal ini tampak dalam adanya ibadah perdana pada tanggal 14 Januari 1968, yang bertempat di rumah Bp. Lettu Dibyo Suparno, yang dihadiri oleh 30 orang lebih dan dilayani oleh Bp. Darmo Sutrisno (warga GKJ Joyodiningratan). Selain kegiatan “wajib” gereja, yakni katekisasi, Sekolah Minggu, dan peribadatan, di samping kursus njarumi tetap berjalan maka ditambah juga kegiatan untuk semakin menambah dan memantapkan kebersamaan intern, yakni kegiatan pemuda di antaranya adalah koor, PA, olah raga (mempunyai tim bola volley “Golgota”). Selain membina kebersamaan intern, kebersamaan ekstern juga mulai tampak dengan adanya pelayanan koor ke pepanthan GKJ Joyodiningratan yang lain, yakni pep. Baki, pep. Sanggrahan, pep. Kronelan.
Pada bulan Oktober 1969, tempat ibadah pindah ke Turiharjo, termasuk dalam tahun tersebut juga perayaan Natal, yang diadakan di rumah Bp. Donosupitro. Pada bulan April 1970, peribadahan berganti tempat di rumah Bp. Sumantri dan Bp. Sukiyatno. Selama masa tersebut, peribadahan masih berpindah-pindah tempat dikarenakan belum mempunyai tempat ibadah secara permanen. Baru pada tahun 1971, Bp. Soewarno menyediakan tanahnya di Babadan sebagai gedung gereja sementara. Pembangunan pun dilakukan secara gotong royong oleh segenap warga pep. Grogol. Dalam pembangunan tersebut, GKJ Joyodiningratan selaku induk juga memberikan kontribusi dana. Setelah pembangunan selesai, gedung ibadah tersebut digunakan untuk peribadahan dan kegiatan gerejawi lainnya hingga tahun 1977. Pada saat itu, pep. Grogol sudah mulai mengadakan ibadah secara rutin. Di samping itu, kegiatan gerejawi lainnya juga berjalan, demikian pula kegiatan bersama dengan masyarakat. Seiring dengan kemajuan pertumbuhan umat Kristen di pep. Grogol, maka warga jemaat bersama-sama menyokong pembelian tanah yang rencananya akan dibangun gedung ibadah yang permanen, yakni tanah seluas 300 m2 di dusun Soka. Namun, pada masa itu jemaat belum merealisasikan pembangunan gedung gereja. Hal ini bisa jadi dikarenakan oleh dana yang mungkin belum ada untuk merealisasikan bangunan gedung gereja. Namun, bisa jadi juga karena adanya kemungkinan lain untuk tempat ibadah yang permanen, yakni di tanah desa di dekat balai desa. Perjuangan untuk memperoleh tanah pemerintah tersebut dimulai pada tahun 1975,oleh Bp. Soewarno dan Bp. Sri R.Sukoco. perjuangan tersebut membuahkan hasil, tatkala pada April 1976 di dalam Rembug Desa, usulan pembagian tanah untuk pendirian gedung gereja disetujui. Namun, karena tanah di dekat Balai Desa sudah habis, maka diberilah tanah di daerah Nampan, dekat dengan lapangan Wirogitan (lokasi gedung gereja saat ini). Adapun peletakan batu pertama dalah pada tanggal 17 Agustus 1976, di mana tanggal tersebut ditetapkan sebagai berdirinya gedung gereja GKJ Joyodiningratan Pept. Grogol (nama pada waktu itu).
