SEJARAH GEREJA
Kebersamaan dalam Perjalanan Sejarah GKJ
dan GKJ Grogol Sukoharjo
A. Pendahuluan
Berdasarkan apa yang dipahami oleh GKJ,
bahwa gereja adalah suatu kehidupan bersama religious yang berpusat pada Yesus
Kristus, yang sekaligus merupakan buah penyelamatan Allah dan jawab manusia
terhadap penyelamatan Allah, yang di dalamnya Roh Kudus bekerja dalam rangka
pekerjaan penyelamatan Allah.[1] Melihat
definisi tersebut, maka tampak bahwa gereja juga bisa dikatakan sebagai sebuah
komunitas. Sebuah komunitas tentunya terdiri dari banyak individu, dengan latar
belakang yang berbeda-beda. Namun, komunitas dalam gereja tampaknya memang
berbeda dengan komunitas masyarakat umum. Perbedaan tersebut lebih dikarenakan
sifat dari kebersamaan yang mewarnai komunitas itu sendiri. Dalam komunitas
masyarakat, pada umumnya penghargaan lebih ditekankan dan diberkan kepada
individu-individu yang ada. Kebersamaan yang ada di dalamnya, pada umumnya
hanya mengartikan “berada bersama di suatu tempat tertentu”. Hal ini tentu
berbeda dengan pengertian kebersamaan dalam kehidupan bergereja. Dalam
kehidupan bergereja, jika melihat kembali definisi gereja di atas, maka tampak
bahwa kehidupan bersama atau sifat komunal tersebut lebih mendapat penekanan
dibanding individu. Hal ini tidaklah mengartikan bahwa eksistensi individu
kurang dihargai. Namun, individu-individu yang ada tetap diakui eksistensinya
sebagai bagian yang memegang peranan penting dalam komunitas tersebut.
Masing-masing individu, dengan segala konteksnya, mempunyai suatu tanggung
jawab di dalam dan untuk menciptakan sebuah kebersamaan religious yang berpusat
pada Kristus. Secara sederhana, gereja bukanlah individu, melainkan sebuah komunitas
yang mencerminkan kebersamaan.
Kehidupan bersama, sekalipun itu gereja,
tetap tidak menutup kemungkinan adanya gesekan-gesekan individu satu dengan
yang lain. Seringkali gesekan-gesekan tersebut memecah belah, membuat adanya
perselisihan, menumbuhkan sikap apatis, sehingga gereja yang notabenenya adalah
kehidupan bersama religious di dalam Kristus tidak lagi mencerminkan
kebersamaan. Namun, di sisi lain tidak sedikit pula kehidupan bersama tersebut
menjadi semakin berkembang karena adanya gesekan-gesekan yang mampu dimanage
dengan sedemikian rupa. Sebagai sebuah kehidupan bersama, tentu
individu-individu yang ada di dalam suatu gereja keberadaannya tidak bisa
dilepaskan dari individu yang lainnya. Hidup bersama (persekutuan/bersekutu)
dipahami bukanlah sebagai suatu tugas atau kewajiban, melainkan pada hakikatnya
sudah melekat dalam kehidupan orang-orang percaya.[2]
Terkait dengan hal tersebut, kebersamaan tampaknya dipahami tidak hanya sebagai
efek dari konsep hidup bergereja saja. Namun, sejarah membuktikan bahwa
kebersamaan (persekutuan) tersebut begitu melekat, bahkan mewarnai dinamika
kehidupan bergereja, khususnya GKJ, sejak awal mula sampai pada perkembangannya
saat ini.
Agama Kristen masuk ke Indonesia dan
dikenal oleh masyarakat memang berasal dari zending (badan injil dari Barat)
dan para misionaris/penginjil. Hal ini memang tidak bisa dipungkiri jika
melihat fakta sejarah tumbuh dan berkembangnya gereja. Pola tersebut tampaknya
seperti halnya Yesus Kristus yang mengajarkan “sesuatu yang baru” pada masa itu
seorang diri. Namun, hal ini tidaklah mengartikan akan individualitas
orang-orang Kristen atau gereja. Justru hal yang menarik adalah kebersamaan –
selaku para pengikut Kristus – membuat gereja lahir, bahkan di dalam
kebersamaan pula mampu tumbuh, bahkan bertahan dan berkembang dalam tantangan
dan konteks zamannya. Makalah ini membahas mengenai kebersamaan dalam
perjalanan hidup gereja, khususnya GKJ pada umumnya dan GKJ Grogol Sukoharjo.
Berdasarkan makalah ini, gereja-gereja – khususnya GKJ Grogol Sukoharjo – pada
nantinya diharapkan mampu tetap bertahan dan berkembang dalam konteks zaman
pada saat ini, di dalam sebuah kebersamaan.
B. Kebersamaan dalam perjalanan hidup GKJ – “bibit”
sampai lahirnya sinode GKJ
Gereja-gereja Kristen Jawa, adalah
sekelompok buah pekabaran Injil yang ditebarkan di tanah Jawa, khususnya di
Jawa Tengah. Sebagai sekelompok gereja, ia tumbuh dan berkembang melalui aneka
latar belakang dan tantangan serta perkembangan tersendiri. Ia tidak saja
tumbuh dan berkembang di dalam suatu masyarakat yang berlatar belakang
sosial-budaya tertentu, melainkan juga tumbuh dan berkembang di dalam konteks
sejarah tertentu, demikian pun ia merupakan buah pekerjaan badan zendng, Gereja
Barat, kaum-awam asing maupun pribumi bahkan juga buah dari pekerjaan
Gereja-gereja Jawa sendiri, dengan atau tanpa kerja sama gereja lain.[3] Berdasarkan
hal tersebut, maka sinode GKJ atau Gereja-gereja Kristen Jawa merupakan suatu
kebersamaan antara GKJ satu dengan yang lain. Lahirnya kebersamaan tersebut
tentunya tidak lepas dari lahirnya masing-masing GKJ yang ada.
-
Cikal bakal
pertama – jemaat sembilan
Pada umumnya, sejarah mencatat dan mengakui
bahwa awal mula lahirnya GKJ atau tonggak lahirnya GKJ adalah berawal dari
adanya sembilan orang, yang merupakan pembantu dari Ny. Oostrom dari Banyumas,
yang menempuh perjalanan jauh dari Banyumas ke Semarang guna mendapatkan
baptisan oleh zendeling Hoezoo, pada tanggal 10 Oktober 1858.[4] Suatu
kisah sejarak kekristenan, khususnya lahirnya GKJ, yang menarik. Hal ini
mengingat bahwa jika pada umumnya kekristenan, setelah zaman jemaat perdana,
berkembang luas karena penyebaran injil oleh para misionaris dan zending.
Namun, tampaknya berbeda dengan apa yang terjadi dengan sembilan orang
tersebut. Sembilan orang tersebut, yang notabenenya adalah pembantu, rupanya
mendapat pengajaran mengenai kekristenan/Injil bukanlah dari salah seorang
zendeling atau zending, melainkan dari tuannya, yakni Ny. Oostrom, yang juga
bukan seorang penginjil. Ny. Oostrom adalah seorang perempuan Indo-Belanda yang
mempunyai pekerjaan sebagai “juragan” batik.[5]
Suatu hal di luar ketentuan umum, bahwa Injil tersebar atau terberitakan bukan
dari para misionaris atau zending. Dalam hal ini, Ny. Oostrom yang memberitakan
Injil atau mengajarkan kekristenan kepada para pembantunya, tidak ada
keterangan sama sekali terkait dengan motivasi atau misi yang diembannya.
Tampak seakan-akan keinginan untuk memberitakan dan mengajarkan Injil tersebut
adalah inisiatif dari sendiri, bukan karena tanggung jawab kelembagaan. Terkait
dengan hal tersebut, ada dugaan bahwa motivasi Ny. Oostrom tersebut dikarenakan
adanya pengaruh Kyai Tunggul Wulung yang melakukan kunjungan keliling untuk
memberitakan dan mengajarkan Injil.[6]
Namun, apapun alasan Ny. Oostrom Injil telah diberitakan dan cikal bakal GKJ,
yakni sembilan orang yang merupakan pembantu, membuktikan bahwa di dalam
kebersamaan-lah cikal bakal GKJ lahir. Kebersamaan di dalam tumbuh berkembang
di dalam iman dan pengetahuan akan Injil. Dalam artian, baik sebagai juragan
ataupun pembantu, namun Injil telah menjadikan mereka semua bersama dengan
Kristus.[7]
Perjalanan yang dilakukan oleh sembilan orang, bukan perorangan, juga
memperlihatkan smengat kebersamaan sebagai awal mula lahirnya GKJ.
Jika melihat pola pertumbuhan kekristenan
yang demikian, maka sebenarnya tampak adanya dua kubu. Di satu sisi, kubu
zending dan di sisi lain, adalah kubu “rakyat”, yakni sembilan orang pembantu.
Melihat kenyataan yang demikian, pertambahan jemaat Kristen dengan sembilan
orang tersebut tampaknya menjadi suatu hal yang sangat menggembirakan bagi
zending. Hal ini terlihat tatkala zendeling Kruyt mencetuskan ide untuk “memelihara”
jemaat sembilan tadi. Sempat timbul polemic, tanggung jawab siapakah jemaat
sembilan ini? Perundingan dan persepakatan, yang mungkin terkesan tidak adil
bagi jemaat sembilan, karena mereka tumbuh bukan karena zending melainkan
dengan sendirinya tetapi kemudian diserahkan dan dibawahi oleh supremasi NZGV,
akhirnya membuat jemaat sembilan tersebut masuk menjadi jemaat dibawah zending.[8] Di
satu sisi, memang terkesan tidak adil bagi jemaat pribumi yang tumbuh dengan
sendiri tersebut. Namun, di sisi lain hal ini akan memudahkan perkembangan
kekristenan, karena semua bergerak bersama dan berada di payung yang sama.
-
Cikal bakal
kedua – jemaat Tuksanga-Purworejo
Lahirnya cikal bakal GKJ yang kedua inipun
juga hampir mempunyai pola yang sama tatkala cikal bakal yang pertama, yakni
jemaat sembilan. Adapun Ny. Christina Petronella Phillips-Stevens, atau yang
sering dikenal dengan Ny. Phillips, yang melakukan penginjilan secara pribadi
tanpa berada di bawah naungan zending manapun. Pada waktu itu, banyak orang
yang tergerak hatinya untuk melakukan penginjilan karena ter-motivasi oleh apa
yang dilakukan oleh orang lain. Demikin juga Ny. Phillips yang tampaknya juga
tergerak, karena melihat keberhasilan iparnya, yakni Ny. Oostrom di Banyumas.[9]
Namun, dugaan lain adalah Ny. Phillips melakukan penginjilan karena adanya
dorongan dari pihak lain, yakni Kyai Tunggul Wulung.[10]
Pola penginjilan yang sama pada perjalanan
hidup cikal bakal jemaat yang pertama, yang dilakukan oleh Ny. Oostrom,
tampaknya juga dilakukan oleh Ny. Phillips. Dalam hal ini, ia memberitakan dan
mengajarkan Injil kepada orang-orang terdekatnya, yakni para pembantunya. Ternyata
pemberitaan dan pengajaran Injil kepada para “batur” lebih menuai hasil
positif, karena para “batur” tersebut cenderung nurut dan manut kepada
bendaranya. Hal ini terbukti ketika pada 27 Desemebr 1860, dua orang laki-laki
dan tiga perempuan dari para pendengar Injil lewat Ny. Phillips, menerima
baptisan dari Pdt. B. Braams di Indische Kerk di Purworejo.[11]
Sama seperti jemaat sembilan, maka jemaat kecil inipun juga di-aku-aku menjadi
bagian oleh Indische Kerk Purworejo, sekalipun hanya sekedar warga binaan yang
dianggap sebagai warga jemaat kelas dua.[12]
Pada perkembangannya, setelah suami dari Ny.
Phillips pension dan memutuskan untuk pergi dan menetap di Tuksanga, Purworejo
(1863), maka para pembantunya yang sudah menjadi Kristen tersebut juga turut
mengikutinya. Di tempat ini, jemaat Kristen tersebut mulai berkembang dengan
adanya rekan-rekan yang turut dalam pemberitaan dan pengembangan Injil. Sampai
pada tahun 1870, di Tuksanga telah ada 29 orang Kristen yang telah dibaptis.