Sekali lagi kebersamaan diperlihatkan dalam perjalanan pembangunan gedung ibadah ini. Selain diwujudkan dalam kepanitiaan, dalam proses pembangunan juga demikian. Dari pengumpulan material, dana, maupun pelaksanaan pembangunan. Ketika gedung ibadah sudah berdiri dan layak digunakan, walau belum selesai secara keseluruhan, namun pada saat itu sudah mulai digunakan untuk peribadahan, yang diadakan pertama kali pada 4 Desember 1977. Dalam perkembangan waktu berikutnya, proses pembangunan gedung gereja tetap dilaksanakan setahap demi tahap. Pada masa-masa ini, ada hal yang menarik, yakni mengenai kebersamaan para pemuda gereja yang hampir setiap malam bermalam dan menjaga gereja. D antaranya adalah Bp. Waluyo, Bp. Sriyanto, Bp. Warsito, Bp. Wayono, Bp. Asnan, dan Bp. Yuwono (kembar). Di samping itu, kebersamaan juga selalu tampak dalam kegiatan-kegiatan gerejawi lainnya di antara warga jemaat satu sama lain. Pembangunan gedung gereja tahap 2, yang selesai pada 2 Desember 1985, pembangunan dan pengembangan TK Asih IV, dan lain sebagainya.
Kebersamaan yang menjadi semangat membangun dan mengembangkan gereja akhirnya membawa perjalanan GKJ Joyodiningratan Pept. Grogol menuju ke pendewasaan. Rapat Majelis GKJ Joyodiningratan pada 16 November 1993, telah mempertimbangkan bahwa jemaat di Pept. Grogol disetujui diusulkan dalam Sidang Klasis GKJ Sala XII, menjadi gereja dewasa dan mandiri. Kemudian pada rapat selanjutnya, yakni tanggal 14 Desember 1993, disepakati nama yang akan digunakan oleh Pept. Grogol selepas dewasa nanti, yakni GKJ Grogol Sukoharjo. Dalam hal ini, setelah dewasa nanti akan bergabung dengan klasis Wonogiri. Hal ini dikarenakan bahwa di klasis Sala telah banyak GKJ yang besar dan maju. Berbeda dengan klasis Wonogiri. Oleh karena itu, dengan bergabung ke klasis Wonogiri maka akan dapat lebih mudah mengembangkan diri dan sekaligus mengembangkan klasis Wonogiri. Pada tanggal 28 Desember 1993, Majelis GKJ Joyodiningratan akhirnya mengirimkan surat kepada sidang klasis Sala XII mengenai usulan pendewasaan GKJ Joyodiningratan Pept. Grogol. Usulan tersebut disetujui dan 2 tahun sebagai masa persiapan tampaknya sudah cukup bagi Pept. Grogol untu dewasa. Akhirnya, pada 5 Juli 1995, GKJ Joyodiningratan Pept. Grogol didewasakan dan di tanggal tersebut juga diadakan ibadah pendewasaan serta penetapan majelis GKJ Grogol.
Selama GKJ Grogol-Sukoharjo masih menjadi Pepanthan dari GKJ Joyodiningratan, peran GKJ Joyodiningratan selaku gereja induk yang tercatat dengan jelas dalam perjalanan sejarah, berdasarkan Buku Hut ke 11, GKJ Grogol Sukoharjo, adalah sebagai berikut:
1.      Kegiatan  PI yang dilakukan oleh beberapa orang Kristen pada waktu itu di daerah kecamatan Grogol, ternyata telah menarik minat beberapa orang lainnya untuk masuk menjadi seorang Kristen. Dalam hal ini, peran mula yang dilakukan oleh GKJ Joyodiningratan adalah melalui sidang majelis pleno, 14 desember 1967, memutuskan bahwa orang-orang Kristen yang berhimpun dalam sebuah gereja di Grogol ditetapkan sebagai pepanthan Grogol GKJ Joyodiningratan.
2.      Adanya pemberian ijin untuk dilaksanakannya pelayanan katekisasi di Grogol, serta peribadatan lainnya (menyangkut juga sekolah njarumi, sekolah minggu, serta kegiatan pemuda).
3.      Bantuan dana sebesar Rp. 7.500, - dari hasil riyaya unduh-unduh guna pembangunan bangunan/gedung peribadatan darurat.
4.      Membantu adanya kegiatan-kegiatan yang ada di GKJ Grogol, seperti koor, pemuda, juga kegiatan gerejawi ataupun masyarakat lainnya.
5.      Pemberian bantuan dana, material, serta tenaga dari para jemaat guna pembangunan gedung gereja yang ada di Nampan (sekarang).
6.      Pengembangan pelayanan di bidang pendidikan, yakni dengan mendirikan TK Kristen Asih II (Yayasan Asih – GKJ Joyodiningratan).
7.      Pengadaan program penyegaran guru-guru Sekolah Minggu setiap 4 bulan sekali.
8.      Membantu kepengurusan status tanah di Grogol.
9.      ‘Mengalah’ dan menyerahkan kelompok Telukan untuk menjadi bagian dari GKJ Joyodiningratan Pepanthan Grogol. Hal ini guna pengembangan jemaat dari GKJ Grogol itu sendiri.
10.  Membentuk panitia pendewasaan pepanthan GKJ Joyodiningratan di Grogol untuk menjadi GKJ Grogol Sukoharjo, dengan mengikutkan kepada klasis Wonogiri.

Jika melihat perjalanan sejarah GKJ Grogol seperti di atas, maka tampak bahwa pada mulanya GKJ Grogol terbentuk dari adanya kebersamaan orang Kristen (warga GKJ Joyodiningratan) di daerah Babadan. Dalam perkembangan waktu, kebersamaan ini menemui kendala dari pemerintah dan masyarakat sekitarnya. Namun, dengan semangat kebersamaan dan kasih, maka jemaat di Grogol bisa tetap bertahan dan justru semakin berkembang. Kebersamaan yang ada semakin berkembang tatkala GKJ Joyodingratan mulai turut serta dalam penginjilan dan pengembangan jemaat (para penginjil). Perkembangan jemaat akhirnya membuat jemaat di Grogol ditetapkan sebagai pepanthan dari GKJ Joyodiningratan. Hal ini tidaklah mengartikan perpecahan, namun justru mengembangkan kebersamaan secara intern. Dan dengan ekstern dengan tetap terikat sebagai pepanthan GKJ Joyoningratan. Kebersamaan tersebut selalu tampak dalam pembangunan serta pengembangan jemaat dan gedung peribadahan, hingga sampai dewasanya Pept. Grogol menjadi GKJ Grogol Sukoharjo. Sebuah perjalanan sejarah gereja dari awal mula hingga dewasanya, yang selalu menampakkan sekaligus membuktikan bahwa kebersamaan tidak hanya sebagai konsep atau tugas gereja dan umat Kristen, namun dengan sendirinya melekat erat dalam kehidupan orang percaya selaku bergereja. Jika sejarah GKJ Grogol di Grogol adalah demikian, maka bagaimanakan perjalanan sejarah bagian GKJ Grogol Sukoharjo yang lainnya, yakni GKJ Grogol di Telukan? Apakah kebersamaan juga melekat erat dalam perjalanan sejarahnya?

-          Sejarah GKJ Grogol di Telukan[18]
Jika GKJ Grogol di Grogol berawal dari beberapa jemaat GKJ Joyodiningratan, yang kemudian bertambah dan berkembang menjadi pepanthan, yang akhirnya dewasa, maka berbeda halnya dengan GKJ Grogol di Telukan. Adanya gereja di Telukan adalah berawal mula dari komunitas atau pembangunan kompleks perumahan Telukan. Sudah menjadi suatu aturan pemerintah, bahwa siapa saja investor yang ingin membuka lahan baru, maka harus menyediakan sarana umum, termasuk tempat peribadahan. Maka, dibuatlah lahan yang saling bersebelahan. Bagian Utara untuk Gereja Protestan dan Selatan untuk Gereja Khatolik. Sementara itu, di daerah Telukan sendiri pun juga ada beberapa keluarga Kristen. Mereka lalu membentuk suatu persekutuan bersama yang disebut dengan Persekutuan Umat Kristen Perumahan Telukan (1981). Mengingat kelompok tersebut belum memiliki tempat peribadahan sendiri, maka untuk sementara meminjam tempat Bp. Pdt. Suharno Pranoto (pendeta GKJ Joyodiningratan). Kegiatan atau persekutuan bersama inilah yang merupakan cikal bakal jemaat GKJ Grogol di Telukan.