Hal yang sangat menarik dari perjalanan sejarah jemaat tersebut adalah tatkala
Ny.Phillips dan suaminya membangun gedung gereja kecil, di halaman rumahnya,
berdasarkan inisiatif pribadi dan bukan dari zending. Hal ini dilakukan oleh
mereka berdua tatkala jumlah orang Kristen di Tuksanga bertambah dengan bergabungnya
orang-orang dari Jawa Timur dan Jepara. Jemaat Tuksanga inilah yang menjadi
cikal bakal kedua GKJ, setelah jemaat sembilan di Banyumas.[13]
Melihat perjalanan sejarah berkembangnya
dua cikal bakal jemaat GKJ, yakni di Banyumas dan di Tuksanga, tampak bahwa dua
fakta sejarah tersebut memiliki pola yang hampir sama. Perkembangan jemaat yang
berawal dari pekabaran Injil secara terpisah dari zending, yang kemudian tumbuh
dengan subur, lalu diakui oleh zending menjadi bagian darinya. Selain itu,
tampak bahwa semangat kebersamaan begitu melekat dan mewarnai perjalanan
sejarah itu sendiri. Kebersamaan yang terjadi di antara para pekabar Injil
dengan orang-orang yang dibinanya (Ny. Oostrom dengan sembilan pembantunya dan
Ny. Phillips – suami dengan para pembantunya dan juga para pendatang dari
Jepara dan Jawa Timur). Pola perkembangan jemaat GKJ mula-mula yang demikian
telah membuat area kerja zending lebih luas, karena zending – sekalipun dengan
muatan “jajahan atau menguasai” – menjadikan jemaat-jemaat tersebut tidak
berdiri dan tumbuh sendiri, namun dirangkul dalam sebuah kebersamaan secara
lembaga, yakni zending. Satu hal yang tampaknya tidak bisa dilepaskan dari
perjalanan sejarah GKJ, selain dua cikal bakal jemaat tadi, adalah perkembangan
kekristenan dan GKJ yang dirintis oleh Kyai Sadrach, di mana dalam perjalanan
sejarah tersebut tampak adanya masalah mengenai kebersamaan jemaat Kristen
Jawa, baik dengan zending/zendeling maupun dengan pemerintah colonial.
-
Kyai Sadrach –
dari awal mula sampai terbentuknya jemaat kerasulan, hingga Jotham –
penggabungan jemaat kerasulan dengan gereja zending[14]
Pada masa hidupnya, Sadrach pernah menjadi
seorang pemimpin Jawa yang terhormat dari gereja terbesar di Jawa. Sadrach
merupakan contoh kepemimpinan Kristen mandiri dengan mengembangkan jemaat
pribumi yang sangat erat kaitannya dengan kebudayaan Jawa. Kiai Sadrach berasal
dari Purworejo. Nama mudanya adalah Radin. Terlahir sekitar tahun 1835, dari
keluarga Islam Jawa di Kawedanan Jepara. Setelah Radin menyelesaikan pendidikan
di sekolah umum (sekolah Alquran) dan belajar di berbagai pesantren di Jawa
Timur, ia tinggal di dalam kauman (tempat tinggal muslim yang eksklusif) di
Semarang. Di sana, dia menambahkan nama Arab pada namanya menjadi Radin Abas.
Beberapa waktu kemudian terjadi sesuatu pada dirinya. Ketertarikan kepada
Kristen mulai muncul dalam hatinya, setelah mengetahui bahwa bekas guru
ngelmunya (guru yang kepadanya seseorang bisa belajar "ilmu"), Sis
Kanoman, telah menjadi Kristen oleh penginjil Tunggul Wulung. Radin sangat
serius dan terkesan dengan pengajaran Tunggul Wulung, untuk itu ia bersedia pergi
bersamanya ke Batavia pada tahun 1866 untuk menemui Anthing. Ia mengambil
keputusan untuk dibaptis pada tanggal 14 April 1867 di Indische Kerk,
Buitenkerk, dengan mengambil nama baptis Kristen yaitu Sadrach (dalam Alkitab
tokoh Sadrach disebutkan dalam Kitab Daniel 3), setelah kurang lebih dua tahun
berada di lingkungan Mr. Anthing.
Untuk beberapa waktu, Sadrach oleh Mr.
Anthing ditugasi untuk melakukan penginjilan dengan cara menyebarkan
brosur-brosur tentang agama Kristen. Namun, tampaknya Sadrach kurang tertarik
dengan pola penginjilan seperti itu. Ia lebih tertarik dengan penginjilan
seperti Kyai Tunggul Wulung, yakni mengabarkan Injil Kristus sebagai ngelmu
sejati melalui perbantahan ngelmu. Oleh karena itu, Sadrach pamit untuk kembali
ke Semarang pada akhir tahun 1867, bergabung dengan Sis Kanoman dan jemaat
Kristen Semarang asuhan zendeling Hoezoo. Dalam perjalanannya, Sadrach dan Sis
Kanoman diikuti oleh beberapa orang Kristen Semarang (16 kepala keluarga), akan
pindah ke Bondo mengikuti Kyai Tunggul Wulung untuk menyatu dengan jemaat di
sana. Suatu permasalahan tersendiri bagi Hoezoo, karena jemaat yang telah
dibinanya selama ini menjadi berkurang banyak. Pada perkembangan berikutnya,
permasalahan pribadi Sis Kanoman yang berujung pada pemenjaraan dirinya,
membuat Sadrach mempunyai posisi baru sebagai pemimpin di kelompok Bondo.
Dalam kedudukan yang baru tersebut, Sadrach
memutuskan untuk pergi ke Jawa Timur. Hal ini dilakukannya sebagai ajang studi
banding. Dalam perjalanannya tersebut, ia menemukan perbedaan yang cukup
mendasar antara jemaat Bondo dengan jemaat di Mojowarno, yakni tipisnya dasar
kekristenan mereka dan ketidakteraturan perikehidupan. Oleh karena itu, Sadrach
kemudian berinisiatif untuk menggabungkan jemaat Bondo dengan jemaat asuhan
zendeling Janz. Walaupun inisiatif Sadrach tersebut ditolak, namun hal ini
ternyata telah menyebabkan keretakan hubungan Sadrach sendiri dengan gurunya,
yakni Kyai Tunggul Wulung. Permasalahan tersebut juga turut mengakibatkan
kurangnya kebersamaan antara Sadrach dan Kyai Tunggul Wulung, walaupun di sisi
lain permasalahan tersebut membuat Sadrach semakin bebas dalam mengembangkan
kekristenan di tanah Jawa. Permasalahan tersebut ternyata juga berimbas dalam
hal kepemimpinan di Bondo, sehingga membuat Sadrach akhirnya mengalah dan pergi
meninggalkan Bondo. Mengalah pada gurunya, Sadrach akhirnya pergi ke Kediri.
Namun, kedatangannya dan tujuannya ditolak oleh zendeling Poensen. Dalam hal
ini, tidak ada sumber yang menyatakan jelas penolakan Poensen. Namun, satu hal
yang pasti, Sadrach kemudia melanjutkan perjalanan ke Purworejo, kepada jemaat
asuhan Ny.Phillips, di mana kedatangannya disambut dengan baik. Mulailah pada
tahun 1869, Sadrach menjadi penginjil pembantu Ny. Phillips.
Bergabungnya Sadrach dengan komunitas
Kristen Jawa asuhan pasangan suami istri Phillips di Tuksanga, Purworejo, pada
tahun 1869, mau tidak mau harus diakui merupakan salah satu strategi Sadrach
dalam mewujudkan impiannya madeg guru ngelmu Kristen di kemudian hari. Tampak
bahwa Sadrach juga mempunyai ambisi, seperti halnya para zendeling dan
penginjil lainnya, yakni mempunyai jemaat sendiri yang diasuhnya. Dalam rangka
mewujudkan impiannya tersebut, setelah beberapa lama Sadrach kemudian
memutuskan untuk pergi ke daerah Kutoarjo, tanpa memutuskan hubungan dengan
Phillips suami-istri. Inilah salah satu moment bagi Sadrach untuk mengembangkan
kemandiriannya selaku Kyai Kristen, sekaligus dari kelompok inilah nanti
dikenal Golongane Wong Kristen kang Mardika asuhan Kyai Sadrach. Dalam mengembangkan
kekristenan di daerah Kutoarjo, tampaknya Sadrach memakai startegi penginjilan
yang berebda dengan para zendeling Eropa. Jika para zendeling Eropa dalam
penginjilan lebih terasa aroma pietismenya, yakni dengan cara melakukan
pendekatan individual dan lebih menjadikan orang Kristen Jawa/pribumi seperti
orang Eropa, maka lain halnya Sadrach yang lebih menggunakan strategi
kontekstual, yakni ngadu ngelmu.[15] Terkait
dengan nngelmu, strategi yang dipakai oleh Sadrach tersebut ternyata cukup
bermafaat dalam mengembangkan kekristenan. Tampak bahwa ketika sang guru mampu
dikalahkan, maka guru tersebut beserta para pengikutnya akan mengikuti guru
lain yang menang. Hal ini sebenarnya bisa saja jadi boomerang bagi Sadrac,
tatkala ia kalah maka ia harus tunduk dan tidak bisa lagi mengabarkan Injil
serta mengembangkan kekristenan.namun, perjalanan sejarah tidak mencatat bahwa
Sadrach kalah. Ia malah berhasil “menundukkan” banyak guru, sehingga
kekristenan atau jemaat yang diasuhnya bertambah banyak. Memang cara demikian
dipandang rendah kualitas kekristenannya, namun hal itu disempurnakan dan
diperbaiki melalui evangelisasi perorangan atau pendalaman Injil secara
perorangan pula oleh Sadrach. Perbedaan metode penginjilan yang sekilas tidak
terlalu menimbulkan masalah. Namun, ternyata dalam perkembangannya hal tersebut
dipertajam dan berujung pada perbedaan dogma, di mana kelompok Sadrach tersebut
dituduh dan divonis sebagai aliran sesat oleh zending.
Ledakan jemaat Kristen hasil adu ngelmu oleh
Sadrach melahirkan gereja di Karangjoso dan di Banjur, pada tahun 1872, lalu di
Karangpucung, Kedungpring, serta di Karanglembu, pada tahun 1873. Pada waktu
itu, gedung ibadah tersebut dinamakan mesjid, sesuai dengan sebutan yang biasa
dipakai untuk tempat ibadah pada waktu itu. Dengan demikian, di Mesjid Gedhe
(Mesjid Agung) Karangjoso, Sadrach memimpin kebaktian dan berkhotbah dengan
bahasa Jawa. Terkadang hubungan Sadrach dengan Ny. Phillpis juga ditampakkan
dengan adanya Ny. Phillips yang datang ke Karangjoso dan berkhotbah di mesjid
tersebut. Pertambahan jemaat Kristen yang sangat pesat pada era Sadrach di
Karangjoso dan sekitarnya tersebut di satu sisi adalah hal yang sangat positif
bagi kekristenan. Namun, di sisi lain ternyata hal tersebut membawa dampak
pemisahan dengan Indische Kerk. Jemaat Indische Kerk akhirnya memisahkan diri
dengan jemaat Jawa. Hal ini menimbulkan akibat lebih lanjut mengenai
pembaptisan orang-orang Jawa. Walaupun Indische Kerk Purworejo tidak bisa lagi
melayankan baptisan terhadap jemaat Sadrach, namun berkat usaha Ny. Phillips
yang menghubungi zendeling A. Vermeer dari NGZV, pembaptisa bisa tetap dilaksanakan,
di mana pernah tercatat bahwa A. Vermeer dalam 17 hari telah membaptis lebih
dari seribu orang. Ibarat mata uang koin dengan dua sisi, maka begitu pula
kebijakan Ny. Phillips yang mengambil inisiatif untuk bekerja sama dengan
zendeling Vermeer. Sisi positif adalah pembaptisan itu bisa tetap berjalan.
Namun, sisi negative dari kebijakan tersebut justru lebih besar dampaknya.
Kerja sama dengan Vermeer ternyata
menimbulkan kerugian bagi Sadrach. Dua hal yang menjadi pandangan Vermeer, di
mana pandangannya tersebut tidak sejalan dengan kenyataan. Pertama, Vermeer
berpendapat bahwa sukar dipercaya oleh dirinya bahwa seribu orang yang telah
dibaptisnya beberapa waktu yang lalu adalah berkat usaha dan jerih payah
Sadrach semata. Kedua, menurut sudut pandangnya jemaat seribu orang yang
dibaptisnya, yang dianggapnya sebagai perjalanannya yang sukses, adalah “milik”
suami-istri Phillips, sedangkan Sadrach hanyal pembantu pasangan tersebut.
Suatu sikap memandang rendah kepada kemampuan dan keberhasilan bangsa pribumi
yang ditunjukkan oleh Vermeer. Sebagai akibat lebih lanjut dari kehadiran
Vermeer adalah dengan sakitnya Ny. Phillips. Moment tersebut ternyata
menjadikan permasalahan antara Sadrach dengan Vermeer semakin tajam. Sadrach
merasa bahwa jemaat Kristen Jawa yang ditumbuh dan kembangkannya tersebut
adalah jemaat asuhannya. Namun, di sisi lain Vermeer, dengan sakitnya Ny.
Phillips, menganggap bahwa jemaat tersebut adalah asuhan Ny. Phillips, sehingga
merasa bahwa jemaat tersebut layak diambil alih olehnya untuk digabungkan
dengan NGZV. Masalah lain yang muncul akibat pertentangan tersebut adalah
mengenai area pekabaran Injil. Bagi Vermeer, Sadrach telah melanggar batas
pekabaran Injil, di mana Sadrach telah memasuki wilayah Banyumas, di mana area
tersebut merupakan area kerja Vermeer yang telah ditetapkan oleh pemerintah
colonial Belanda. Sementara itu, bagi Sadrach hal itu tidaklah penting. Ia
tidak perlu meminta ijin untuk penginjilan, sehingga ia tidak merasa bersalah
atau melakukan pelanggaran dalam penginjilan. Dalam hal ini, tampak adanya
pemikiran Vermeer yang mendua. Di satu sisi, ia merendahkan Sadrach dengan
menganggapnya tidak mempunyai hal untuk mengasuh jemaat karena hanya seorang
pembantu dari Ny. Phillips. Namun, di sisi lain Vermeer menempatkan Sadrach
sejajar dengan dirinya selaku penginjil, dengan anggapan bahwa Sadrach memasuki
wilayah kerjanya. Dampak dari ketegangan tersebut membuat Sadrach hampir
terputus hubungannya dengan orang-orang Belanda dan gereja Barat. Dengan
Indische Kerk Purworejo, hubungannya terputus karena Pdt. Thieme memutuskan
untuk berpisah dar jemaat Jawa. Dengan Vermeer, bersitegang mengenai siapa yang
berhak “menguasai” jemaat Jawa. Hal ini berimbas pada pembaptisan jemaat Jawa
yang terhenti untuk beberapa lama, karena Sadrach sendiri dan pasangan Phillips
merasa tidak berhak melakukan pembaptisan. Dengan diserahkannya jemaat Jawa
kepada Sadrach, khususnya yang merupakan hasil pekabaran Injilnya dan di
sekitar wilayah Bagelen, maka Sadrach kini bisa mengembangkan jemaat asuhannya.
Pusat kehidupan Kristen Jawa yang semula berada di Tuksanga kini menjadi di
Karangjoso, dan dalam hal ini Sadrach mampu menunjukkan kapasitasnya selaku
penginjil. Hal ini membuat para penginjil Belanda kemudian tidak memandang
sebelah mata terhadap Sadrach. Sadrach kini memegang kendali dari Karangjoso
dan menambah namanya menjadi Kyai Sadrach Supranata, yang artinya Kyai Sadrach
yang harus berani menata jemaatnya sendiri.
Dalam perjalanan sejarah Sadrach dan karya
pekabaran Injil serta pengasuhan jemaat Kristen Jawa, tampak bahwa Sadrach
sendiri tidak antipasti terhadap orang asing (zendeling Barat dan zending).
Dari awal mula ia menjadi seorang Kristen, ia belajar dari zendeling Jellesma
di Mojowarno. Ia pun juga belajar dari zendeling Hoezoo di Semarang.
Selanjutnya, ia bekerja sama dengan Mr. Anthing di Batavia, Pdt. King dan
Mattheus Taffer. Kemudian ketika ia memutuskan pergi dari Batavia untuk ke
Jepara, ia juga bergaul dengan zendeling Pieter Janz dari zending DZV. Dan
akhirnya, Sadrach bekerja sama dengan pasangan Phillips di Tuksanga-Purworejo
dan Brouwer di Kutoarjo. Kesediaannya membawa jemaatnya untuk dibaptis oleh
Pdt. De Bruijn dari Indische Kerk di Purworejo, serta zendeling Vermeer dari
Purbalingga, memperlihatkan bahwa Sadrach sebenarnya berkenan untuk bekerja
sama dengan orang-orang dari dunia Barat untuk mengembangkan kekristenan di
tanah Jawa. Namun, terkait dengan sosok yang terakhir, yakni zendeling Vermeer,
ternyata menimbulkan permasalahan yang cukup pelik dan berkepanjangan antara
Sadrach dengan zendeling-zendeling serta zending dari Barat. Pada perkembangan
dari permasalahannya dengan Vermeer, juga seringkali membuat pemerintah Belanda
turun tangan di dalamnya.
Pertikaian antara Sadrach dengan zendeling
Vermeer, tampaknya dimulai terlebih dahulu oleh Vermeer. Hal ini sedikit banyak
terlihat demikian jika membandingkan dengan sikap zendeling dengan para
penginjil pribumi di daerah lain. Bandingkan dengan perkembangan kekristenan di
Jawa Timur, di mana zendeling jellesma tidak pernah menghalangi aktivis
penginjil pribumi seperti Paulus Tosari dan lainnya. Juga di daerah
Jepara-Rembang di sekitar Muria, di mana zendeling Janz juga tidak bersikap
negative terhadap aktivis penginjilan Kyai Tunggul Wulung. Pertikaian Sadrach –
Vermeer tampaknya lebih diakibatkan karena adanya ambisi Vermeer untuk
“merebut” jemaat asuhan Sadrach. Mestinya Vermeer tidak bersikap demikian,
setidaknya dia beranggapan bahwa jemaat tersebut adalah asuhan Ny. Phillips dan
bukan hasil usahanya. Namun, ketika Ny. Phillips sakit, moment tersebut ia
gunakan untuk mengambil alih jemaat Kristen Jawa untuk digabungkan dengan
jemaat hasil penginjilannya. Namun, niat tersebut bertentangan dengan Sadrach
yang juga mempertahankan buah pekerjaannya. Niat Vermeer akhirnya juga
mempengaruhi pemerintah colonial, dalam hal ini Residen Bagelen. Netralitas
penguasa atau pemerintah dalam hal agama telah dilanggar dengan alasan
ketertiban dan keamanan. Residen Bagelen mencoba menggabungkan jemaat Sadrach
dengan Indische Kerk. Residen Bagelen beranggapan bahwa jemaat Sadrach tidak
seharusnya lepas dari pemerintah dan berada di luar Indische Kerk. Dalam
permasalahan ini, zending NGZV turut campur tangan ketika Residen Ligtvoet
mempengaruinya dan mengajukan usul supaya mengirimkan Ph.Bieger ke kawasan
Bagelen. Tampaknya kedatangan Bieger tersebut malah menjadikan permasalahan
semakin runyam. Beiger yang ambisius rupanya kurang menghargai orang Jawa dan
ia juga menginginkan “kuasa” atas jemaat Sadrach, yang jumlahnya hampir tiga ribuan.
Suatu jumlah yang besar jika dibandingkan dengan jemaat asuhan Bieger di Tegal,
yang hanya puluhan orang.
Ambisi Bieger yang ingin menguasai jemaat
Kristen Jawa tampaknya tidak diimbangi dengan pengetahuannya yang sedikit dan
rasa hormat terhadap orang Jawa. Beberapa kali usaha Bieger untuk mendekati
Sadrach, demi memuluskan ambisinya, di mana ambisinya tersebut sudah diketahui
oleh Sadrach, menemui jalan buntu. Beberapa kali kegagalan Bieger alami.
Walaupun demikian, ia tidak menyerah. Cara halus tidak berhasil, akhirnya cara
kotor ditempuh oleh Bieger. Dalam hal ini, tampak bahwa demi mewujudkan
ambisinya Bieger tidak segan-segan menghalalkan segala cara. Suatu kenyataan
yang berlawanan dengan nilai-nilai kekristenan, di mana Bieger sendiri tidak menyadarinya.
Tuduhan atau isu lama yang dulu pernah dipermasalahkan oleh Vermeer diangkatnya
kembali demi menjatuhkan Sadrach. Tuduhan tersebut ia ajukan kepada pemerintah
Bagelen. Namun, setelah adanya penyelidikan Sadrach tidak bisa dipersalahkan.
Gagal dengan cara tersebut, maka cara kedua pun digunakan oleh Bieger, yakni
akan memisahkan jemaat jawa dari Sadrach melalui pengaruh penginjil lain, dalam
hal ini adalah Kyai Abisai dan Cornelius. Keduanya diberi tugas untuk membujuk
dan merayu, bahkan kalau perlu menyuap jemaat Sadrach untuk mau meninggalkan
Kyai Sadrach dan bergabung dengan Bieger. Ternyata usaha kotor inipun juga
gagal, karena para jemaat Sadrach ngawula terhadap Kyai Sadrach.
Suatu angin segar bagi Bieger di sela-sela
kegagalannya ketika Vermeer datang ke Tanah Jawa kembali, namun dengan status
sebagai zendeling bebas, bukan sebagai pekerja NGZV. Vermeer ternyata masih
antusias untuk menjatuhkan Sadrach dan mengambil alih jemaat Kristen Jawa. Hal
itu ditunjukkannya dengan mau bekerja sama dengan Bieger. Jika angin segar
datang kepada Bieger, demikian pula halnya dengan Sadrach dengan adanya
kunjungan dari Kyai Tunggul Wulung. Dua pihak tetap bersitegang, sementara di
sisi lain datang juga pendeta Indische Kerk, yakni Pdt. Heyting, yang juga mempunyai
konsep sama seperti Residen Bagelen, yakni mengintegrasikan Jemaat Jawa dengan
Indische Kerk. Persaingan pun juga mulai terjadi dalam diri para penginjil dari
Barat, yakni Heyting dengan Bieger. Namun, persaingan tersebut tampaknya
terselesaikan dengan jalan keluar yang unik, terkait dengan adanya campur
tangan Residen Ligtvoet, mengenai kasus cacar di Perwurejo (1882), yang
melibatkan Sadrach. Terkait dengan kebijakan cacar yang dikeluarkan oleh
Residen Purworejo, Bieger dalam hal ini mendapat teguran keras bahkan jika
berkelanjutan dapat mengancam ijin bekerjanya selaku zendeling. Suatu
perjalanan kasus yang sederhana dibanding dengan yang terjadi pada Sadrach.
Sadrach dituduh melarang vaksinasi cacar pada masyarakat Bagelen. Hal ini
memang benar demikian, namun dasar Sadrach melarang vaksinasi cacar adalah
terkait dengan penafsirannya terhadap teks Alkitab, khususnya mengenai kata
“cacat” dan “cela”. Allah dipahami oleh Sadrach tidak menghendaki adanya cacat
atau cela pada tubuh umatNya secara sengaja. Sementara itu, vaksinasi cacar
tentu membuat adanya cacat dan parut dalam tubuh. Ternyata, permasalahan
tersebut dijadikan senjata bagi lawan-lawan Sadrach untuk menjatuhkannya dan
mengambil alih jemaat Kristen Jawa. Dalam kasus ini, Residen Ligtvoet membuat
keputusan memisahkan Sadrach dari umatnya, sekaligus mencopot kedudukannya
selaku guru jemaat Jawa. 2 Maret 1882, Sadrach ditangkap atas pelanggara pasal
143 peraturan perundang-undangan untuk pribumi, dan ditahan di Purworejo.
Penangkapan Sadrach ternyata juga berimbas pada adanya pelarangan aktifitas
Jemaat Kristen Jawa dan juga pembakaran beberapa gedung kebaktian. Keadaan
Sadrach bertambah semakin parah, tatkala pada 24 Maret 1882, Sadrach dinyatakan
harus tinggal di Purworejo dan tidak diijinkan lagi mengajar agama. Selain itu,
Sadrach juga harus menandatangani konsep surat yang isinya dia meminta maaf
atas apa yang diperbuatnya dengan menentang pemerintah, serta mengucapkan
terima kasih atas keringanan hukuman yang diberikan.
Tidak adanya peraturan yang menyebut secara
tepat di mana Sadrach harus tinggal, maka ia memutuskan untuk bersama
keluarganya tingga di rumah Bieger. Hal ini teryata merupakan strategi Sadrach
untuk bangkit kembali, karena selama di rumah Bieger inilah perlawanan Sadrach secara
terselubung untukbangkit kembali tampak. Selama Sadrach bertikai dengan Bieger,
perselisihan tidak hanya terjadi di antara kedua pemimpin jemaat Jawa dengan
Belanda tersebut. Namun, perselisihan juga terjadi dalam jemaat Kristen Jawa
itu sendiri. Di satu pihak, mereka tetap merasa bahwa Sadrach adalah guru
mereka, sehingga tetap setia kepada Sadrach. Namun, di pihak lain kehadiran
Bieger yang tampil sebagai pengganti Sadrach membuat kerinduan jemaat Kristen
Jawa akan jembatan dan penolong sebagai kaum minoritas di tengah-tengah
masyarakat muslim, serta penolong dari kesewenangan peraturan pemerintah, dapat
terobati. Selain itu, dengan kehadiran Bieger maka mereka dapat menerima
baptisan, di mana hal tersebut lama terhenti semenjak pertikaian Sadrach dengan
Vermeer. Perlu menjadi sebuah catatan, bahwa dalam waktu kurang lebih empat
bulan, Bieger telah membaptis lebih dari 1600 orang. Suatu pencapaian yang luar
biasa dan mungkin tidak pernah terbayangkan oleh Bieger sendiri, jika tidak ada
kasus mengenai Sadrach tersebut. Suatu kenyataan yang menarik bahwa pertikaian
antara dua belah pihak, antara Sadrach dengan para zendeling yang ingin
mengambil alih jemaatnya, di mana mereka sama-sama mengatasnamakan kepentingan
kekristenan, namun malah membuat baptisan tidak terlayankan kepada orang-orang
yang bertobat.
Setelah tiga bulan berstatus sebagai orang
hukuman, Sadrach pun akhirnya bisa menghirup kebebasan. Residen Ligtvoet, yang
dalam kasus Sadrach telah menahan dan mencopot kedudukan Sadrach selaku guru
dan pemimpin umat serta mengasingkannya, ternyata kebijakannya tersebut tidak
disetujui oleh Raad van Indie (pemerintah kolonial) di Batavia. Bahkan, Raad
van Indie menyatakan Residen Ligtvoet bersalah dalam tindakannya atas Sadrach
dan memerntahkan supaya Sadrach dibebaskan. Pembebasan Sadrach ternyata tidak
langsung dilaksanakan oleh Residen, karena baru pada 7 Juli 1882 Sadrach secara
resmi bebas. Pembebasan Sadrach juga disertai dengan pulihnya status dan
kedudukannya. Dengan kharismanya, maka Sadrach menguasai jemaatnya kembali yang
tersebar di berbagai wilayah. Dalam hal ini, Bieger tidak bisa berbuat apa-apa.