Karena merupakan sebuah perumahan baru, maka banyak muncul para pendatang, baik yang beragama Kristen maupun non-Kristen. Khususnya bagi warga Kristen, baik Protestan maupun Katholik, ternyata mereka mempunyai suatu kerinduan yang kurang lebih sama, yakni bisa berelasi dengan masyarakat di mana mereka tinggal, khususnya dengan yang seiman. Kerinduan akan kebersamaan tersebut akhirnya terwujud dalam suatu ibadah oikumene. Persekutuan tersebut, selain umat Katholik, terdiri dari warga GKJ Joyodiningratan dan beberapa GKJ di sekitarnya, seprti GKJ Manahan, GKJ Margoyudan, GKJ Danukusuman, dll. Persekutuan oikumene tersebut pada awalnya merupakan sebuah kebersamaan di antara bapak-bapak, namun dalam perkembangannya ternyata kaum ibu juga merasakan hal yang sama. Mereka juga ingin ada sebuah kebersamaan di antara mereka. Akhirnya, persekutuan tersebut berkembang tidak hanya bapak-bapak saja, melainkan juga para ibu. Dalam hal tersebut, tampak bahwa kebersamaan yang tercipta di antara para kaum “pendatang” mulai berkembang.
Seiring berjalannya waktu, maka jumlah orang Kristen di wilayah Telukan juga berkembang. Tempat peribadahan kemudian berganti di sebuah ruangan SMA Kusuma, atas tawaran dari pihak terkait maka jemaat di Telukan menerima dengan senang hati dan mengadakan peribadahan di tempat tersebut. Pada sekitar tahun 1987, muncul suatu masalah mengenai “payung” dari kelompok ibadah di Telukan ini. Hal ini mengingat akan keamanan, legalitas peribadahan secara lembagawi, dan segala sesuatunya yang berkaitan dengan hidup bergereja. Merasa sudah “mempunyai” komunitas persekutuan yang dekat, mereka akhirnya berinisiatif untuk menggabungkan diri dengan gereja terdekat. Melalui rapat dan percakapan bersama, di mana mereka semua setuju akan inisiatif tersebut, maka hal yang selanjutnya menjadi permasalahan adalah apakah akan menggabungkan diri ke GKJ Sukoharjo atau GKJ Joyodiningratan. Namun, mengingat bahwa secara geografis letak kelompok Telukan berada lebih dekat dengan GKJ Joyodiningratan Pepanthan Grogol, maka kelompok Telukan pun akhirnya diputuskan bergabung dengan GKJ Joyodiningratan Pepanthan Grogol, dengan terlebih dahulu melalui rapat dan pertimbangan atas surat masuk tertanggal 11 November 1987. Dalam hal ini, satu hal yang menarik adalah bahwa semua warga oikumene tersebut menyetujui penggabungan ke GKJ. Tentu dalam hal ini, warga yang beragama Khatolik tidak pindah. Naun, keputusan tersebut ternyata membuat banyak warga oikumene yang tadinya bukan warga GKJ Joyodiningratan ataupun Pept. Grogol akhirnya berkenan untuk atestasi. Walaupun sampai sekarang masih ada beberapa warga yang belum berkenan atstasi ke GKJ Grogol, namun satu hal yang mendapat apresiasi adalah mereka tetap berkenan aktif dalam persekutuan dan mengikuti peribadahan di Telukan. Untuk selanjutnya, jemaat di Telukan tersebut disebut dengan GKJ Joyodiningratan Pept. Grogol di Telukan. Mulai moment inilah atau dengan kata lain awal mula GKJ Grogol di Telukan (nama sekarang) lahir/berdiri. Dari perjalanan sejarah penggabungan yang demikian, bahkan sampai sekarang, maka wajar jika di kemudian hari ada istilah bahwa GKJ Grogol “nemu” jemaat di Telukan. Dalam artian, GKJ Grogol tidak pernah membentuk atau berusaha mengembangkan orang-orang Kristen di daerah Telukan untuk menjadi sebuah pepanthan atau bagian darinya.