Pembebasan Sadrach dan kembalinya ia “beraksi” menandakan kekalahan yang cukup
telak bagi Bieger, sehingga akhirnya ia memutuskan untuk pulang ke negerinya,
setelah usulan Residen terkait dirinya supaya diangkat menjadi pembantu pendeta
di Bagelen juga ditolak oleh pemerintah pusat.
Pengalaman tersebut tampaknya menjadikan
suatu pembelajaran tersendiri bagi Sadrach, bahwa di antaranya ada suatu
kenyataan kerinduan jemaatnya akan hadirnya pemimpin bangsa Eropa yang dapat
mengisi kekurangan Sadrach selaku pemimpin pribumi. Dalam hal ini, adalah
pelayanan baptisan. Selain itu, Sadrach juga menyadari perlunya seorang
pemimpin yang bisa melindungi jemaat dari serangan pihak lain, para penguasa
pribumi, dari umat lain, penangkapan yang semena-mena yang disertai intimidasi
dan ancaman, dan lain-lain sampai pembakaran gedung gereja. Pemimpin yang juga
mampu menjadi penghubung antara jemaat dengan para penguasa. Dengan demikian
Kyai Sadrach menyadari perlunya menjamin kerja sama dengan zendeling kulit
putih, tentunya Sadrach mempunyai catatan tersendiri, yakni asalkan tidak
disertai dengan maksud mengambil alih kedudukan Sadrach ataupun memisahkan
dirinya dengan jemaatnya. Dalam hal ini, Sadrach mempunyai tiga figure yang
dijadikan pertimbangan. Yang pertama adalah zendeling Bieger dari NGZV, namun
hal ini tampaknya tidak memungkinkan mengingat pertikaian yang sempat terjadi
di antara keduanya. Yang kedua, Pdt.Heyting dari Indische Kerk. Terkait dengan
Heyting, Sadrach sudah mengetahui bahwa Heyting tidak pernah melepaskan
ambisinya untuk menggabungkan jemaat Jawa ke dalam jemaat Indische Kerk. Oleh
karena itu, Sadrach tidak mengusahakan kerjasama dengan Heyting. Yang ketiga,
yang akhirnya Sadrach mengusahakan kerjasama dengannya ialah zendeling Wilhelm,
yang baru tiba di Purworejo pada 17 Februari 1881 selaku zendeling khusus yang
menangani sekolah.
Kerjasama yang baik diperlihatkan oleh
Sadrach dengan Wilhelm. Dalam moment-moment inilah jemaat Sadrach menyebut diri
mereka dengan Golongane Wong Kristen kang Mardika. Kerjasama yang berefek
positif banyak bagi jemaat Sadrach, karena di samping mereka mempunyai semangat
baru, mereka juga diperbaiki dan dikuatkan dari segi iman dan pengetahuan
mengenai kekristenan.di samping itu, jemaat Sadrach juga tidak menemui kendala
di dalam penerimaan sakramen. Hubungan baik tersebut bahkan juga tampak melalui
foto mereka yang tersebar umum, di mana Sadrach dan Wilhelm duduk di kursi yang
sama tingginya. Hal ini tentunya sangat mencengangkan bagi banyak orang,
khususnya kalangan zendeling Eropa sendiri. Pada umumnya, warga Negara Klas
I-Eropeanen memang dibenarkan duduk di atas kursi, namun warga inlander
(pribumi), pekabar Injilsekalipun, cukup duduk bersila di bawah. Foto tersebut,
oleh pihak yang bersebarangan, yang notabenenya hanya berbeda dengan trapsila
versi colonial, diartikan secara teologis, di mana Wilhelm dianggap ikut
terpuruk dalam sinkretisme Jawa versi Sadrach. Hal tersebut rupanya menyulut
beberapa zendeling NGZV untuk “menggali kapak perang” melawan Sadrach.
Hubungan baik antara Sadrach dengan Wilhelm,
ternyata juga berimbas positif bagi diri Vermeer, di mana ia diterima untuk
bekerja di tengah-tengah jemaat Sadrach. Bahkan, pada tahun 1887, Vermeer resmi
menerima surat salah satu jemaat di Banyumas yang memintanya bertindak sebagai
pendeta. Pola menjalin hubungan yang baik, serta pengembangan jemaat dan
penginjilan yang dilakukan oleh Sadrach, ternyata mendapat respect yang positif
dari pemerintah setempat. Residen Kutoarjo, Karanganyar, dan Kebumen, bahkan
termasuk Residen Bagelen yang baru, yakni Lautier, juga menunjukkan perhatian
yang besar terhadap Sadrach dan jemaatnya. Kebersamaan dan hubungan kerjasama
yang baik tersebut kemudian terusik dengan kedatangan zendeling Horstman, di
mana ia sebenarnya dipanggil untuk membantu jemaat Sadrach di kawasan
Tegal-Pekalong dari ancaman penguasa pribumi, namun – dengan didukung zendeling
Zuidema – mulai menghembus-hembuskan isu lama mengenai Sadrach. Peristiwa
tersebut ternyata menyeret serta zending, yang dibuat kebingungan dengan
surat-surat yang ditujukan kepada mereka. Akhirnya, zending pun mengutus Pdt.
Lion Chachet untuk meninjau situasi penginjilan di tanah Jawa yang berkaitan
dengan jemaat Sadrach. Lion Chachet sendiri sebelumnya belum pernah ke Jawa,
sehingga tidak tahu perihal Jawa. Namun, kedatangannya yang berbekal ortodoksi
kuat serta berbagai penugasan dari Sinode Umum (NGK), maupun pengurus NGZV,
tetap melakukan peninjauan. Laporan Chachet atas hasil tinjauannya terhadap
penginjilan di Jawa serta Sadrach dan jemaatnya, seperti yang diduga adalah
negative. Laporan Chachet tersebut juga berimbas pada terputusnya hubungan
kerjasama antara Sadrach dengan NGZV. Chachet bahkan telah mengajukan usulan
kepada pemerintah untuk mencabut ijin kerja penginjilan Sadrach. Namun, dalam
hal ini pemerintah tidak mempunyai alasan tepat untuk “memecat” Sadrach, karena
ia bukan seorang penginjil NGZV. Permasalahan tersebut membawa dampak negative
juga bagi Wilhelm, yang dianggap negative serta dipersalahkan oleh
rekan-rekannya. Di sisi lain, ia pun juga dijauhi oleh Sadrach dan jemaatnya,
seiring dengan terputusnya hubungan kerjasama tersebut. 3 Maret 1892, Wilhelm
meninggal dalam suasan pertikaian antara Sadrach dengan NGZV yang masih terus
berlanjut. Keterputusannya hubungan kerja sama tersebut membawa dampak
perpecahan dalam diri jemaat Sadrach, di mana 150 orang menyatakan bergabung
dengan zending NGZV, sementara sisanya, yakni 6374 orang tetap mengikuti
Sadrach.
Terpisahnya jemaat Sadrach dengan zending
NGZV membuat Sadrach menemui kesulitan lama, yakni tidak adanya pelayanan
sakramen, baik perjamuan kudus maupun baptisan, bagi jemaatnya. Satu-satunya
pemecahan yang terpikirkan oleh Sadrach adalah dengan mencari pihak lain yang
bisa diajak bekerjasama dan berhak memberikan pelayanan sakramen. Tentu dengan
catatan bahwa pihak tersebut tidak merugikan Sadrach dan jemaatnya. Terkait
dengan hal tersebut, ada tiga pihak yang menjadi pertimbangan Sadrach. Yang
pertama, adalah Salatiga zending. Kedua, Apostolische Kerk (Gereja Kerasulan).
Ketiga, adalah dengan ZKGN, tentu dalam hal ini dengan mengesampingkan
persoalan-persoalan yang ada dengan NGZV. Dengan Salatiga zending, Sadrach
sempat menjalin kerjasama dengan menyerahkan penggembalaan jemaat Kendal kepada
zendeling Heller. Sadrach pun juga menjalin kerjasama dengan Pdt. Adriaanse,
selaku pendeta utusan ZKGN di Purworejo. Hubungan baik pun terjalin, namun
tidak berlangsung lama. Hal ini dikarenakan praduga-praduga yang berkembang di
antara kedua belah pihak. Adriaanse mempunyai praduga terkait dengan
sinkretisme adalam ajaran Sadrach. Sementara itu, Sadrach sendiri juga
mempunyai praduga bahwa Adriaanse sangat terikat dengan kebijakan pengurus
zendingnya. Dengan demikian, Sadrach pun mencoba mendekati dan mengupayakan
kerjasama dengan Apostolische Kerk (Gereja Kerasulan). Dalam perjalanan
pendekatannya, Sadrach bertemu dengan Mr. Anthing, yang merupakan gurunya dulu,
yang juga telah menjadi bagian adalam Apostolische Kerk. Kerjasama berjalan
dengan baik, bahkan inisiatif Sadrach untuk menggabungkan jemaat Kristen
Jawanya dengan jemaat Gereja Kerasulan disambut dengan baik. Rasul G.J.
Hannibals, salah seorang Apostol Zendeling yang memimpin Apostolische Kerk di
Batavia, menetapkan Sadrach sebagai Rasul Jawa. Banyak dugaan mengenai alasan
menapa akhirnya Sadrach menyatukan jemaatnya dengan Apostolische Kerk dan
menerima jabatan sebagai Rasul Jawa. Namun, alasan Sadrach yang agaknya tepat
adalah Sadrach ingin pemeliharaan jemaatnya tetap terjaga serta menjauhkannya
dari jarahan pihak-pihak lain. Secara manusiawi, hal tersebut wajar jika
menjadi keinginan dan harapan Sadrach terkait dengan kehidupan jemaatnya,
mengingat usianya sudah memasuki usia senja. Sejarah mengatakan bahwa status
Sadrach sebagai Rasul Jawa tersebut juga diakui secara international melalui
Legitimatie en Erkenningsbewijs (Surat Pengakuan) yang diterbitkan oleh
Hersteld Apostolische Zendings gemeente in de Eenheid der Apostolen (HAZEA),
Mei 1901. Dengan keluarnya Surat Pengakuan atas diri Sadrach tersebut, jemaat
Kristen Jawa asuhan Sadrach yang semula menyebut dirinya sebagai Golongane Wong
Kristen kang Mardika kini sebutannya menjadi Gereja Hersteld Apostolische
Zendings gemeente in de Eenheid der Apostolen/ Hersteld Apostolische Gemeenten,
atau sederhananya disebut sebagai Gereja Kerasulan. Mereka kini tetap menjadi
jemaat yang merdeka dan menjadi suatu bagian jemaat gereja yang diakui,
sekaligus dilindungi keberadaannya oleh undang-undang.
Dalam perkembangannya, Gereja Kerasulan di
bawah asuhan Sadrach mampu berkembang dengan kemandiriannya serta
kebersamaannya dengan Apostolische Kerk. Dalam perjalanan hidupnya, Sadrach pun
akhirnya menemui suatu masalah yang dihadapi oleh semua manusia, yakni
kematian. Saat-saat menjelang kematiannya, Sadrach yang sempat mengalami
kebingungan akan siapa yang akan menjadi penerus atau pengganti menjadi rasul,
akhirnya menunjuk dan memutuskan bahwa anak angkatnyalah, yakni Jotham
Martaredja, menjadi rasul berikutnya. 14 Noveber 1924, Sadrach akhirnya
meninggal tanpa sakit apapun. Di dalam upacara pemakamannya sempat hadir juga
beberapa pejabat pribumi dan pejabat Belanda, beberapa pekabar Injil, dan juga
orang-orang dari ZGKN. Hal tersebut secara tidak langsung memperlihatkan
bagaimana hubungan baik yang selama ini dijalin oleh Sadrach. Kebersamaan
dengan pemerintah setempat, baik pribumi maupun colonial, serta ZKGN, dalam
rangka perkembangan kekristenan, khususnya jemaatnya.
Terkait dengan Jotham, pada dasarnya
mempunyai dilemma tersendiri atas penunjukan dirinya menggantikan ayah angkat,
yakni Sadrach, untuk menjadi rasul berikutnya. Hal ini dikarenakan Jotham yang
selama masa mudanya dididik dengan pemahaman dogmatis dan structural ajaran gereformeerd,
yang dipelajarinya di sekolah zending. Berbeda dengan ayah angkatnya yang dalam
perjalanan hidupnya tidak mengenyam bangku pendidikan secara structural dan
hanya menyerap pengetahuan dari Jellesma, Kyai Tunggul Wulung, Mr. Anthing, dan
Mattheus Taffer, sehingga tampaknya kurang memperhatikan dan menyadari
permasalahan dogmatika dan struktur modern seperti yang diajarkan dalam sekolah
zending. Di satu sisi, pemikiran Jotham diwarnai dengan dogmatika dan
pengetahuan structural ala gereja gereformeerd. Namun, di sisi lain ia juga
tidak bisa melepaskan peranannya serta ajaran Kerasulan. Hal inilah yang
membuat dilemma dalam diri dan hati Jotham, tatkala kesanggupannya untuk
menjadi rasul dipertanyakan oleh Rasul Schmitz. Jotham sebenarnya bisa dikatakan
lebih maju secara pemikiran daripada ayah angkatnya, yakni Sadrach.