Masih di tahun yang sama, yakni 1987, jemaat Telukan mengalami sedikit permasalahan. Ketika ibadah perayaan Natal yang telah direncanakan termasuk bertempat di SMA Kusuma mengalami kendala penolakan. Ada banyak versi mengenai kasus tersebut. Ada yang mengatakan bahwa karena kekhawatiran semakin mengembangnya umat kristiani, lalu pemilik SMA Kusuma di mana pada waktu itu salah satunya non-Kristen, tidak mengijinkan ibadah perayaan Natal dan juga peribadahan berikutnya. Namun, versi lain mengatakan bahwa sebenarnya SMA Kusuma mengalami bangkrut, sehingga dalam waktu dekat kepemilikannya akan berganti tangan. Entah versi mana yang merupakan fakta, namun yang jelas dari permasalahan tersebut akhirnya munculah inisiatif untuk menggunakan lahan ibadah yang telah disediakan oleh pihak yang membangun kompleks perumahan tersebut. Proses pembangunan pun adalah inisiatif dan juga swadaya warga persekutuan oikumene tersebut. Ketika pembangunan hampir selesai, jemaat Telukan yang sedang dalam proses pembangunan gedung sudah menjadi bagian dari GKJ Joyodiningratan Pept. Grogol, akhirnya mendapat legalitas serta dukungan dana dari Pept. Grogol. Dalam hal ini, GKJ Joyodiningratan tidak melepaskan tanggung jawabnya. Karena jemaat Telukan sudah menjadi bagian dalam “keluarga” besar GKJ Joyodiningratan, khususnya Pept.Grogol, maka tanggung jawab penyelesaian pembangunan pun diserahkan kepada Pept. Grogol. Ada peristiwa yang menarik di tahun 1988, yakni tatkala pihak Khatolik menyerahkan tanah – yang sebelah Selatan – yang tadinya untuk area gereja Khatolik, kepada pihak Kelompok Ibadah Telukan, sebagai hadiah Natal. Akhirnya, pada saat tersebut pembangunan gedung Gereja (bangunan permanen) mulai dilakukan. Pembangunan gedung awalnya merupakan usaha dari para warga Kristen di wilayah Telukan itu sendiri. Namun, pada perkembangannya akhirnya GKJ Joyodiningratan menghimbau supaya GKJ Joyodiningratan Pepanthan Grogol “menghandle” pembangunan selanjutnya sebagai bentuk pertanggung jawaban.
Sampai di sini, jemaat di Telukan tetap berpayungkan GKJ Joyodiningratan Pepanthan Grogol. Bahkan, sampai pada saat GKJ Joyodingratan Pepanthan Gorogol didewasakan menjadi GKJ Grogol Sukoharjo yang menggabungkan diri ke Klasis Wonogiri pada tahun 1993. Jemaat Telukan pun karena letaknya lebih dekat dengan GKJ Grogol daripada GKJ Joyodiningratan dan bahwa sejak semula adalah bagian dari Pept. Grogol, maka jemaat Telukan tetap bergabung dan menjadi satu bagian dengan GKJ Grogol Sukoharjo. GKJ Grogol Sukoharjo di Telukan, itulah nama dari jemaat di Telukan sampai sekarang.

Jika melihat perjalanan sejarah dari GKJ Grogol di Telukan, maka tampak bahwa kebersamaan mampu melahirkan sebuah gereja atau jemaat baru. Jemaat yang tadinya bukan “milik” satu gereja, sekarang menjadi bagian dari sebuah gereja. Sebuah perjalanan sejarah yang bertolak belakang dengan perkembangan cikal bakal GKJ. Jika dulu zending “merebut/mengambil alih” jemaat yang merupakan cikal bakal GKJ, maka lain halnya dengan jemaat di Telukan yang malah berinisiatif sendiri untuk menggabungkan diri. Berangkat dari sebuah kebersamaan, mungkin hal inilah yang membuat aroma kebersamaan jemaat di Telukan lebih terasa daripada di GKJ Grogol di Grogol. Setidaknya demikianlah yang dirasakan oleh warga yang berdomisili dan aktif peribadahan di Telukan. Hal tersebut juga sedikit banyak terbukti melalui proses pembangunan gedung gereja yang lebih banyak berasal dari swadaya warga, tidak hanya warga yang sekarang warga GKJ Grogol saja melainkan juga warga gereja lain yang notabenenya juga anggota persekutuan oikumene. Kebersamaan tidak selalu berjalan mulus dengan semua pihak. Dalam hal ini, jemaat di Telukan juga seringkali berselisih paham dengan pihak Grogol sendiri. Namun, jika melihat sisi lain dari permasalahan yang ada, maka tampak bahwa perselisihan tersebut malah menjadikan kebersamaan dalam diri jemaat di Telukan sendiri semakin erat. Misalnya, ketika ada suatu idea atau usulan mengenai pemeliharaan gedung ibadah di Telukan namun karena suatu alasan sehingga belum bisa direalisasikan, maka warga Telukan sendiri swadaya guna membangun dan memelihara gedung ibadah di Telukan. Berdasarkan perjalanan sejarah di atas, maka sekali lagi tampak dan terbukti bahwa kebersamaan bukanlah suatu konsep atau tugas gereja, melainkan “sesuatu” yang melekat erat dalam kehidupan jemaat selaku hidup bergereja.

D.    Penutup
Berdasarkan pemaparan mengenai sejarah gereja di atas, baik sejarah GKJ secara umum maupun sejarah GKJ Grogol Sukoharjo, maka tampak bahwa kebersamaan memang menjadi sebuah hal yang melekat erat dalam kehidupan gereja. Kebersamaan bukanlah hanya sebagai konsep yang terkait dengan definisi gereja atau juga suatu tugas gereja. Namun, melihat sejarah gereja itu sendiri maka tampak bahwa kebersamaan merupakan “sesuatu” yang sudah melekat erat dalam kehidupan jemaat selaku hidup bergereja. Kebersamaan memang tidak selalu berjalan mulus dan harmonis. Bahkan, seringkali kebersamaan membuat adanya konflik dan permasalahan tertentu dalam diri gereja itu sendiri. Terkait dengan hal tersebut, suatu konflik apabila dapat di manage dengan baik maka tidak akan menimbulkan perpecahan melainkan malah justru dapat menjadikan suatu perkembangan yang lebih positif. Hal tersebut bukanlah seuah teori belaka. Namun, sejarah juga membuktikannya tatkala “persaingan” antara gereja zending dengan jemaat Sadrach, di mana di tengah-tengah “persaingan” tesebut masing-masing malah justru terlihat mengembangkan dirinya. Bukti lainnya adalah ketika perselisihan atau kesalahpahaman yang trejadi di antara GKJ Grogol di Grogol dengan di Telukan, yang justru berdampak positif dengan kebersamaan warga jemaat di Telukan yang semakin erat. Dan masih banyak contoh lainnya. Namun, tidak jarang pula konflik di dalam kebersamaan membawa suatu perpecahan dalam diri jemaat. Dalam hal inilah, perlu adanya managemen konflik yang baik sehingga kesatuan dan kebersamaan dalam diri gereja tersebut dapat dipertahankan sekaligus dikembangkan.