Jothamdengan cepat mengetahui “masa depan” Gereja Kerasulan, yang jika tetap
bertahandengan pola struktur serta ajarannya maka akan mengalami ketertinggalan
zaman, karena di sisi lain gereja gereformeerd, dalam hal ini ZKGN, telah
berkembang maju di dalam era zaman tersebut. Hal ini membuat Jotham mempunyai
keinginan untuk pada suatu saat nanti membawa Kerasulan bergabung dengan ZKGN.
Dalam hal tersebut, Jotham mempunyai pemikiran yang visioner dan realistis,
berbeda dibanding dengan Sadrach.
Impian Jotham memang tidak mudah
terealisasikan, mengingat konteks sejarah jamaat Sadrach yang mempunyai
pengalaman pahit dengan “penggabungan” dan dilemma hati Jotham sendiri. Di satu
sisi, Jotham jika menerima jabatan rasul atas dirinya maka akan membuat dia
tampak seperti anak berbakti, karena bersedia menjadi penerus ayahnya dan
mendapat dukungan penuh dari para pengikut Sadrach. Namun di sisi lain, Jotham
sendiri ragu akan jabatan rasul pada dirinya, terkait juga dengan impian dan
pandangan visionernya akan kelangsungan hidup Gereja Kerasulan di masa depan.
Jotham teryata memiliki keberanian dengan mengambil langkah yang cukup
mengejutkan berbagai pihak, khususnya jemaat Kerasulan sendiri. Ia memilih
untuk menolak jabatan rasul dan bermaksud untuk bergabung dengan ZKGN di masa
depan. Tampaknya, rasul Schmitz yang dalam hal ini mengerti keadaan Jotham
mencoba untuk mengadakan percakapan dengan Jotham, disertai dengan kehadiran
para sesepuh kerasulan. Dalam percakapan tersebut, Jotham akhirnya berhasil
diyakinkan oleh rasul Schmitz dan para sesepuh kerasulan untuk mencabut surat
jawabannya, kemudian menerima jabatan rasul atas dirinya. Berdasarkan surat
kuasa yang diterima oleh Rasul Schmitz dari Johanes Hendrik van Ossbre Rasul De
Heersteld Apostolische Zending Gemeente in de eenheid der Apostolen in
Nederland en Kolonien tertanggal 12 Januari 1925, maka Jotham ditetapkan
sebagai rasul dari jemaat-jemaat Jawa yang tergabung dalam Heersteld Apostolische
Zendinggemeenten in de Eenheid der Apostolen pada tanggal 13 April 1925. Gereja
Kerasulan pun juga turut berubah nama menjadi Gereja Kerasulan “Zebulon”.
Dengan menerima jabatan sebagai rasul, bukan
berari Jotham melepas impian dan harapan untuk menggabungkan diri dengan ZKGN,
demi kelangsungan hidup jemaat. Jotham tetap berusaha mengembangkan dan
mengasuh jemaat peninggalan Sadrach, ayah angkatnya. Jotham ternyata mampu
tampil sebagai pemimpin yang berbeda dengan ayah angkatnya. Namun, justru
kepemimpinan Jotham pada saat itu dipandang lebih kontekstual dengan
perkembangan zaman pada saat itu. Oleh sebab itu, tidak salah kiranya jika para
pendeta utusan ZGKN memuji Jotham sebagai bapa rohani “jauh lebih baik
dibandingkan dengan Sadrach” dalam berbagai segi. Suatu penilaian yang tampak
berat sebelah. Padahal, baik ayah maupun anak, keduanya telah tampil sebagai
pemimpin jemaat Jawa sesuai dengan zamannya. Jika Sadrach cenderung menggunakan
metode ngadu ngelmu, maka dalam era kepemimpinan Jotham, justru gaya rasional
Jotham serta sikapnya yang lebih terbuka tepat dikenakan pada jemaat Kristen
Jawanya agar dapat bertahan dalam kemajuan zaman. Harapan Jotham untuk
menggabungkan diri dengan zending di bawah ZKGN, tampaknya bisa dikatakan
sebagai harapan instan. Hal ini dikarenakan adanya pemikiran akan kesulitan dan
kendala, terutama masalah dana dan sumber daya manusianya. Jika harus membangun
sekolah-sekolah, rumah sakit, pembelajaran guru Injil, maka tampaknya hal
tersebut sangat jauh sekali untuk direalisasikan jika dengan pola jemaat
kerasulan pada waktu itu. Oleh karena itu, jalan termudah dan aman adalah
dengan menggabungkan diri dengan zending atau ZKGN. Tentu Jotham yang
mengetahui pengalaman pahit pertikaian antara ayahnya dengan para zendeling dan
zending tetap menjadi catatan bagi Jotham dalam menentukan langkah kebijakan.
Kepiawaian Jotham dalam mengasuh jemaat
peninggalan Sadrach, di samping juga Jotham mengharapkan penggabungan dengan
ZKGN, tampak dari adanya upaya Jotham di dalam melakukan kerjasama dengan ZKGN.
Beberapa mengadakan peribadah bersama, menjalin relasi pribadi dengan para
pekerja ZKGN, dan di sisi lain memotivasi secara perlahan dan halus jemaatnya
untuk mendekatkan diri kepada jemaat zending. Setelah delapan tahun proses
usaha mendekatkan jemaat kerasulan dengan gereja asuhan zending, maka pada
tahun 1933, Abraham Wangsaredja menyatakan diri – melalui rasul Jotham – bahwa
jemaat kerasulannya siap untuk digabungkan dengan gereja zending. Menanggapi
hal tersebut, para pendeta utusan ZKGN pun juga menanggapinya secara hati-hati,
mengingat pengalaman sejarah yang cukup pahit di antara kedua belah pihak,
antara kerasulan dengan zending. Menyikapi hal tersebut, ZKGN pun menyarankan
supaya Jotham, sebagai tindak pengamanan, melakukan sosialisasi terhadap jemaat
kerasulan yang diasuhnya. Selama kurang lebih dua-tiga bulan sosialisasi,
Jotham pun menemui kenyataan bahwa masih banyak jemaat kerasulan yang menolak
untuk menggabungkan diri dengan gereja zending. Di satu sisi, mereka tetap
mengakui Jotham sebagai rasul dan pemimpin mereka. Namun di sisi lain, mereka
menolak penggabungan dengan alasan ingin mempertahankan kemederkaannya dari
campur tangan pemerintah atau zending. Akhirnya, dari 86 jemaat kerasulannya,
31 jemaat menyatakan siap bergabung – baik dengan ZKGN maupun Salatiga Zending,
40 jemaat menolak dengan tegas, dan sisanya cenderung bersikap netral dan
bersatu dalam Pasamoewan Kristen Djawi Netral. Terkait dengan jemaat netral
tersebut, pada tahun 1934 akhirnya menggabungkan diri dengan zending, karena
merasa kesulitan dalam pelaksanaan pelayanan sakramen dan pelaksanaan tata
gereja, karena keadaanya yang serba tertutup dan mengasingkan diri.
Dengan demikian, dalam perjalanan sejarah
Sadrach, pembinaan jemaat awal sampai terbentuk jemaat kerasulan, sampai pada
proses penggabungan dengan gereja zending juga diwarnai dengan kebersamaan dan
konflik perpecahan. Kebersamaan Sadrach dengan para zendeling di satu sisi juga
diwarnai adanya pertikaian di sisi lain. Kerjasama dengan para zendeling dan
zending, serta Residen pun juga demikian. Pada akhirnya, berdasarkan pemikiran
Jotham, apabila ditarik lebih luas lagi, maka tampak bahwa sebenarnya
kemandirian jemaat kerasulan dengan pola kehidupannya dipandang, khususnya oleh
Jotham sendiri, tidak akan mampu mengimbangi arus zaman. Berbeda halnya jika
menggabungkan diri dalam kebersamaan dengan gereja zending, yang bisa dikatakan
mempunyai struktur gerejawi yang cukup maju pada waktu itu. Penggabungan jemaat
kerasulan di bawah kepemimpinan Jotham ke dalam gereja zending adalah merupakan
suatu perkembangan kekristenan, khususnya GKJ, yang sangat baik. Mengingat
bahwa jumlah jemaat kerasulan itu banyak, sekalipun sudah terpecah-pecah, maka
selain jemaat gereja zending bertamah, maka area pelayanan zending pun juga
bertambah luas. Tampaknya perlu diingat juga, bahwa secara kualitas
penggabungan tersebut tidak terlalu berpengaruh bagi zending. Hal ini
dikarenakan gereja zending telah lebih maju daripada jemaat kerasulan
(bandingkan dengan pemikiran Jotham mengenai penggabungan). Namun, penggabungan
tersebut tetap merupakan suatu fakta sejarah yang sedikit banyak membuat GKJ
semakin berkembang.
-
Jemaat Gereja
Zending – lahirnya sinode GKJ[16]
Sejarah kekristenan, khususnya GKJ, mengakui
bahwa munculnya jemaat sembilan yang mulanya di bawah asuhan Ny. Oostrom adalah
cikal bakal pertama jemaat GKJ. Tumbuhnya jemaat tersebut kemudian disusul
dengan adanya cikal bakal kedua, jemaat kecil di bawah asuhan pasangan
Phillips. Dengan mengesampingkan sejenak jemaat kerasulan yang pada saatnya
nanti juga bergabung dan turut “meramaikan” kehidupan GKJ, maka tampak bahwa
pengembangan jemaat GKJ adalah berawal dari dua cikal bakal jemaat di atas.
Tumbuhnya kelompok Kristen awal ini segera
disusul oleh tumbuhnya kelompok lain hasil pekabaran injil Nederlandche
Gereformeerde Zendingvereniging (NGZV) yang mulai bekerja di Jawa Tengah sejak
1865 di Tegal (Muaratuwa) dan Purbalingga (plus Bobotsari dan Bojong), yang
nantinya diambil-alih oleh Zending Gereformeerd Kerken (ZGK) sejak tahun 1896 dan
dikembangkan dengan pusat-pusat penginjilan dari kota-kota Purworejo – Temon,
Kebumen, Yogyakarta, Surakarta, Banyumas-Purbalingga serta Magelang Temanggung,
semuanya di kawasan Jawa Tengah Selatan (Jawa Tengah Utara menjadi ladang
pekabaran Injil Salatiga Zending). Sejak ini muncullah puluhan pepanthan di
sekeliling tiap-tiap pusat penginjilan di luar kelompok yang lama maupun
kelompok "Wong Kristen Merdhiko". Namun yang jelas, hampir semua
warga gereja Jawa ini berlatar belakang petani miskin dan buta aksara. Hanya
berkat jasa pelayanan sekolah dan rumah sakit yang diselenggarakan zending,
secara lambat namun pasti generasi kedua warga Gereja Jawa bergeser, mereka
mulai melek huruf, sebagai akibat pendidikan di sekolah maupun di rumah sakit
zending sebagian generasi kedua ini beralih profesi menjadi guru dan perawat
serta pegawai berbagai bidang pelayanan masyarakat termasuk di pemerintahan
desa. Dari generasi kedua inilah kemudian lahir generasi ketiga warga geraja
Jawa pra dan pasca kemerdekaan yang educated minded, yang dizaman kolonial
didorong dan difasilitasi untuk belajar tidak hanya di "Volkschool"
dan "Vervolgschool" namun juga di "Schakelschool", HIS,
MULO, bahkan "Kweekschool" dan HIK.
Yang jelas pertumbuhan gereja Jawa (di luar
"Golongane Wong Kristen “Jowo” kang Merdhiko" yang masih belum
bergabung dalam asuhan zending), apalagi sejak 1900, sangat ditentukan oleh
metoda dan realisasi pekabaran Injl Zending ZGK yang tergelincir kepada
kenyataan yang menyebabkan gereja Jawa tumbuh dalam ketergantungan yang akut
pada para Pendeta Missi dan zendingnya.
Pendewasaan pepanthan Gereja-gereja Jawa
pertama kali terjadi atas gereja Purworejo (4 Februari 1900) tak lama kemudian
disusul pepanthan Temon. Namun pendewasaan ini ternyata lebih bersifat pamer
kebisaan kepada Golongane Wong Kristen “Jowo” kang Merdhiko pimpinan Kyai
Sadrach untuk membuktikan bahwa zending tidak bermaksud lain kecuali mendirikan
gereja-gereja Jawa dengan pendeta-pendeta Jawa. Tanpa topangan zending,
pendewasaan kedua gereja ini hanyalah ketergesaan semata. Mungkin baru pada
pendewasaan kelompok Glonggong - Kebumen (3 November 1911) dan kelompok
Gondokusuman Yogyakarta (23 November 1913) pendewasaan gereja ini agak cukup
pantas disebut lebih dapat dipertanggungjawabkan. Baru sesudah berjalan 26
tahun hanya Gereja Gondokusuman yang pertama kali siap memanggil pendeta atas
diri Ds. Ponidi Sopater pada tahun 1926 dari antara 17 gereja Jawa yang sudah
didewasakan oleh zending yaitu Purworejo, Temon, Glonggong, Gondokusuman, Solo,
Klaten, Tungkak, Patalan, Candisewu, Magelang, Kesingi, Palihan, Kebumen,
Grujugan, Purbalingga, Grendeng dan Adireja.
Gereja-gereja ini menggeliat dibawah
pimpinan Guru-guru Injil didikan "Opleiding School van de Helper bij de
Dienst Woords" (Sekolah bagi Pembantu-pembantu Pada pelayanan Firman
Tuhan/Sekolah Guru Injil) Yogyakarta dibantu serta oleh guru-guru sekolah
zending dan mantri jururawat rumah sakit dan poliklinik zending. Merekalah para
penumbuh dan pemimpin gereja Jawa sesungguhnya, namun di bidang dana dan ajaran
ketergantungan gereja-gereja ini pada zending ZGK masih merupakan keniscayaan
yang tidak bisa ditutup-tutupi.
Jika pada tanggal 17-18 Februari 1931
gereja-gereja Jawa yang saat itu menamakan diri "Pesamoewan Kristen
“Gereformeerd” ing Tanah Djawi Tengah sisih Kidoel", yang masing-masing
mengelompok dalam 5 klasis bersinode pertama di Kebumen, ini menjadi tonggak
pertama persidangan sinode Gereja-gereja Jawa Tengah Selatan untuk disusul
dengan sinode-sinode berikutnya, walaupun peran serta para Pendeta Missioner
ZGK masih cukup besar untuk menuntun para pemimpin gereja Jawa berjalan
menapaki kedewasaannya yang masih rapuh ini.
Berdasarkan perjalanan sejarah gereja,
khususnya bagaimana GKJ berkembang, tampak bahwa kebersamaan menjadi satu hal
yang tidak pernah bisa dilepaskan. Walaupun di tengah jalan kebersamaan
tersebut tampak seperti terputus, yakni tatkala kekeristenan yang diasuh dan
dikembangkan oleh Sadrach berlainan “jalan” dengan gereja zending, namun
perjalanan sejarah tersebut sebenarnya tidaklah memperlihatkan keduanya sebagai
dua bagian yang terpisah. Zending dalam pekerjaan pekabaran Injilnya di tanah
Jawa selalu bersinggungan dengan jemaat yang diasuh Sadrach.
Singgungan-singgungan yang terjadi tidaklah melulu konflik, namun juga diwujudkan
dalam kerjasama. Ketika moment penggabungan jemaat kerasulan dengan gereja
zending, suatu hal yang menarik adalah bahwa keduanya berkembang secara berbeda
dan ketika bergabung menunjukkan bahwa kedua jemaat tersebut adalah saling
melengkapi. Di satu pihak, gereja zending kurang berkembang secara kuantitas,
karena berbagai konsep dan pendekatan yang agaknya kurang kontekstual dan
“menyentuh” masyarakat Jawa dengan budayanya. Namun, gereja zending secara
struktur, teologi, pengetahuan Injil, dan ke-organisasian telah berkembang jauh
daripada jemaat kerasulan yang diasuh dan dikembangkan oleh Sadrach. Kelemahan
dari segi kuantitas tersebut “dilengkapi” oleh jemaat kerasulan, yang di pihak
lain, jumlahnya jauh lebih besar daripada jemaat gereja zending. Hal tersebut
dikarenakan metode pekabaran Injil yang dilakukan oleh Sadrach bisa dikatakan
kontekstual, untuk saat itu, sehingga mampu “menyentuh” masyarakat Jawa beserta
budayanya. Kelemahan jemaat kerasulan secara oragnisatoris, struktur, dan
teologi pun bisa terlengkapi oleh gereja zending. Tampak bahwa ketika
masing-masing jemaat tersebut berjalan “sendiri”, maka justru pada masa-masa
itulah masing-masing jemaat tersebut mengembangkan dirinya. Suatu perjalanan
sejarah gereja yang unik, mengingat kedua jemaat yang tadinya terpisah,
mengembangkan diri menurut jalan dan polanya masing-masing – walaupun beberapa
waktu sempat bekerja sama, namun pada akhirnya bergabung dalam kebersamaan,
yang menjadikan kedua jemaat tersebut menjadi satu jemaat Kristus yang eksistensinya
diakui dan patut dibanggakan oleh setiap warga gerejanya, yakni GKJ.
Kebersamaan tidak hanya merupakan definisi
atau konsep yang terkandung dalam pemahaman hidup bergereja. Namun, kebersamaan
juga merupakan “sesuatu” yang melekat erat, disadari atau tanpa disadari, dalam
kehidupan gereja. Terkait dengan hal tersebut, apakah sejarah GKJ Grogol
Sukoharjo juga memperlihatkan “kebersamaan”? Ataukah “kebersaman” hanyalah
suatu fenomena, yang belum tentu dialami oleh setiap gereja?
C. Sejarah GKJ Grogol Sukoharjo
GKJ Grogol Sukoharjo merupakan salah satu
GKJ, yang terletak di daerah Sukoharjo – Solo Baru, di mana GKJ Grogol
Sukoharjo mempunyai dua area peribadahan, yakni di Grogol dan Telukan. Salah
satu hal yang menarik dari GKJ tersebut adalah bahwa masing-masing area
peribadahan tersebut mempunyai pola dan sejarah yang berbeda.
-
Sejarah GKJ
Grogol di Grogol[17]
Perkembangan jemaat GKJ Grogol jika melihat
sejarah tumbuh dan berkembangnya, tampaknya tidak bisa dilepaskan dari kegiatan
masyarakat yang ada pada waktu itu, yakni kursus njarumi yang diprakarsai oleh
Ibu Harsono di awal tahun 1960-an. Di dalam kursus njarumi tersebut, Injil juga
diberitakan. Salah satu hal yang menarik adalah ketika banyak orang di wilayah
Babadan, yang merupakan area cikal bakal jemaat GKJ Grogol, menjadi murid
Sekolah Minggu dan senantiasa belajar Injil mendapat ketenangan dan keamanan
secara batin dari mitos “roh gaib” di wilayah tersebut. Tampaknya, semenjak
peristiwa tersebut terjadi, banyak orang yang menjadi simpati dan tertarik
untuk mengikuti kursus njarumi sekaligus mendengarkan Injil. Hal ini terbukti
ketika peserta njarumi tersebut semakin bertambah menjadi 60-an orang. Ketika
jumlah tersebut semakin bertambah, muncul permasalahan, baik dari masyarakat
sekitar maupun pihak pemerintah. Permasalahan tersebut terjadi tatkala ada
beberapa orang dari pihak pemerintah yang mengklarifikasi mengenai kegiatan
njarumi dan pemberitaan Injil tersebut. Namun, Ibu Harsono selaku penanggung
jawab kegiatan tersebut mampu “mempertahankan” kursus njarumi dan pemberitaan
Injil di dalamnya. Permasalahan dari masyarakat muncul seiring dengan adanya
peristiwa Gestapu/ PKI. Banyak warga masyarakat sekitar yang menjadi tidak suka
dengan orang Kristen dan seringkali mengancam, bahkan melempari batu. Terkait
dengan masalah tersebut, orang Kristen di Babadan tidak terpancing dan melawan.
Justru dengan aanya sikap yang ditunjukkan tersebut, warga masyarakat pun
akhirnya menjadi simpati, bahkan ada pejabat kelurahan yang kemudian masuk
menjadi Kristen beserta keluarganya.
Pengembangan kekristenan di daerah Babadan
dan Grogol mulai tampak jelas tatkala para penginjil dari GKJ Joyodiningratan
turut serta di dalamnya (tahun 1967). Para penginjil tersebut adalah Bp.
Suharno Pranotosuwignyo, Bp. Sukirno, dan Bp. Suwito Adi Raharjo. Pada
moment-moment inilah kegiatan-kegiatan atau persekutuan kristiani mulai
terbentuk, seperti Pemahaman Alkitab, koor, Sekolah Minggu, dan sebagainya,
yang dibimbing oleh Bp. Soewarno, Bp. Harsono, Bp. Broto Taruno, Bp. Wiyono, dan
beberapa orang lainnya. Dalam masa ini juga sudah mulai diadakan katekisasi di
rumah Bp. Harsono, di mana pada awalnya beliau-lah yang mengajar katekisasi
namun kemudian digantikan oleh Bp. Broto Taruno, yang secara bergantian
mengajar dengan Bp. Robin dan Bp. Soewarno. Tampaknya, tahun 1967 adalah
“tahunnya” GKJ Grogol. Hal ini dikarenakan pada tahun tersebut, tepatnya 14
Desember 1967 dan melalui sidang pleno majelis, jemaat di Grogol menjadi
pepanthan Grogol GKJ Joyodiningratan. Bahkan, pada bulan yang sama, di
pepanthan Grogol sudah diadakan ibadah perayaan Natal yang pertama kali, yang
bertempat di rumah Bp. Mangoen Soewito.
Memasuki tahun 1968, kegiatan umat Kristen
semakin marak dan berkembang di pepanthan Grogol. Hal ini tampak dalam adanya
ibadah perdana pada tanggal 14 Januari 1968, yang bertempat di rumah Bp. Lettu
Dibyo Suparno, yang dihadiri oleh 30 orang lebih dan dilayani oleh Bp. Darmo
Sutrisno (warga GKJ Joyodiningratan). Selain kegiatan “wajib” gereja, yakni
katekisasi, Sekolah Minggu, dan peribadatan, di samping kursus njarumi tetap
berjalan maka ditambah juga kegiatan untuk semakin menambah dan memantapkan
kebersamaan intern, yakni kegiatan pemuda di antaranya adalah koor, PA, olah
raga (mempunyai tim bola volley “Golgota”). Selain membina kebersamaan intern,
kebersamaan ekstern juga mulai tampak dengan adanya pelayanan koor ke pepanthan
GKJ Joyodiningratan yang lain, yakni pep. Baki, pep. Sanggrahan, pep. Kronelan.
Pada bulan Oktober 1969, tempat ibadah
pindah ke Turiharjo, termasuk dalam tahun tersebut juga perayaan Natal, yang
diadakan di rumah Bp. Donosupitro. Pada bulan April 1970, peribadahan berganti
tempat di rumah Bp. Sumantri dan Bp. Sukiyatno. Selama masa tersebut,
peribadahan masih berpindah-pindah tempat dikarenakan belum mempunyai tempat
ibadah secara permanen. Baru pada tahun 1971, Bp. Soewarno menyediakan tanahnya
di Babadan sebagai gedung gereja sementara. Pembangunan pun dilakukan secara
gotong royong oleh segenap warga pep. Grogol. Dalam pembangunan tersebut, GKJ
Joyodiningratan selaku induk juga memberikan kontribusi dana. Setelah
pembangunan selesai, gedung ibadah tersebut digunakan untuk peribadahan dan
kegiatan gerejawi lainnya hingga tahun 1977. Pada saat itu, pep. Grogol sudah
mulai mengadakan ibadah secara rutin. Di samping itu, kegiatan gerejawi lainnya
juga berjalan, demikian pula kegiatan bersama dengan masyarakat. Seiring dengan
kemajuan pertumbuhan umat Kristen di pep. Grogol, maka warga jemaat bersama-sama
menyokong pembelian tanah yang rencananya akan dibangun gedung ibadah yang
permanen, yakni tanah seluas 300 m2 di dusun Soka. Namun, pada masa
itu jemaat belum merealisasikan pembangunan gedung gereja. Hal ini bisa jadi
dikarenakan oleh dana yang mungkin belum ada untuk merealisasikan bangunan
gedung gereja. Namun, bisa jadi juga karena adanya kemungkinan lain untuk tempat
ibadah yang permanen, yakni di tanah desa di dekat balai desa. Perjuangan untuk
memperoleh tanah pemerintah tersebut dimulai pada tahun 1975,oleh Bp. Soewarno
dan Bp. Sri R.Sukoco. perjuangan tersebut membuahkan hasil, tatkala pada April
1976 di dalam Rembug Desa, usulan pembagian tanah untuk pendirian gedung gereja
disetujui. Namun, karena tanah di dekat Balai Desa sudah habis, maka diberilah
tanah di daerah Nampan, dekat dengan lapangan Wirogitan (lokasi gedung gereja
saat ini). Adapun peletakan batu pertama dalah pada tanggal 17 Agustus 1976, di
mana tanggal tersebut ditetapkan sebagai berdirinya gedung gereja GKJ
Joyodiningratan Pept. Grogol (nama pada waktu itu).
Sekali lagi kebersamaan diperlihatkan dalam
perjalanan pembangunan gedung ibadah ini. Selain diwujudkan dalam kepanitiaan,
dalam proses pembangunan juga demikian. Dari pengumpulan material, dana, maupun
pelaksanaan pembangunan. Ketika gedung ibadah sudah berdiri dan layak
digunakan, walau belum selesai secara keseluruhan, namun pada saat itu sudah
mulai digunakan untuk peribadahan, yang diadakan pertama kali pada 4 Desember
1977. Dalam perkembangan waktu berikutnya, proses pembangunan gedung gereja
tetap dilaksanakan setahap demi tahap. Pada masa-masa ini, ada hal yang
menarik, yakni mengenai kebersamaan para pemuda gereja yang hampir setiap malam
bermalam dan menjaga gereja. D antaranya adalah Bp. Waluyo, Bp. Sriyanto, Bp.