Kebersamaan tidak hanya menjadi “sesuatu” yang melekat erat, namun juga menjadi salah satu kekuatan bagi gereja, dalam hal ini GKJ, dalam tumbuh dan berkembang. Dalam situasi zaman modern, di mana egoisme dan individualitas semakin merebak, kebersamaan jemaat dan gereja selaku tubuh Kristus seyogyanya senantiasa terjaga dan ditumbuh kembangkan (I Korintus 12: 12-31). Masing-masing jemaat dan gereja memang mempunyai ciri khas dan konteksnya masing-masing pula. Namun, dalam kepelbagaian inilah justru konsep rasul Paulus tentang “satu tubuh” menjadi relevan. Kebersamaan yang merupakan citra dari tubuh Kristus, kebersamaan yang merupakan kekuatan untuk tumbuh bersama di dalam Kristus, kebersamaan yang menjadi salah satu kekuatan untuk bertahan mengarungi zaman dan mengembangkan diri, dan kebersamaan yang menjadikan gereja menjadi semakin “hidup” dengan segala dinamikanya. Sejarah membuktikan bahwa dengan kebersamaan maka gereja, khususnya GKJ, lahir dan berkembang. Dengan demikian, maka sudah seyogyanyalah gereja, khususnya GKJ Grogol Sukoharjo, dengan kebersamaan mengarungi tantangan zaman, tumbuh, dan mengembangkan diri selaku umat Tuhan yang adalah tubuhNya.


[1] Pokok-Pokok Ajaran GKJ 2005, p-j 75. Lihat juga Tata Gereja dan Tata Laksana GKJ 2005, bagian Mukadimah dan Bab II; pasal 2 (1)
[2] Pokok-pokok Ajaran GKJ 2005, p-j 86-87
[3] Hadi Purnomo dan M. suprihadi Sastrosupono, Gereja-gereja Kristen Jawa; Benih yang Tumbuh dan Berkembang di Tanah Jawa, Yogyakarta: Taman Pustaka Kristen, 1988. Hlm 7
[4] S.H. Soekotjo, Sejarah Gereja-gereja Kristen Jawa; Di Bawah Bayang-bayang Zending 1858-1948 (jilid 1), Yogyakarta: Taman Pustaka Kristen, 2009. Hlm 151-152. Terkait dengan hal tersebut, perjalanan jauh yang ditempuh oleh sembilan calon jemaat Kristen adalah dikarenakan adanya kebijakan residen yang melarang adanya baptisan di wilayah Banyumas, yang dikhawatirkan menimbulkan masalah dengan umat Muslim, sehingga Hoezoo tidak diperkenankan membaptis sembilan calon jemaat tersebut di daerah Banyumas. Setelah pembaptisan, Hoezoo pun juga dilarang untuk mengunjungi mereka. Lih J.D. Wolterbeek, Babad Zending di Tanah JAwa, Yogyakarta: Taman Pustaka Kristen, 1995. Hlm 35
[5] Terkait dengan identitas Ny. Oostrom sendiri ada dua dugaan. Yang pertama, ialah bahwa dia adalah seorang janda muda yang berdagang batik. Yang kedua, ialah bahwa ia adalah seorang pengusaha/produsen batik. Jika kemudian terlihat bahwa Ny. Oostrom mempunyai pembantu, bahkan bisa dikatakan lebih dari sembilan orang, maka tampaknya Ny. Oostrom adalah seorang “juragan” batik, yang cukup kaya, di kota Banyumas. Lihat S.H. Soekotjo, Sejarah Gereja-gereja Kristen Jawa, hlm 148.