Warsito, Bp. Wayono, Bp. Asnan, dan Bp. Yuwono (kembar). Di samping itu,
kebersamaan juga selalu tampak dalam kegiatan-kegiatan gerejawi lainnya di
antara warga jemaat satu sama lain. Pembangunan gedung gereja tahap 2, yang
selesai pada 2 Desember 1985, pembangunan dan pengembangan TK Asih IV, dan lain
sebagainya.
Kebersamaan yang menjadi semangat membangun
dan mengembangkan gereja akhirnya membawa perjalanan GKJ Joyodiningratan Pept.
Grogol menuju ke pendewasaan. Rapat Majelis GKJ Joyodiningratan pada 16
November 1993, telah mempertimbangkan bahwa jemaat di Pept. Grogol disetujui
diusulkan dalam Sidang Klasis GKJ Sala XII, menjadi gereja dewasa dan mandiri.
Kemudian pada rapat selanjutnya, yakni tanggal 14 Desember 1993, disepakati
nama yang akan digunakan oleh Pept. Grogol selepas dewasa nanti, yakni GKJ
Grogol Sukoharjo. Dalam hal ini, setelah dewasa nanti akan bergabung dengan
klasis Wonogiri. Hal ini dikarenakan bahwa di klasis Sala telah banyak GKJ yang
besar dan maju. Berbeda dengan klasis Wonogiri. Oleh karena itu, dengan
bergabung ke klasis Wonogiri maka akan dapat lebih mudah mengembangkan diri dan
sekaligus mengembangkan klasis Wonogiri. Pada tanggal 28 Desember 1993, Majelis
GKJ Joyodiningratan akhirnya mengirimkan surat kepada sidang klasis Sala XII
mengenai usulan pendewasaan GKJ Joyodiningratan Pept. Grogol. Usulan tersebut
disetujui dan 2 tahun sebagai masa persiapan tampaknya sudah cukup bagi Pept.
Grogol untu dewasa. Akhirnya, pada 5 Juli 1995, GKJ Joyodiningratan Pept.
Grogol didewasakan dan di tanggal tersebut juga diadakan ibadah pendewasaan
serta penetapan majelis GKJ Grogol.
Selama GKJ Grogol-Sukoharjo masih menjadi
Pepanthan dari GKJ Joyodiningratan, peran GKJ Joyodiningratan selaku gereja
induk yang tercatat dengan jelas dalam perjalanan sejarah, berdasarkan Buku Hut
ke 11, GKJ Grogol Sukoharjo, adalah sebagai berikut:
1.
Kegiatan PI yang
dilakukan oleh beberapa orang Kristen pada waktu itu di daerah kecamatan
Grogol, ternyata telah menarik minat beberapa orang lainnya untuk masuk menjadi
seorang Kristen. Dalam hal ini, peran mula yang dilakukan oleh GKJ
Joyodiningratan adalah melalui sidang majelis pleno, 14 desember 1967,
memutuskan bahwa orang-orang Kristen yang berhimpun dalam sebuah gereja di
Grogol ditetapkan sebagai pepanthan Grogol GKJ Joyodiningratan.
2.
Adanya pemberian ijin untuk dilaksanakannya pelayanan
katekisasi di Grogol, serta peribadatan lainnya (menyangkut juga sekolah
njarumi, sekolah minggu, serta kegiatan pemuda).
3.
Bantuan dana sebesar Rp. 7.500, - dari hasil riyaya
unduh-unduh guna pembangunan bangunan/gedung peribadatan darurat.
4.
Membantu adanya kegiatan-kegiatan yang ada di GKJ
Grogol, seperti koor, pemuda, juga kegiatan gerejawi ataupun masyarakat
lainnya.
5.
Pemberian bantuan dana, material, serta tenaga dari
para jemaat guna pembangunan gedung gereja yang ada di Nampan (sekarang).
6.
Pengembangan pelayanan di bidang pendidikan, yakni
dengan mendirikan TK Kristen Asih II (Yayasan Asih – GKJ Joyodiningratan).
7.
Pengadaan program penyegaran guru-guru Sekolah Minggu
setiap 4 bulan sekali.
8.
Membantu kepengurusan status tanah di Grogol.
9.
‘Mengalah’ dan menyerahkan kelompok Telukan untuk
menjadi bagian dari GKJ Joyodiningratan Pepanthan Grogol. Hal ini guna
pengembangan jemaat dari GKJ Grogol itu sendiri.
10. Membentuk
panitia pendewasaan pepanthan GKJ Joyodiningratan di Grogol untuk menjadi GKJ
Grogol Sukoharjo, dengan mengikutkan kepada klasis Wonogiri.
Jika melihat perjalanan sejarah GKJ Grogol
seperti di atas, maka tampak bahwa pada mulanya GKJ Grogol terbentuk dari
adanya kebersamaan orang Kristen (warga GKJ Joyodiningratan) di daerah Babadan.
Dalam perkembangan waktu, kebersamaan ini menemui kendala dari pemerintah dan
masyarakat sekitarnya. Namun, dengan semangat kebersamaan dan kasih, maka
jemaat di Grogol bisa tetap bertahan dan justru semakin berkembang. Kebersamaan
yang ada semakin berkembang tatkala GKJ Joyodingratan mulai turut serta dalam
penginjilan dan pengembangan jemaat (para penginjil). Perkembangan jemaat
akhirnya membuat jemaat di Grogol ditetapkan sebagai pepanthan dari GKJ
Joyodiningratan. Hal ini tidaklah mengartikan perpecahan, namun justru
mengembangkan kebersamaan secara intern. Dan dengan ekstern dengan tetap
terikat sebagai pepanthan GKJ Joyoningratan. Kebersamaan tersebut selalu tampak
dalam pembangunan serta pengembangan jemaat dan gedung peribadahan, hingga
sampai dewasanya Pept. Grogol menjadi GKJ Grogol Sukoharjo. Sebuah perjalanan
sejarah gereja dari awal mula hingga dewasanya, yang selalu menampakkan sekaligus
membuktikan bahwa kebersamaan tidak hanya sebagai konsep atau tugas gereja dan
umat Kristen, namun dengan sendirinya melekat erat dalam kehidupan orang
percaya selaku bergereja. Jika sejarah GKJ Grogol di Grogol adalah demikian,
maka bagaimanakan perjalanan sejarah bagian GKJ Grogol Sukoharjo yang lainnya,
yakni GKJ Grogol di Telukan? Apakah kebersamaan juga melekat erat dalam
perjalanan sejarahnya?
-
Sejarah GKJ
Grogol di Telukan[18]
Jika GKJ Grogol di Grogol berawal dari
beberapa jemaat GKJ Joyodiningratan, yang kemudian bertambah dan berkembang
menjadi pepanthan, yang akhirnya dewasa, maka berbeda halnya dengan GKJ Grogol
di Telukan. Adanya gereja di Telukan adalah berawal mula dari komunitas atau
pembangunan kompleks perumahan Telukan. Sudah menjadi suatu aturan pemerintah,
bahwa siapa saja investor yang ingin membuka lahan baru, maka harus menyediakan
sarana umum, termasuk tempat peribadahan. Maka, dibuatlah lahan yang saling
bersebelahan. Bagian Utara untuk Gereja Protestan dan Selatan untuk Gereja
Khatolik. Sementara itu, di daerah Telukan sendiri pun juga ada beberapa
keluarga Kristen. Mereka lalu membentuk suatu persekutuan bersama yang disebut
dengan Persekutuan Umat Kristen Perumahan Telukan (1981). Mengingat kelompok
tersebut belum memiliki tempat peribadahan sendiri, maka untuk sementara
meminjam tempat Bp. Pdt. Suharno Pranoto (pendeta GKJ Joyodiningratan).
Kegiatan atau persekutuan bersama inilah yang merupakan cikal bakal jemaat GKJ
Grogol di Telukan.
Karena merupakan sebuah perumahan baru, maka
banyak muncul para pendatang, baik yang beragama Kristen maupun non-Kristen.
Khususnya bagi warga Kristen, baik Protestan maupun Katholik, ternyata mereka
mempunyai suatu kerinduan yang kurang lebih sama, yakni bisa berelasi dengan
masyarakat di mana mereka tinggal, khususnya dengan yang seiman. Kerinduan akan
kebersamaan tersebut akhirnya terwujud dalam suatu ibadah oikumene. Persekutuan
tersebut, selain umat Katholik, terdiri dari warga GKJ Joyodiningratan dan
beberapa GKJ di sekitarnya, seprti GKJ Manahan, GKJ Margoyudan, GKJ Danukusuman,
dll. Persekutuan oikumene tersebut pada awalnya merupakan sebuah kebersamaan di
antara bapak-bapak, namun dalam perkembangannya ternyata kaum ibu juga
merasakan hal yang sama. Mereka juga ingin ada sebuah kebersamaan di antara
mereka. Akhirnya, persekutuan tersebut berkembang tidak hanya bapak-bapak saja,
melainkan juga para ibu. Dalam hal tersebut, tampak bahwa kebersamaan yang
tercipta di antara para kaum “pendatang” mulai berkembang.
Seiring berjalannya waktu, maka jumlah orang
Kristen di wilayah Telukan juga berkembang. Tempat peribadahan kemudian
berganti di sebuah ruangan SMA Kusuma, atas tawaran dari pihak terkait maka
jemaat di Telukan menerima dengan senang hati dan mengadakan peribadahan di
tempat tersebut. Pada sekitar tahun 1987, muncul suatu masalah mengenai
“payung” dari kelompok ibadah di Telukan ini. Hal ini mengingat akan keamanan,
legalitas peribadahan secara lembagawi, dan segala sesuatunya yang berkaitan
dengan hidup bergereja. Merasa sudah “mempunyai” komunitas persekutuan yang
dekat, mereka akhirnya berinisiatif untuk menggabungkan diri dengan gereja
terdekat. Melalui rapat dan percakapan bersama, di mana mereka semua setuju
akan inisiatif tersebut, maka hal yang selanjutnya menjadi permasalahan adalah
apakah akan menggabungkan diri ke GKJ Sukoharjo atau GKJ Joyodiningratan.
Namun, mengingat bahwa secara geografis letak kelompok Telukan berada lebih
dekat dengan GKJ Joyodiningratan Pepanthan Grogol, maka kelompok Telukan pun
akhirnya diputuskan bergabung dengan GKJ Joyodiningratan Pepanthan Grogol,
dengan terlebih dahulu melalui rapat dan pertimbangan atas surat masuk
tertanggal 11 November 1987. Dalam hal ini, satu hal yang menarik adalah bahwa
semua warga oikumene tersebut menyetujui penggabungan ke GKJ. Tentu dalam hal
ini, warga yang beragama Khatolik tidak pindah. Naun, keputusan tersebut
ternyata membuat banyak warga oikumene yang tadinya bukan warga GKJ
Joyodiningratan ataupun Pept. Grogol akhirnya berkenan untuk atestasi. Walaupun
sampai sekarang masih ada beberapa warga yang belum berkenan atstasi ke GKJ
Grogol, namun satu hal yang mendapat apresiasi adalah mereka tetap berkenan
aktif dalam persekutuan dan mengikuti peribadahan di Telukan. Untuk
selanjutnya, jemaat di Telukan tersebut disebut dengan GKJ Joyodiningratan
Pept. Grogol di Telukan. Mulai moment inilah atau dengan kata lain awal mula
GKJ Grogol di Telukan (nama sekarang) lahir/berdiri. Dari perjalanan sejarah
penggabungan yang demikian, bahkan sampai sekarang, maka wajar jika di kemudian
hari ada istilah bahwa GKJ Grogol “nemu” jemaat di Telukan. Dalam artian, GKJ
Grogol tidak pernah membentuk atau berusaha mengembangkan orang-orang Kristen
di daerah Telukan untuk menjadi sebuah pepanthan atau bagian darinya.
Masih di tahun yang sama, yakni 1987, jemaat
Telukan mengalami sedikit permasalahan. Ketika ibadah perayaan Natal yang telah
direncanakan termasuk bertempat di SMA Kusuma mengalami kendala penolakan. Ada
banyak versi mengenai kasus tersebut. Ada yang mengatakan bahwa karena
kekhawatiran semakin mengembangnya umat kristiani, lalu pemilik SMA Kusuma di
mana pada waktu itu salah satunya non-Kristen, tidak mengijinkan ibadah
perayaan Natal dan juga peribadahan berikutnya. Namun, versi lain mengatakan
bahwa sebenarnya SMA Kusuma mengalami bangkrut, sehingga dalam waktu dekat
kepemilikannya akan berganti tangan. Entah versi mana yang merupakan fakta,
namun yang jelas dari permasalahan tersebut akhirnya munculah inisiatif untuk
menggunakan lahan ibadah yang telah disediakan oleh pihak yang membangun
kompleks perumahan tersebut. Proses pembangunan pun adalah inisiatif dan juga
swadaya warga persekutuan oikumene tersebut. Ketika pembangunan hampir selesai,
jemaat Telukan yang sedang dalam proses pembangunan gedung sudah menjadi bagian
dari GKJ Joyodiningratan Pept. Grogol, akhirnya mendapat legalitas serta
dukungan dana dari Pept. Grogol. Dalam hal ini, GKJ Joyodiningratan tidak
melepaskan tanggung jawabnya. Karena jemaat Telukan sudah menjadi bagian dalam
“keluarga” besar GKJ Joyodiningratan, khususnya Pept.Grogol, maka tanggung jawab
penyelesaian pembangunan pun diserahkan kepada Pept. Grogol. Ada peristiwa yang
menarik di tahun 1988, yakni tatkala pihak Khatolik menyerahkan tanah – yang
sebelah Selatan – yang tadinya untuk area gereja Khatolik, kepada pihak
Kelompok Ibadah Telukan, sebagai hadiah Natal. Akhirnya, pada saat tersebut
pembangunan gedung Gereja (bangunan permanen) mulai dilakukan. Pembangunan
gedung awalnya merupakan usaha dari para warga Kristen di wilayah Telukan itu
sendiri. Namun, pada perkembangannya akhirnya GKJ Joyodiningratan menghimbau
supaya GKJ Joyodiningratan Pepanthan Grogol “menghandle” pembangunan
selanjutnya sebagai bentuk pertanggung jawaban.