[6] Ibid, hlm 149
[7] Terkait dengan hal tersebut, sembilan orang tadi pada perkembangannya telah membentuk “jemaat rumah tangga” di bawah asuhan dan bimbingan Ny. Oostrom. Hal ini dikarenakan zendeling Hoezoo, yang telah membaptis mereka, tidak mempunyai wewenang tugas untuk bekerja dan melayani di daerah Banyumas. Lihat Ibid, hlm 151-152
[8] Ibid, hlm 153-154. Terkait denga fakta sejarah tersebut, dipandang darisudut pandang lain tampak bahwa penjajahan juga merambah ke dalam dunia penyebaran Injil atau kekristenan, di mana zending mengaku-aku dan menguasai jemaat yang semula bukan miliknya.
[9] J.D. Wolterbeek, Babad Zending di Tanah Jawa, hlm 35
[10] S.H. Soekotjo, Sejarah Gereja-gereja Kristen Jawa, hlm 155-156; lihat juga J.D. Wolterbeek, Babad Zending di Tanah Jawa, hlm 36
[11] S.H. Soekotjo, Sejarah Gereja-gereja Kristen Jawa, hlm 156
[12] Ibid, hlm 156-157
[13] Ibid, hlm 157-159
[14] Disunting dari S.H. Soekotjo, Sejarah Gereja-gereja Kristen Jawa (jilid I), hlm 159-260, J.D. Wolterbeek, Babad Zending di Tanah Jawa, hlm 65-90
[15] Dalam hal ini, Gerrit Singgih mengatakan bahwa metode yang dipakai oleh Sadrach adalah merupakan suatu upaya konteksualisasi kekristenan dengan budaya Jawa, pada masa itu. Tidak hanya strategi ngadu ngelmu yang dipakai oleh Sadrach, namun juga terkait dengan konsep Ratu Adil pada diri Yesus yang diajarkan oleh Sadrach kepada masyarakat Jawa, di mana konsep Ratu ADil tersebut salah dipahami oleh beberapa zendeling Eropa yang membuatnya sebagai tuduhan untuk menjatuhkan Sadrach. Lihat E. Gerrit Singgih, Berteologi dalam Konteks; Pemikiran-pemikiran Mengenai Kontekstualisasi Teologi di Indonesia, Yogyakarta: Kanisius, 2007. Hlm 94-105. Lih juga hlm 115-118
[16] Disunting dari Wikipedia.org; diunduh tanggal 20 Agustus 2012, di mana artikel tersebut juga pernah dimuat dalam surat kabar Mitra Indonesia, edisi 54 bulan Novemver 2012
[17] Disunting dari buku HUT GKJ Grogol Sukoharjo ke-11, 5 Juli 2006; Kisah Perjalanan GKJ Grogol dari tahun 1965-2006, Sukoharjo, 2006. Dan buku Pendewasaan; Pepanthan Grogol GKJ Joyodiningratan Surakarta menjadi GKJ Grogol Sukoharjo, Sukoharjo, 1995.
[18] Disunting dari hasil wawancara dengan Bp. Suwarno (Juwiring, 5 Desember 2012), Bp. Djono (6 Des 2012), Ibu Basuki (9 Desember 2012), dan Bp. Wigeno (16 Desember 2012), serta buku HUT GKJ Grogol ke-11, 5 Juli 2006.

3 komentar:

  1. good job
    materi sedikit dibagi akan lebih bagus, jadi yang baca ga perlu narik turun terus artikelnya, cemunguuuttt

    BalasHapus
  2. hehehe..kl dibagi malah aq yg bingung mbaginya ka..soal'na smua bagian berkaitan...
    cuma masalahnya ne aq sulit bkin ky folder file gtu ka..gmn y caranya?? hehhe..jd biar kaya file d kompi...

    BalasHapus
  3. keren mas ...
    kalau bisa dikembangkan lagi mas ,
    btw, makasih sudah diberi info....

    BalasHapus