Sampai di sini, jemaat di Telukan tetap
berpayungkan GKJ Joyodiningratan Pepanthan Grogol. Bahkan, sampai pada saat GKJ
Joyodingratan Pepanthan Gorogol didewasakan menjadi GKJ Grogol Sukoharjo yang
menggabungkan diri ke Klasis Wonogiri pada tahun 1993. Jemaat Telukan pun
karena letaknya lebih dekat dengan GKJ Grogol daripada GKJ Joyodiningratan dan
bahwa sejak semula adalah bagian dari Pept. Grogol, maka jemaat Telukan tetap
bergabung dan menjadi satu bagian dengan GKJ Grogol Sukoharjo. GKJ Grogol
Sukoharjo di Telukan, itulah nama dari jemaat di Telukan sampai sekarang.
Jika melihat perjalanan sejarah dari GKJ
Grogol di Telukan, maka tampak bahwa kebersamaan mampu melahirkan sebuah gereja
atau jemaat baru. Jemaat yang tadinya bukan “milik” satu gereja, sekarang
menjadi bagian dari sebuah gereja. Sebuah perjalanan sejarah yang bertolak
belakang dengan perkembangan cikal bakal GKJ. Jika dulu zending
“merebut/mengambil alih” jemaat yang merupakan cikal bakal GKJ, maka lain
halnya dengan jemaat di Telukan yang malah berinisiatif sendiri untuk
menggabungkan diri. Berangkat dari sebuah kebersamaan, mungkin hal inilah yang
membuat aroma kebersamaan jemaat di Telukan lebih terasa daripada di GKJ Grogol
di Grogol. Setidaknya demikianlah yang dirasakan oleh warga yang berdomisili
dan aktif peribadahan di Telukan. Hal tersebut juga sedikit banyak terbukti
melalui proses pembangunan gedung gereja yang lebih banyak berasal dari swadaya
warga, tidak hanya warga yang sekarang warga GKJ Grogol saja melainkan juga
warga gereja lain yang notabenenya juga anggota persekutuan oikumene.
Kebersamaan tidak selalu berjalan mulus dengan semua pihak. Dalam hal ini,
jemaat di Telukan juga seringkali berselisih paham dengan pihak Grogol sendiri.
Namun, jika melihat sisi lain dari permasalahan yang ada, maka tampak bahwa
perselisihan tersebut malah menjadikan kebersamaan dalam diri jemaat di Telukan
sendiri semakin erat. Misalnya, ketika ada suatu idea atau usulan mengenai
pemeliharaan gedung ibadah di Telukan namun karena suatu alasan sehingga belum
bisa direalisasikan, maka warga Telukan sendiri swadaya guna membangun dan
memelihara gedung ibadah di Telukan. Berdasarkan perjalanan sejarah di atas,
maka sekali lagi tampak dan terbukti bahwa kebersamaan bukanlah suatu konsep
atau tugas gereja, melainkan “sesuatu” yang melekat erat dalam kehidupan jemaat
selaku hidup bergereja.
D. Penutup
Berdasarkan pemaparan mengenai sejarah
gereja di atas, baik sejarah GKJ secara umum maupun sejarah GKJ Grogol
Sukoharjo, maka tampak bahwa kebersamaan memang menjadi sebuah hal yang melekat
erat dalam kehidupan gereja. Kebersamaan bukanlah hanya sebagai konsep yang
terkait dengan definisi gereja atau juga suatu tugas gereja. Namun, melihat
sejarah gereja itu sendiri maka tampak bahwa kebersamaan merupakan “sesuatu”
yang sudah melekat erat dalam kehidupan jemaat selaku hidup bergereja.
Kebersamaan memang tidak selalu berjalan mulus dan harmonis. Bahkan, seringkali
kebersamaan membuat adanya konflik dan permasalahan tertentu dalam diri gereja
itu sendiri. Terkait dengan hal tersebut, suatu konflik apabila dapat di manage
dengan baik maka tidak akan menimbulkan perpecahan melainkan malah justru dapat
menjadikan suatu perkembangan yang lebih positif. Hal tersebut bukanlah seuah
teori belaka. Namun, sejarah juga membuktikannya tatkala “persaingan” antara
gereja zending dengan jemaat Sadrach, di mana di tengah-tengah “persaingan”
tesebut masing-masing malah justru terlihat mengembangkan dirinya. Bukti
lainnya adalah ketika perselisihan atau kesalahpahaman yang trejadi di antara
GKJ Grogol di Grogol dengan di Telukan, yang justru berdampak positif dengan
kebersamaan warga jemaat di Telukan yang semakin erat. Dan masih banyak contoh
lainnya. Namun, tidak jarang pula konflik di dalam kebersamaan membawa suatu
perpecahan dalam diri jemaat. Dalam hal inilah, perlu adanya managemen konflik
yang baik sehingga kesatuan dan kebersamaan dalam diri gereja tersebut dapat
dipertahankan sekaligus dikembangkan.
Kebersamaan tidak hanya menjadi “sesuatu”
yang melekat erat, namun juga menjadi salah satu kekuatan bagi gereja, dalam
hal ini GKJ, dalam tumbuh dan berkembang. Dalam situasi zaman modern, di mana
egoisme dan individualitas semakin merebak, kebersamaan jemaat dan gereja
selaku tubuh Kristus seyogyanya senantiasa terjaga dan ditumbuh kembangkan (I
Korintus 12: 12-31). Masing-masing jemaat dan gereja memang mempunyai ciri khas
dan konteksnya masing-masing pula. Namun, dalam kepelbagaian inilah justru
konsep rasul Paulus tentang “satu tubuh” menjadi relevan. Kebersamaan yang
merupakan citra dari tubuh Kristus, kebersamaan yang merupakan kekuatan untuk
tumbuh bersama di dalam Kristus, kebersamaan yang menjadi salah satu kekuatan
untuk bertahan mengarungi zaman dan mengembangkan diri, dan kebersamaan yang
menjadikan gereja menjadi semakin “hidup” dengan segala dinamikanya. Sejarah
membuktikan bahwa dengan kebersamaan maka gereja, khususnya GKJ, lahir dan
berkembang. Dengan demikian, maka sudah seyogyanyalah gereja, khususnya GKJ
Grogol Sukoharjo, dengan kebersamaan mengarungi tantangan zaman, tumbuh, dan
mengembangkan diri selaku umat Tuhan yang adalah tubuhNya.
[1]
Pokok-Pokok Ajaran GKJ 2005, p-j 75. Lihat juga Tata Gereja dan Tata Laksana
GKJ 2005, bagian Mukadimah dan Bab II; pasal 2 (1)
[2]
Pokok-pokok Ajaran GKJ 2005, p-j 86-87
[3]
Hadi Purnomo dan M. suprihadi Sastrosupono, Gereja-gereja Kristen Jawa; Benih
yang Tumbuh dan Berkembang di Tanah Jawa, Yogyakarta: Taman Pustaka Kristen,
1988. Hlm 7
[4]
S.H. Soekotjo, Sejarah Gereja-gereja Kristen Jawa; Di Bawah Bayang-bayang
Zending 1858-1948 (jilid 1), Yogyakarta: Taman Pustaka Kristen, 2009. Hlm
151-152. Terkait dengan hal tersebut, perjalanan jauh yang ditempuh oleh
sembilan calon jemaat Kristen adalah dikarenakan adanya kebijakan residen yang
melarang adanya baptisan di wilayah Banyumas, yang dikhawatirkan menimbulkan
masalah dengan umat Muslim, sehingga Hoezoo tidak diperkenankan membaptis
sembilan calon jemaat tersebut di daerah Banyumas. Setelah pembaptisan, Hoezoo
pun juga dilarang untuk mengunjungi mereka. Lih J.D. Wolterbeek, Babad Zending
di Tanah JAwa, Yogyakarta: Taman Pustaka Kristen, 1995. Hlm 35
[5]
Terkait dengan identitas Ny. Oostrom sendiri ada dua dugaan. Yang pertama,
ialah bahwa dia adalah seorang janda muda yang berdagang batik. Yang kedua,
ialah bahwa ia adalah seorang pengusaha/produsen batik. Jika kemudian terlihat
bahwa Ny. Oostrom mempunyai pembantu, bahkan bisa dikatakan lebih dari sembilan
orang, maka tampaknya Ny. Oostrom adalah seorang “juragan” batik, yang cukup kaya,
di kota Banyumas. Lihat S.H. Soekotjo, Sejarah Gereja-gereja Kristen Jawa, hlm
148.
[6]
Ibid, hlm 149
[7]
Terkait dengan hal tersebut, sembilan orang tadi pada perkembangannya telah
membentuk “jemaat rumah tangga” di bawah asuhan dan bimbingan Ny. Oostrom. Hal
ini dikarenakan zendeling Hoezoo, yang telah membaptis mereka, tidak mempunyai
wewenang tugas untuk bekerja dan melayani di daerah Banyumas. Lihat Ibid, hlm
151-152
[8]
Ibid, hlm 153-154. Terkait denga fakta sejarah tersebut, dipandang darisudut
pandang lain tampak bahwa penjajahan juga merambah ke dalam dunia penyebaran
Injil atau kekristenan, di mana zending mengaku-aku dan menguasai jemaat yang
semula bukan miliknya.
[9]
J.D. Wolterbeek, Babad Zending di Tanah Jawa, hlm 35
[10]
S.H. Soekotjo, Sejarah Gereja-gereja Kristen Jawa, hlm 155-156; lihat juga J.D.
Wolterbeek, Babad Zending di Tanah Jawa, hlm 36
[11]
S.H. Soekotjo, Sejarah Gereja-gereja Kristen Jawa, hlm 156
[12]
Ibid, hlm 156-157
[13]
Ibid, hlm 157-159
[14]
Disunting dari S.H. Soekotjo, Sejarah Gereja-gereja Kristen Jawa (jilid I), hlm
159-260, J.D. Wolterbeek, Babad Zending di Tanah Jawa, hlm 65-90
[15]
Dalam hal ini, Gerrit Singgih mengatakan bahwa metode yang dipakai oleh Sadrach
adalah merupakan suatu upaya konteksualisasi kekristenan dengan budaya Jawa,
pada masa itu. Tidak hanya strategi ngadu ngelmu yang dipakai oleh Sadrach,
namun juga terkait dengan konsep Ratu Adil pada diri Yesus yang diajarkan oleh
Sadrach kepada masyarakat Jawa, di mana konsep Ratu ADil tersebut salah
dipahami oleh beberapa zendeling Eropa yang membuatnya sebagai tuduhan untuk
menjatuhkan Sadrach. Lihat E. Gerrit Singgih, Berteologi dalam Konteks;
Pemikiran-pemikiran Mengenai Kontekstualisasi Teologi di Indonesia, Yogyakarta:
Kanisius, 2007. Hlm 94-105. Lih juga hlm 115-118
[16]
Disunting dari Wikipedia.org; diunduh tanggal 20 Agustus 2012, di mana artikel
tersebut juga pernah dimuat dalam surat kabar Mitra Indonesia, edisi 54 bulan
Novemver 2012
[17]
Disunting dari buku HUT GKJ Grogol Sukoharjo ke-11, 5 Juli 2006; Kisah
Perjalanan GKJ Grogol dari tahun 1965-2006, Sukoharjo, 2006. Dan buku Pendewasaan;
Pepanthan Grogol GKJ Joyodiningratan Surakarta menjadi GKJ Grogol Sukoharjo,
Sukoharjo, 1995.
[18]
Disunting dari hasil wawancara dengan Bp. Suwarno (Juwiring, 5 Desember 2012),
Bp. Djono (6 Des 2012), Ibu Basuki (9 Desember 2012), dan Bp. Wigeno (16
Desember 2012), serta buku HUT GKJ Grogol ke-11, 5 Juli 2006.
good job
BalasHapusmateri sedikit dibagi akan lebih bagus, jadi yang baca ga perlu narik turun terus artikelnya, cemunguuuttt
hehehe..kl dibagi malah aq yg bingung mbaginya ka..soal'na smua bagian berkaitan...
BalasHapuscuma masalahnya ne aq sulit bkin ky folder file gtu ka..gmn y caranya?? hehhe..jd biar kaya file d kompi...
keren mas ...
BalasHapuskalau bisa dikembangkan lagi mas ,
btw, makasih sudah diberi info....